PWMU.CO – Prof Zainuddin Maliki Kritik Mendikbudristek: Hindari Membuat Kebijakan Pendidikan serba Negara. Anggota Komisi X DPR RI Prof Zainuddin Maliki mengkritisi sejumlah kebijakan Kemendikbudristek yang dibuat belakangan ini.
“Sejauh ini pemerintah begitu gencar melakukan perubahan kebijakan pendidikan. Setidaknya Kemendikbudristek sudah mengeluarkan 22 episode,” ujarnya.
Sayangnya sejumlah kebijakan strategisnya menuai kontroversi, seperti perubahan kurikulum, pembubaran BSNP, RUU Sisdiknas, dan yang terakhir pengangkatan vendor beranggotakan 400 orang—sebuah jumlah fantastik di forum PBB oleh Mendikbudristek Nadime Makarim disebut sebagai organisasi bayangan, bukan vendor.
“Kontroversi itu muncul di samping soal substansi, salah satunya juga karena cenderung tertutup, kurang membuka dialog dengan para pemangku kepentingan,” ungkap anggota DPR-MPR RI dari Fraksi PAN pada Sosialisasi Empat Pilar Kehidupan Kebangsaan yang diikuti guru-guru yang tergabung dalam Ikatan Guru Aisyiyah Bustanul Athfal (IGABA) Kabupaten Lamongan, di Kota Lamongan, Rabu (28/9/2022).
Zainuddin Maliki mengungkapkan, hingga Menkum HAM Yasona Laoly yang mewakili pemerintah menyerahkan usulan RUU Sisdiknas kepada Badan Legislasi, misalnya, Komisi X DPR belum memperoleh draft yang disiapkan Kemendikbudristek. Beberapa pihak mengaku sudah diajak dialog, tetapi sejumlah pegiat pendidikan berbasis masyarakat sebagai the main-stakeholder mengaku belum memperoleh kesempatan dialog yang cukup.
“Pegiat pendidikan berbasis masyarakat seperti Muhamamadiyah, Maarif NU, PGRI, Majelis Pendidikan Nasional Katolik, Majelis Pendidikan Kristen, Taman Siswa, mengaku belum diajak mendialogkan secara intensif. Sementara mereka masih melihat sejumlah kelemahan dilihat dari substansinya,” ungkap Guru Besar Universitas Muhammadiyah Surabaya itu.
Demikian juga soal penunjukan 400 orang yang disampaikan di forum PBB sebagai organisasi bayangan, pun belum pernah dikomunikasikan dengan Komisi X, yang notabene-nya mitra kerja Kemendikbudristek.
Zainuddin Maliki menegaskan, kebijakan strategis yang dikeluarkan tanpa transparansi dan miskin dialog publik, akan berpotensi besar bias negara. “Indonesia itu berfalsafah Pancasila dan berlandaskan UUD 1945 menolak kebijakan serba negara atau etatisme,” ungkap legislator dari Dapil Jatim X Gresik-Lamongan itu mengingatkan.
Kebijakan yang partisipatoris—dengan lebih banyak mengajak dialog dan memberi ruang partisipasi masyarakat adalah pesan Pancasila dan UUD 1945. Dalam Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28 C ayat (2) UUD 1945 memberikan kesempatan bagi warga negara untuk turut serta dalam pemerintahan dan membangun masyarakat, bangsa, dan negara.
“Sebuah kebijakan, apalagi menyangkut penyusunan peraturan perundang-undangan, partisipasi masyarakat secara luas merupakan keniscayaan,” ungkap anggota Badan Legislasi DPR-RI itu.
Dia menjelaskan, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan secara tegas mengharuskan adanya keikutsertaan publik. Apalagi perorangan maupun kelompok masyarakat yang terdampak atas materi yang ada dalam rancangan undang-undang.
“Mereka bersama para pihak yang punya kepentingan terhadap undang-undang itu harus diajak dialog dan diberi ruang partisipasi,” tegas mantan Ketua Dewan Pendidikan Provinsi Jatim itu.
“Kami mendesak agar pemerintah, dalam hal ini Kemendikbudristek memperkuat tradisi dialog dengan masyarakat dalam setiap pembuatan kebijakan strategisnya, sehingga kebijakan pendidikan yang dihasilkan bukan kebijakan serba negara atau etatisme, melainkan kebijakan yang semua masyarakat merasa ikut memiliki,” ungkapnya. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni