Mengenang Wafatnya Yusuf Al-Qaradhawi; Wariskan 200 Judul Buku; Oleh M. Anwar Djaelani, penulis buku “Ulama Kritis Berjejak Manis” dan delapan buku lainnya
PWMU.CO – Inna lillahi wa inna ilaihi roji’un. Syaikh Yusuf Al-Qaradhawi wafat pada Ahad 26 September 2022. Tak terhitung yang merasa kehilangan atas kepergian Ulama Besar itu. Hanya saja, berkat lebih dari seratus karya tulis Almarhum yang berharga, umat Islam insya Allah masih akan terus bisa “bersama”-nya.
Atas perjuangan panjang dakwahnya, beliau wafat dalam usia 96 tahun, tak mudah memberikan predikat dengan satu atau dua kata saja. Bisa disebut Ulama-Pemikir, karena dari dirinya lahir produk pemikiran berupa buku-buku yang isinya mencerahkan. Bisa pula disebut Ulama Besar, sebab kapasitas beliau berbeda dengan rata-rata ulama.
Selain itu, Yusuf Al-Qaradhawi bisa pula disebut Ulama-Pejuang karena perjalanan hidupnya yang penuh catatan perjuangan dalam menegakkan yang haq. Termasuk pula, beliau merasakan salah satu resiko perjuangan yaitu dipenjara.
Ada lagi, Yusuf Al-Qaradhawi bisa pula disebut Ulama Internasional. Hal ini karena dakwahnya (termasuk lewat berbagai organisasi keulamaan dan keilmuan yang didirikannya atau diikutinya) memang berskala internasional.
Sekilas Kisah
Yusuf Al-Qaradhawi lahir pada 9 September 1926 di Shafat Turab, Mesir. Dia salah satu ulama terkemuka.
Pada usia lima tahun dia mulai belajar menulis dan menghafal Al-Qur’an. Pada usia 10 tahun, dia telah hafal Al-Qur’an. Di samping itu, dia mahir qiraah dan tilawah Al-Qur’an. Dia pun punya suara merdu.
Riwayat pendidikannya panjang. Sekadar menyebut, jenjang S1 sampai S3 diselesaikannya di Universitas Al-Azhar Mesir. Di program S3, saat menulis disertasi, dia bahas tentang zakat dan pengaruhnya dalam memecahkan problematika sosial.
Program S3 dia selesaikan pada 1972. Lalu, materi disertasinya dia sempurnakan dan diterbitkan sebagai buku tentang Fiqh Zakat yang lengkap.
Di antara ujian hidup yang dialaminya, Yusuf Al-Qaradhawi pernah ditahan selama dua tahun oleh penguasa militer Mesir. Tuduhannya, pro dengan gerakan al-Ikhwan al-Muslimun.
Dia-pun hijrah ke Doha, Qatar. Di negeri ini, ulama yang ahli di bidang hukum Islam itu pernah menjadi Dekan Fakultas Syariah Universitas Qatar. Di Doha – Qatar ini pula, Yusuf Al-Qaradhawi wafat.
Kehilangan, Pasti!
Atas wafatnya ulama, apalagi sekelas Yusuf Al-Qaradhawi, patut membuat kita berduka sedalam-dalamnya. Mengapa?
Secara bahasa ulama berarti ”Orang yang mengerti” atau ”Orang yang berilmu” atau ”Orang yang berpengetahuan”. Dalam perspektif Islam, ulama adalah orang yang berkategori sebagai pewaris para Nabi. Perhatikan hadits ini:”Sesungguhnya ulama itu adalah pewaris para Nabi” (HR Abu Dawud dan At-Tirmidzi).
Posisi ulama sangat penting. Renungkanlah hadits ini: ”Para ulama itu sebagai pelita di permukaan bumi ini, sebagai pengganti—pengganti para Nabi, dan sebagai waris saya-Muhammad—dan sebagai pewaris para Nabi.” (HR Ibnu Ady).
Peran ulama sangat strategis, sebab mereka adalah pembimbing dan pembina umat. Cermatilah hadits ini: ”Sesungguhnya perumpamaan ulama di bumi adalah seperti bintang-bintang di langit yang memberikan petunjuk di kegelapan bumi dan laut. Apabila dia terbenam, maka jalan akan kabur.” (HR Ahmad).
Untung, Ada “Warisan”
Saat ulama wafat, kita berduka dan merasa sangat kehilangan. Hanya saja, jika ulama yang meninggal itu meninggalkan (banyak) karya tulis, ada peluang bahwa kita masih akan terus bisa bersamanya. Caranya, tentu dengan terus mengkaji kitab atau buku yang ditinggalkannya.
Alhamdulillah, Yusuf Al-Qaradhawi termasuk salah satu ulama yang produktif dalam menghasilkan karya tulis. Dia banyak menulis kitab dalam berbagai bidang keilmuan. Kitab-kitabnya juga sudah banyak yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
Karya tulis dia lebih dari seratus judul buku. Ada yang menyebut mendekati 200 judul buku. Di Indonesia, salah satu penerbit yaitu Pustaka Al-Kaustar, setidaknya telah menerbitkan 36 judul. Berikut ini judul-judulnya:
1). Tafsir Juz Amma. 2) Fikih Hiburan. 3) Bagaimana Berinteraksi dengan Al-Qur’an. 4)Dalam Pangkuan Sunnah. 5) Meluruskan Dikotomi Agama dan Politik.
Juga ini: 6) Bagaimana Berinteraksi dengan Peninggalan Ulama Salaf. 7) Pengantar Kajian Islam. 8) Perjalanan Hidupku. 9) Fikih Prioritas. 10) Kebangkitan Gerakan Islam
Pun ini: 11) Distrosi Sejarah. 12) Prinsip Amal-Amal Kebaikan. 13) Ringkasan Fikih Jihad. 14) Akhlak Islam. 15) Pengantar Politik Islam.
Begitu juga ini: 16) Fiqih Maqashid Syariah. 17) Dalam Pangkuan Sunnah. 18) Retorika Islam. 19) Bagaimana Berinteraksi dengan Sunnah. 20) Fikih Taysir
Ini pula; 21) Fikih Thaharah. 22) Fikih Daulah. 23) Taubat. 24) Tawakal. 25) Kita dan Barat. 26) Niat dan Ikhlas. 27) Metode Dakwah Syaikh Al-Qaradhawi. 28) Anatomi Masyarakat Islam. 29) Kumpulan Ceramah Pilihan Syaikh Yusuf Al-Qaradhawi. 30) Wanita dalam Fikih Al-Qaradhawi.
Ini juga: 31) Manhaj Dakwah Syaikh Al-Qaradhawi: Harmoni antara Kelembutan dan Ketegasan. 32) Sekular Ekstrem. 33).70 Tahun Ikhwanul Muslimin. 34) Fatwa-Fatwa Kontemporer. 35) Islam Ekslusif. dan Inklusif. 36) Tujuh Kaidah Fikih Muamalah.
Demikianlah sebagian karya tulis Yusuf Al-Qaradhawi. Dengan sekadar melihat judul-judul buku di atas, terasa betapa luas ilmu Ulama Besar tersebut.
Sepuluh Resep
Sekarang, kita coba buka buku di urutan ke-10 di atas. Judul lengkapnya, “Kebangkitan Gerakan Islam; Dari Masa Transisi Menuju Kematangan”. Buku ini dalam terjemah bahasa Indonesia, yang diterbitkan Pustaka Al-Kautsar, setebal 432 halaman.
Ketika mengantarkan buku ini, penerbit menyebut bahwa tujuan menghadirkan buku ini: Agar “Para aktivis gerakan Islam mau memuhasabah diri, introspeksi, dan terbuka akan kekhilafan, kealpaan, dan kesalahan yang mungkin turut disumbangkan para aktivitas gerakan Islam hingga menghambat kebangkitan Islam di Indonesia”.
Memang, Yusuf Al-Qaradhawi memiliki perhatian yang sangat besar terhadap pematangan situasi atas terjadinya kebangkitan Islam. Dia banyak mencurahkan pikiran dan perasaan terhadap kebangkitan Islam khususnya yang berkaitan dengan kebangkitan pemuda yang notabene merupakan pilar utama dalam proyeksi kebangkitan ini secara keseluruhan (2003: 3).
Yusuf Al-Qaradhawi, di buku itu, merekomendasikan “Sepulah Langkah Menuju Kematangan Kebangkitan Islam”. Apa sajakah itu?
Inilah rekomendasi Yusuf Al-Qaradhawi: 1) Dari Format dan Simbol Menunju Hakikat dan Substansi. 2) Dari Pembicaraan dan Polemik Menuju Penerapan dan Perbuatan”. 3) Dari Sikap Sentimental dan Emosional Menuju Sikap yang Rasional dan Ilmiah. 4) Dari Orientasi ke Masalah Cabang dan Sekunder Menuju Masalah Pokok dan Primer. 5) Dari Menyulitkan dan Ancaman Menuju Kemudahan dan Kabar Gembira. 6).
Ada pula Dari Kejumudan dan Taklid Menuju Ijtihad dan Pembaruan. 7) Dari Fanatisme dan Eksklusifisme Menuju Toleransi dan Inklusivisme. 8) Dari Sikap Berlebihan dan Meremehkan Menuju Modernisme. 9) Dari Kekerasan dan Kebencian Menuju Kelemahlembutan dan Rahmat. 10) Dari Ikhtilaf dan Perpecahan Menuju Persatuan dan Solidaritas (2003: 4).
Itulah sepuluh hal yang lalu dijabarkan secara argumentatif oleh Yusuf Al-Qaradhawi dalam buku setebal 430 halaman itu. Bagi yang belum berkesempatan membaca buku itu, sepuluh rekomendasi Yusuf Al-Qaradhawi cukup mudah kita membayangkan isinya. Hal ini karena judul-judul yang dirumuskannya sangat lugas sehingga kita terbantu untuk segera bisa menangkap kemana arah pikiran Yusuf Al-Qaradhawi dalam hal “Kebangkitan Gerakan Islam”.
Islam dan Negara
Sekarang, kita coba buka buku “Fikih Negara”. Kali ini, yang kita buka edisi bahasa Indonesia dan diterbitkan Robbani Press. Tebal 260 halaman.
Mari gugah semangat berpolitik kita lewat kajian Yusuf Al-Qaradhawi yang inspiratif di bahasan “Islam dan Politik”. Bagi dia, kaum penjajah terus berusaha keras dalam memantapkan konsep bahwa Islam tidak punya hubungan dengan politik dan negara.
Tentu, bagi Yusuf Al-Qaradhawi, hal di atas berlawanan dengan apa yang telah diusahakan oleh Imam Hasan al-Banna. Sang Imam telah mencurahkan seluruh daya dan upayanya untuk mengajarkan kepada kaum Muslimin konsep kekomprehensifan Islam. Beliau yakinkan bahwa Islam adalah sesuatu yang syumul (menyeluruh), mencakup semua dimensi kehidupan dengan syariat dan pengarahannya. Islam menata kehidupan individual, kehidupan keluarga, kehidupan sosial dan kehidupan politik.
Selanjutnya, kata Yusuf Al-Qaradhawi, “Islam yang dibawa oleh al-Qur’an dan Sunnah, yang dikenal oleh kaum salaf dan khalaf adalah Islam Integral yang tidak mengenal pemisahan. Islam yang benar adalah Islam Spiritual, Islam Moral, Islam Pemikiran, Islam Pendidikan, Islam Jihad, Islam Sosial, Islam Ekonomi, dan Islam Politik” (1999: 18-22).
Bahwa Al-Qur’an itu sistim yang integral, kokoh dan rinci, Yusuf Al-Qaradhawi mendasarkannya kepada An-Nah: 89: “Dan Kami turunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri”.
Yusuf Al-Qaradhawi lalu meminta agar kita mencermati sistim yang ditegakkan Rasulullah Saw dan kaum Muslimin di Madinah. “Bila ditinjau dari segi fenomena praktisnya dan diukur dengan berbagai standar politik kontemporer, dapat dikatakan (itu) sebagai ‘politik’ sesuai dengan pengertian kata ini. Hal itu tidak menghalangi kita untuk menilai sistim tersebut pada waktu yang sama sebagai ‘tatanan agama’ bila hal itu dilihat dari segi sasaran dan faktor-faktor yang mendorongnya, serta pondasi spiritual yang menopangnya,” tegas Yusuf Al-Qaradhawi (1999: 23).
Tak berhenti di situ, Yusuf Al-Qaradhawi merasa perlu mengutip tujuh orientalis yang malah menguatkan pendapatnya. Berikut ini sekadar dua di antaranya.
“Islam adalah suatu sistim yang integral, yang mencakup agama dan negara sekaligus,” kata Dr. Schacht. “Islam bukan hanya sekadar agama, tapi juga sistim politik,” tegas Dr. V. Fitzgerald.
Mengapa Yusuf Al-Qaradhawi lebih memilih pendapat orientalis ketimbang ulama untuk mengukuhkan pendapatnya? Tujuannya, agar tidak dianggap subjektif. Supaya “Dapat membungkam mereka yang keras kepala” (1999: 23-24).
Tersebab Menulis
“Jika engkau ingin kekal, maka menulislah,” demikian bunyi sebuah pepatah. Rasanya, banyak yang setuju dengan pepatah ini. Misal, kita masih bisa mengenal dengan baik ulama-ulama seperti Imam Ghazali, Ibnu Taimiyah dan Ibnu Khaldun karena mereka meninggalkan karya tulis yang tetap dipakai hingga kini.
Lihatlah, Imam Al-Ghazali (1058-1111). Dia meninggalkan dua ratusan karya tulis termasuk Ihya Ulumuddin (Menghidupkan Kembali Ilmu-Ilmu Agama) yang tersohor itu.
Cermatilah, Ibnu Taimiyah (1263-1328). Dia punya sekitar 500 judul karya tulis, termasuk Majmu’ Fatawa.
Perhatikanlah, Ibnu Khaldun (1332-1406). Buku-bukunya terus menginspirasi terutama yang berjudul Mukaddimah yang edisi terjemah bahasa Indonesia-nya lebih dari 1000 halaman.
Simaklah Sayyid Qutb (1906-1966). Di antara karya-karyanya yang masih akan lama dipelajari orang, maka pasti Tafsir Fi Zilalil Qur’an (Di Bawah Naungan Al-Qur’an) yang paling menonjol.
Di Indonesia, bagaimana? Lihatlah, A. Hassan (1887-1958). Karya tulisnya banyak, yang paling menonjol tentu Tafsir Al-Furqan.
Cermatilah Hasbi Ash-Shiddiqie (1904-1975). Karya tulis dia lebih dari 70 judul di berbagai bidang kajian. Pedoman Shalat, salah satu judulnya.
Amatilah M. Natsir (1908-1993). Karya tulis dia banyak. Capita Selecta dan Fiqhud Dakwahadalah sekadar menyebut dua judul yang populer.
Perhatikanlah Hamka (1908-1981). Karya tulis dia lebih dari seratus judul. Adapun karya puncaknya adalah Tafsir Al-Azhar.
Dua Testimoni
Satu hal yang pasti, Yusuf Al-Qaradhawi-terutama di bidang pengembangan keilmuan berjasa sangat besar. Sekarang, lebih dari seratus buku karya Yusuf Al-Qaradhawi dengan aneka topik kajian keislaman itu menjadi warisan tak ternilai. Warisan bagi siapapun yang berposisi sebagai pencari kebenaran.
Warisan itu, karya-karya keilmuan dan pemikiran itu, telah dan akan sangat banyak yang menikmatinya. Sekadar menyebut, Ustadz Abdul Somad (UAS) termasuk yang rajin menikmati dan memanfaatkan karya-karya tulisYusuf Al-Qaradhawi.
Di sebuah acara Takziyah Virtual, UAS bercerita bahwa dia mulai mengikuti pemikiran Yusuf Al-Qaradhawi lewat buku-bukunya sejak 1998. Beruntung, pada 1999 saat kuliah di Mesir, UAS pernah bertemu langsung di sebuah pengajian yang pembicaranya adalah Yusuf Al-Qaradhawi. Sang Syaikh yang kala itu sudah mukim di Qatar itu sedang “pulang kampung” ke Mesir.
Pulang ke Indonesia, selepas kuliah, UAS tambah merasakan manfaat buku-buku Yusuf Al-Qaradhawi. “Banyak persoalan-persoalan (kontemporer) yang dihadapkan ke saya terjawab dengan fatwa-fatwa dan tulisan-tulisan Yusuf Al-Qaradhawi,” kata UAS. Misal, posisi dari lagu atau musik. Jika (materi lagu atau musik) baik maka baik dan sebaliknya.
Lihatlah kesaksian Ustadz Fahmi Salim, seorang cendekiawan Muslim muda dan lulusan Al-Azhar Mesir. Bagi dia, Yusuf Al-Qaradhawi “Bukan hanya individu tapi sudah menjelma menjadi madrasah pemikiran Islam di masa terpuruknya umat di abad 20 dan 21 Masehi ini, yang jasanya sebanding dengan gerakan madrasah Islah dan Tajdid Hujjatul Islam Abu Hamid Al-Ghazali dan Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani di masa genting kekalahan umat Islam di era Perang Salib abad 11 dan 12 Masehi”.
Kini setelah Yusuf Al-Qaradhawi berpulang ke Rahmatullah, seperti ulama-ulama pendahulunya yang telah wafat dan meninggalkan karya tulis, karya beliau insya Allah akan terus dikaji orang. Namanya akan terus disebut-sebut orang dalam nada baik, sebagai Sang Teladan.
Semoga Allah rahmati Syaikh Yusuf Al-Qaradhawi. Mudah-mudahan kita bisa meneladaninya. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni