Aneh kalau Orang Beriman Tak Masuk Surga, Liputan Dadang Prabowo, kontributor PWMU.CO.
PWMU.CO – Bagi orang yang beriman, tidak melakukan apa-apa sudah mendapatkan pahala dan surga, hal itu dikarenakan kemampuannya meninggalkan semua yang dilarang oleh Allah.
Penyataan itu disampaikan oleh Dr Taufiqulloh dalam kajian umum yang diadakan di Sekolah Pesantren Entrepreneur Al-Ma’un Muhammadiyah (SPEAM) Kota Pasuruan, Jawa Timur, Rabu (14/9/22).
Pak Taufiq—sapaannya, menyampaikan bahwa perintah ibadah dalam surat ad-Dzariyat ayat 56 menurut Imam Asyafi’i adalah perintah Allah kepada manusia untuk menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya.
“Di mana ketika seseorang melaksanakan perintah-perintah itu akan dicatat oleh malaikat sebagai amal ibadahnya. Dan kalau dia meninggalkan larangan, malaikat akan mencatat sebagai amal ibadahnya,” paparnya.
Pengasuh Pesantren Mahasiswa Darul Ilmi Yogyakarta tersebut menambahkan orang beriman yang tidak mengerjakan apa-apa, kelak akan kaget menjumpai pahala yang sedemikian besar. Hal tersebut sambungnya, lantaran kemampuannya meninggalkan larangan-larangan Allah.
“Ketika dia meninggalkan makanan haram, itu ada pahalanya. Ketika dia meninggalkan menyia-nyiakan waktu, itu ada pahalanya. Ketika dia meninggalkan pembulian dia dapat pahala. Ketika dia meninggalkan itu semua, semunya berpahala,” tuturnya.
Oleh karena itu imbuhnya, Rasulullah mengatakan: ijtanib al-maharim (jauhilah yang diharamkan). Karena dengan meninggalkan larangan, seseorang dianggap oleh Allah sebagai yang paling banyak ibadahnya.
Jadi ibadah itu, sambungnya, tidak hanya menjalankan perintah-perintah itu, termasuk larangan-larangan yang ditinggalkan juga bernilai ibadah. Dan pahalanya lebih besar.
“Itulah keuntungan kita sebagai orang yang beriman: melaksanakan perintah dapat pahala dan meninggalkan larangan juga dapat pahala,” ungkapnya.
Sebab itu menjadi aneh lanjutnya kalau seorang yang beriman tidak masuk surga. Padahal ada dua pintu (menuju surga): lewat (menjalankan) perintah Allah dapat penghargaan, lewat (meninggalkan) larangan-larangan juga mendapatkan penghargaan. Janjinya adalah surga.
Konsep Hidup Orang Beriman
Mantan Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Gresik ini menyampaikan bahwa seorang hidup harus memiliki konsep hidup atau worldview. Istilah worldview terusnya adalah istilah yang saat ini sering dipakai untuk menggantikan istilah yang lama, yaitu way of life (pandangan hidup). Worldview terangnya adalah pandangan seseorang tentang hidup di dunia ini seperti apa yang harus ia jalani.
Ada satu ayat dalam al-Qur’an lanjutnya yang harus menjadi dasar—titik tolak—seseorang di dalam merenungkan jalan hidup sebelum menjalani hidup. Ayat tersebut adalah surat al-Mu’minun ayat: 115.
أَفَحَسِبْتُمْ أَنَّمَا خَلَقْنَاكُمْ عَبَثًا وَأَنَّكُمْ إِلَيْنَا لَا تُرْجَعُونَ
“Maka apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami?”
“Dari ayat tersebut kita harus mengevaluasi diri kita, bahwa hidup yang kita jalani, jangan hanya sekadar untuk senda gurau dan main-main,” ujarnya. “Termasuk dalam hal beragama. Jangan (beragama) dengan senda gurau dan main-main.”
Termasuk lanjutnya ketika mondok dan belajar di SPEAM. Taufiq berpesan supaya jangan digunakan untuk senda gurau dan main-main saja. Apalagi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara, kalau hanya digunakan untuk main-main. Kalau digunakan hanya untuk bermain-main, kata Taufiq Allah pertanyakan, “Apakah kamu kira aku menciptakanmu itu seperti itu yang saya mau” .
Taufiq menyampaikan bahwa pertanyaan tersebut adalah pertanyan retoris. Pertanyaan yang Allah tidak membutuhkan jawaban, Allah sendiri yang memberikan jawaban. Jadi lanjutnya, jangan kamu gunakan hidup itu hanya untuk senda gurau dan main-main. Sebab, kamu itu apakah mengira tidak dikembalikan kepada Ku, untuk mempertangungjawabkan hidup yang aku berikan.
Dasar menjalani hidup ini kata Taufiq adalah jika seseorang mengatakan dalam dirinya: saya akan menjalani hidup ini dengan serius, dengan sungguh-sungguh, sebab hidup yang saya gunakan ini akan saya pertanggungjawabkan di hadapan Allah—dunia dan akhirat.
Di ayat itu juga lanjutnya, disebutkan bahwa manusia diciptakan dari ketiadaan menuju ada supaya mengenal Allah. Mengenal Allah sebagai ilah (tuhan), sebagai rab (pelindung), mengenalnya sebagai al-malik(yang Maha Memiliki dan Merajai).
“Jadi ini bagian dari kewajiban kita mengenal Allah sebagai rab, ilah, dan al malik, supaya dengan hal tersebut tumbuh kesadaran dalam diri kita untuk beribadah kepada-Nya,” ujaranya. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni