Sepakbola Biaya Tinggi, Miskin Prestasi oleh Prima Mari Kristanto.
PWMU.CO– Sepakbola nasional seperti kehilangan ruh nasionalismenya. Berubah jadi sepakbola liberal. Biayanya makin tinggi tapi tak kunjung mengukir prestasi. Yang heboh baru suporternya.
Kini dunia sepakbola berduka menyusul Tragedi Stadion Kanjuruhan usai pertandingan Liga 1 antara Arema Malang versus Persebaya Surabaya, Sabtu 1 Oktober 2022 malam.
Sebanyak 174 penonton bola meninggal dunia. Mayoritas Aremania. Ada juga dua polisi. Beruntung dalam pertandingan itu suporter Persebaya, Bonekmania, dilarang menonton. Pertemuan tim kebanggaan Surabaya dengan tim kebanggaan Malang, Arema atau Persema, selalu menghadirkan tensi tinggi untuk suporternya.
Tensi tinggi pertemuan tim sepakbola Malang-Surabaya hanya bisa disamai oleh Persib Bandung versus Persija Jakarta. Sebagai musuh bebuyutan di lapangan hijau. Selalu ada perang supporter.
Persebaya Surabaya, Persib Bandung, dan Persija Jakarta adalah tim legenda perserikatan sepakbola yang lahir sejak masa Hindia Belanda. Sedangkan Arema lahir sejak 1987 merupakan legenda Galatama.
Eksistensi Persebaya dan Arema patut diapresiasi di tengah maraknya tim-tim legendaris yang bangkrut, bubar atau hidup enggan mati tak mau. Tim Perserikatan yang pernah jaya kemudian terkatung-katung di antaranya PSMS Medan, Persipura Jayapura, Persiba Balikpapan dan lain-lain.
Tim-tim Galatama seangkatan Arema kini hampir tidak ada lagi, termasuk tim kebanggaan Surabaya, Niac Mitra. Tim Pelita Jaya yang didanai keluarga Bakrie redup entah ke mana. Arseto Solo yang didanai keluarga Cendana pun tidak jelas kabar beritanya.
Belum termasuk Yanita Utama, Perkesa, Warna Agung, Makasar Utama, Palu Putra, Gelora Dewata, Mitra Surabaya, Assyabab Salim Group, Kramayudha, Bandung Raya, Medan Jaya, Petrokimia Putra, Pusri Palembang, Pupuk Kaltim dan sebagainya.
Kompetisi sepakbola nasional dahulu sangat sederhana. Tim-tim swasta masuk kompetisi Galatama. Persebaya, Persib, Persija, PSMS, PSIS, Persipura dan tim perserikatan lainnya masuk kategori tim “negeri” dijuluki tim amatir karena didanai pemerintah daerah.
Namun demikian dengan kompetisi Perserikatan dan Galatama yang sederhana, prestasi sepakbola nasional bisa dibanggakan. Dua emas SEA Games 1987 dan 1991 belum bisa diulang sampai detik ini. Dalam Pra Piala Dunia 1986, tim nasional Indonesia gagal ke Mexico setelah kalah bersaing dengan tim nasional Korea Selatan.
Sejak kompetisi perserikatan dan Galatama digabung pada tahun 1994, prestasi sepakbola nasional tidak kunjung bersinar. Baik di tingkat regional Asia Tenggara dan dunia. Sepakbola nasional sejak 1994 demikian meriah, ramai di lapangan, muncul sejumlah selebritas dengan dibukanya kran pemain asing.
Tidak ada yang salah dengan meriahnya kompetisi sepakbola nasional. Hanya jadi masalah jika prestasi sepakbola nasional menjadi redup. Tensi tinggi antar pendukung tim fanatik tidak salah jika dibina dengan baik.
Suporter fanatik ibarat nyawa tambahan sebuah tim sepakbola. Juga aset bagi tim dalam mendapatkan sponsor. Bonek Surabaya, Aremania Malang, Jakmania Jakarta, Bobotoh Bandung dan kawan-kawan sebagai potensi ekonomi sepakbola nasional.
Butuh pembinaan yang serius dan manusiawi agar para suporter bola Indonesia tidak menjelma jadi monster yang menakutkan. Suporter yang anarkis membahayakan tim lawan dan merugikan tim sendiri.
Tragedi-tragedi yang disulut suporter bisa berbuah sanksi dan denda yang berdampak pada keuangan tim. Peristiwa di Stadion Kanjuruhan harus menjadi yang terakhir.
Surabaya-Malang satu nyali dan satu hati, wani berdamai majukan sepakbola Indonesia. Pemangku kebijakan harus mulai berpikir keras mencegah konflik antar suporter, bukan hanya menyalahkan para suporter.
Ke depan, tensi tinggi cukup 90 menit saja di lapangan dan di tribun penonton. Selanjutnya bisa ngopi bareng sambil hahaa..hii..hiii diskusi permainan tim yang menang dan yang kalah.
Editor Sugeng Purwanto