“Manusia dengan segala sifat mulia yang dimilikinya masih menyimpan unsur-unsur primitif dalam tubuhnya yang diwarisi dari leluhurnya yang sederhana.”
Charles Darwin
PWMU.CO – Menurut KBBI, agung bermakna besar, mulia, atau luhur. Dalam pengertian ini, maka Hakim Agung adalah hakim yang besar, mulia, dan luhur.
Dalam strata peradilan umum Indonesia, kata agung itu menemukan relevansinya. Hakim Agung adalah posisi puncak para hakim. Dia adalah pemutus perkara tertinggi di peradilan yang namanya juga agung: Mahkamah Agung. Di bawahnya ada Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri.
Jika perkara-perkara yang diputuskan di lembaga peradilan tingkat pertama dan kedua itu dianggap tidak adil, maka yang berperkara bisa melakukan banding ke tingkat tertinggi, ke Mahkamah Agung. Dan para Hakim Agung itulah yang akan memberi keadilan.
Jadi, Hakim Agung merupakan harapan terakhir akan terwujudnya keadilan sejati, yang keputusannya bersifat final dan mengikat. Hanya keputusan kasasi yang bisa membatalkannya. Tapi itupun juga dilakukan oleh Hakim Agung di Mahkamah Agung.
Maka, Hakim Agung adalah wakil Tuhan di bumi untuk menegakkan keadilan. Bahkan bisa dikata, sebenarnya Hakim Agung sudah menjadi ‘tuhan’. Sebab, keputusannya tidak dapat diganggu gugat. Dan bukankan itu—yang tak dapat diganggu-gugat—adalah kuasa dan sifat Tuhan?
“Tapi Hakim Agung ternyata benar-benar bukan Tuhan. Masak Tuhan korupsi! Hakim Agung terbukti benar-benar manusia. Matanya bisa hijau saat melihat tumpukan duit, yang membuat citra keadilan Tuhan dalam dirinya tercerabut.”
Mohammad Nurfatoni
Tapi Hakim Agung ternyata benar-benar bukan Tuhan. Masak Tuhan korupsi! Hakim Agung terbukti benar-benar manusia. Matanya bisa hijau saat melihat tumpukan duit, yang membuat citra keadilan Tuhan dalam dirinya tercerabut.
Korupsi, uang, dan kekuasaan, membuatnya terjerembab dalam titik terendah kemanusiaan. Dia harus memakai baju orenge. Ditersangkakan. Dipertontonkan. Dibui. Didakwa dan akan segera diadili.
Hakim Agung (akan) diadili? Sebuah frase kata yang terdengar aneh. Kok bisa pengadil agung berbalik menjadi tersangka. Keagungan nama yang disandangnya pun menguap. Bukan lagi Hakim Agung, tapi ‘Hakim Tak Agung’.
Benar kata Charles Darwin. Jika boleh dimodifikasi, pernyataannya yang dikutip di atas bisa diubah menjadi: “Hakim Agung dengan segala sifat mulia yang dimilikinya masih menyimpan unsur-unsur primitif dalam tubuhnya.”
Korupsi adalah sifat primitif manusia, seperti juga potensi membunuh. Lalu apakah kita boleh membenarkannya? Tentu tidak.
Menjadi Hakim Agung, juga rektor dan gubernur, tentu tidak mudah. Ada kriteria tertentu sebagai persyaratannya. Artinya mereka adalah manusia terpilih yang menyandang jabatan terhormat. Layaknya manusia ‘suci’, harusnya mereka—juga kita yang tidak menyandang jabatan mulia—bisa menjaga jarak dengan elemen-elemen kotor seperti korupsi.
Dalam Kitab Suci dikatakan Tuhan mengilhamkan kepada manusia sifat buruk (primitif) dan sifat baik (takwa). Tetapi beruntunglah bagi mereka yang bisa menyucikan jiwanya. Semoga! (*)
Mohammad Nurfatoni, Pemimpin Redaksi PWMU.CO. Merespon ditahannya Hakim Agung SD oleh KPK, Jumat (23/9/2022).