Merawat Pemikiran Buya, Maarif Institute Iuran Ide dengan Jejaring Media: Liputan Kontributor PWMU.CO Gresik Sayyidah Nuriyah. Editor Mohammad Nurfatoni.
PWMU.CO – Maarif Institute menggelar silaturahmi dan iuran ide dengan jejaring media online Muhammadiyah, dalam acara Silaturahmi Online Merawat Pemikiran ASM, Jumat (23/9/22) malam. Direktur Eksekutif Abdul Rohim Ghazali MSi membuka pertemuan via Zoom itu.
Mulanya Rohim mengenalkan Maarif Institute sebagai lembaga peninggalan Ahmad Syafi’i Maarif (ASM). “Concern kita pada tiga pilar Buya yaitu keislaman, kemanusiaan, dan kebangsaan. Satu kesatuan yang tidak terpisahkan satu sama lain,” ungkapnya.
Di Muhammadiyah, lanjut Rohim, pilar ini pengejawantahan Islam wasathiah. “Untuk mewujudkannya, perlu gerakan bersama supaya Muhammadiyah tetap eksis tidak sekadar nama dan fisik tapi juga gagasan. Untuk mengembangkan gagasan ini perlu ada saling keterhubungan antargerakan yang ada,” terangnya.
Pihaknya memahami di Muhammadiyah kini mulai muncul media-media baru. Meski sedikit tertinggal dibanding media ormas lain, tapi menurutnya tidak apa daripada tidak sama sekali.
Rohim menegaskan, Maarif Institute punya tanggung jawab menyebarkan gagasan Buya Syafii. Dalam prosesnya, pihaknya juga bekerja sama dengan berbagai media yang satu haluan. “Terima kasih, sejauh ini yang kita lakukan sudah terbantu dengan kawan-kawan semua,” ucapnya.
Dia berharap, Maarif Institute bisa kembali bersilaturahmi dengan media-media itu di muktamar nanti. “Kami ingin dengan silaturahmi ini kita menjaga saling keterhubungan satu sama lain sehingga gerakan bersama saling menopang satu sama lain. Ini hanya pertemuan awal!” imbuhnya.
Bukan Hanya Milik Muhammadiyah
Usai setiap perwakilan ke-13 media yang hadir memperkenalkan diri, Direktur Program Mohammad Shofan membuka sesi diskusi. Sejalan dengan Rohim, Shofan menjelaskan, “Pascameninggalnya Buya, kita punya tanggung jawab moral untuk merawat dan menyosialisasikan serta mewarisi pemikiran Buya Ahmad Syafii Maarif terkait isu-isu besar.”
“Buya Syafii Maarif bukan hanya milik Maarif Institute atau Muhammadiyah, tapi juga milik bangsa ini karena beliau guru bangsa, cendekiawan Muslim,” tegasnya.
Ia mengingatkan, Buya ASM salah satu pendekar dari Chicago. “Tokoh-tokoh besar itu selalu mewarisi pemikiran brilian, punya pemikiran yang bisa dimanfaatkan banyak orang,” imbuhnya. Kini, lanjutnya, ada Maarif Institute dan lainnya yang melanjutkan dan menyebarkan pemikiran Buya ASM lewat media online.
Salah satu cara yang telah Maarif Institute tempuh yaitu menjalin kerja sama untuk menerbitkan tiga buku Buya ASM. Banyak sahabat baik Buya yang memberi testimoni luar biasa. Testimoni tokoh-tokoh itu mereka kumpulkan sebagai endorsement.
Akhirnya dia menyatakan, “Kami ingin menggali satu ide teman-teman, anak-anak muda milenial, bagaimana kita bisa menerjemahkan dalam sebuah program dan itu penting sekali di tengah gelombang intoleransi cukup tinggi.”
Sebab, berdasarkan survei Maarif Institute, angka intoleransi meningkat signifikan. Contohnya, ada sikap intolerasi salah satu walikota tidak merestui pendirian gereja. “Bagaimana mungkin pejabat negara ditekan pihak-pihak yang intoleran?” tanya dia retorik.
Selain itu, dia juga mencontohkan bagaimana kelompok tertentu mendirikan Gedung Dakwah Aliansi Nasional Anti Syiah alias Gedung Annas. “Ini membuktikan tataran intoleransi di Indonesia menghadapi kendala,” ungkapnya.
Padahal, lanjut Shofan, lembaga NGO seperti Maarif Institute bergerak di isu yang sama, termasuk memberi ruang ke pemikir muda mengampanyekan kebinekaan, kebebasan beragama, dan toleransi.
“Tapi di satu sisi perilaku antitoleran itu semakin mewabah. Virus itu tidak hanya di civil society tapi juga di pemerintah. Padahal regulasinya cukup memadai!” imbuhnya.
Berangkat dari keprihatinan itulah Maarif Institute mengundang jejaring media online untuk urun rembug bagaimana merawat pemikiran legacy Syafii Maarif. (*)