PWMU.CO – Ketua PP Aisyiyah Soimah Kastolani mengatakan persoalan perkaderan dalam Persyarikatan saat ini adalah tidak adanya interaksi kader muda dengan tokoh–tokoh senior, untuk mengambil pengalaman secara langsung dari sang tokoh. Persoalannya klise, karena kesibukan masing–masing.
“Harapan saya, para kader ini bisa menyisihkan waktu, bukan menyisakan waktu untuk Persyarikatan. Seperti itulah saya rasa kader yang bisa diandalkan,” ujar Imah, panggilan akrabnya.
Soimah melanjutkan, “Saya bisa bayangkan betapa luar biasanya Aisyiyah bila kader-kadernya bisa menyisihkan waktu, tidak hanya sekedar asal kober atau nunggu sisa–sisa waktu.”
Untuk itu, kata Imah, perlu membangun komitmen pada masing–masing pribadi dalam ber-Aisyiyah. ”Tuntutan sebagai pimpinan di antaranya adalah punya kemauan dan kemampuan. Akan tetapi semua itu tidak ada artinya bila tidak mempunyai waktu untuk Aisyiyah”, sindir Imah.
Selain komitmen tentang waktu, kata dia, yang diperlukan Aiyiyah adalah keuleyan kadernya. “Saya optimis pada kader Aisyiyah di semua level, pasti mempunyai keuletan tersendiri. Hanya yang perlu diperhatikan adanya pemerataan semangat ini pada semua kader,” tutur Imah.
(Baca juga: TK ABA Premium Diperkenalkan PP Aisyiyah di Malang)
Soimah menegaskan, kader yang sering menjadi delegasi dalam sebuah agenda Persyarikatan harus mampu meneruskan atau menstransfer ilmu yang didapat. “Nah untuk itu juga butuh kesadaran massal dalam tubuh Aisyiyah,” kata Soimah yang menengarai masih adanya faktor pamor cemerlang dalam menentukan seorang pimpinan.
“Seperti silau pada gelar dan status sosial kader, sehingga tidak jarang kemudian mengabaikan kader-kader yang sudah berangkat dari bawah, mulai dari ortom. Itulah yang menyebabkan kesenjangan kader yang militan.”
Padahal, kata Imah, kader yang berangkat dari bawah itu sebenarnya kader yang sudah terbentuk karena pengalaman-pengalaman yang didapatnya selama ini. “Dan ini menjadi modal dasar dalam menjalankan persyarikatan,” ujarnya.
(Baca juga: Kisah Anekdot tentang Penguasa yang Salah Tafsirkan Pesan Muhammadiyah)
Dia menungkapkan, bahwa seringnya dilanggar Pasal 17 ART Aisyiyah dalam pemilihan pimpinan, menjadi kendala tersendiri. “Coba lihat banyak sekali anggtota PDA–PDA yang bertitle profesor maupun doktor. Akan tetapi pada pelaksanaan tingkat tehnis, kesulitan mencari tenaga. Ya.. dikarenakan yang bertitle ini sudah sibuk dengan pekerjaannya,” jelas Imah.
Maka perlu adanya penertiban sesuai dengan kaidah yang ada. Akibat dari pelanggaran pada ART itulah, menjadi mudah menarik orang yang tidak faham dengan regulasi. Padahal kunci gerakan kita itu ada pada regulasi,” ujar mantan Sekretaris PP Aisyiyah ini.
Penggagas UINSA ini mengatakan, untuk membuat regulasi itu tidak mudah. Contohnya di PP Aisyiyah. “Sudah diputuskan jika setiap Sabtu pukul 10.00 ada rapat koordinasi. Tapi karena tidak paham regulasi akhirnya tetap saja tidak hadir. Padahal seharusnya saat itu sudah wajib disisihkan waktunya,” ucapnya.
(Baca juga: Kecil-Kecil Budi Daya Anggrek, Green School ala TK ABA 23 Kota Malang)
Imah menegaskan, gerakan seperti Muhammadiyah dan Aisyiyah tidak boleh hanya menunggu instruksi dari atas. “Belum bisa disebut gerakan bila saling menunggu. Yang bawah menunggu yang atas, sementara yang atas tidak bergerak,” ujarnya.
Imah juga mengungkapkan kekhawatirannya tentang program yang bersifat bantuan pemerintah atau negara donor. “Nah, kaitannya dengan program–program yang bekerja sama dengan pemerintah, menurut saya itu bisa merusak. Keikhlasan kita akan terkikis. Karena, akhirnya mereka mau bergerak karena ada kontrak dengan pemerintah. Terkesan, kita hanya peduli dengan proyek yang besar–besar,” urainya.
Kalau kita mau cerdas, tambah dia, seharusnya program seperti TB Care itu bisa dikaitkan dengan program kesehatan ibu dan anak atau yang lainnya tidak hanya terjebak dengan mencari suspec atau penderita TB,” kata Imah kepada pwmu.co yang menemuinya di Kantor PP Aisyiyah, Jalan Kauman Gm 1/17 Yogyakarta, (4/2) lalu. (Uzlifah)