Isu Politik Bikin Pengajian yang Dihadiri Anggota DPR Ini Panas; Penulis Sayyidah Nuriyah, Kontributor PWMU.CO Gresik Editor Mohammad Nurfatoni.
PWMU.CO – Mana yang lebih cepat dan mudah membuka pintu surga; jadi anggota DPR, pedagang, petani, atau guru?
Pertanyaan itu terlontar dari Prof Dr Zainuddin Maliki MSi, Anggota Komisi X Fraksi PAN Daerah Pemilihan X Jatim, Ahad (2/9/2022) saat menyampaikan materi bertema adikan Anak-Anak Terdidik dan Bermental Kuat.
Pada ujung Pengajian Ahad Pagi yang diselenggarakan Masjid At-Taqwa Wisma Sidojangkung Indah, Desa Sidojangkung, Kecamatan Menganti, Kabupaten Gresik itu dia lantas teringat dengan kutipan, “Kekuasaan cenderung membuat orang korupsi.”
Hal ini membuat Prof ZM, sapaannya, mengajukan pertanyaan kritis kepada jamaah, “Korupsi fitrah atau bukan?” Dengan tegas ia menyatakan korupsi bukan fitrah manusia. “Orang yang korupsi itu hati kecilnya sadar kalau itu nggak benar. Karena fitrahnya orang itu berpikir benar, bersikap benar, berpihak pada yang benar. Kalau korupsi itu tidak benar, kekuasaan membuatnya tidak benar, keluar dari fitrahnya!” terangnya.
Mengapa anggota DPR mudah berpikir tidak waras? Menurutnya, itu karena perilaku masyarakat juga belum waras. Dia berujar, “Karena waktu pemilu, dari rumah berangkat ke TPS niatnya, bismillah maju tak gentar nyoblos yang ….” Spontan para jamaah menjawab, “Bayar!”
Padahal, sambungnya, fitrah itu berpihak pada yang benar. “Harusnya maju tak gentar nyoblos yang benar,” ujarnya. Karena itulah menurut Prof ZM banyak anggota DPR yang tidak waras.
Dia menilai, beratnya kenaikan harga BBM itu karena ada pemerintah yang menaikkan harganya. “Pemerintahan ini kan partai yang besar ya. Kok partainya tidak disalahkan, ya?”
“Pemerintahnya itu disalahkan, tapi kok yang memilih pemerintahannya itu tetap saja hasil survei kok tetap di atas 20 persen? Saya nggak bisa jawab. Menurut saya, ada sesuatu yang nggak waras di rekan-rekan kita. Mestinya kan kalau pemerintah disalahkan karena menaikkan BBM, ya pemerintahnya itu siapa yang memilih?” ucapnya.
Pengaruh Uang
Selain kekuasaan, yang bikin seseorang keluar dari fitrahnya juga uang. Uang-uang yang beredar jelang pemilu itu pula menurutnya yang bikin masyarakat jadi tidak waras. “Yang kemudian membuat DPR kita banyak yang tidak waras,” imbuhnya.
Selama menjadi DPR sejauh ini, dia menuliskan relam jejaknya dalam sebuah buku berjudul ‘Menyuarakan Kewarasan Publik dalam Politik’. “Saya berusaha di DPR menjadi orang-orang yang waras dan saya berusaha menyuarakan aspirasi, pikiran waras, Bapak Ibu ini,” ungkapnya.
Kemudian dia mengajak jamaah mendidik anak-anaknya agar bisa mengembangkan kepribadian sebuah fitrah manusia, yaitu suka kebaikan dan mencari kebenaran. “Kebenaran tertinggi itu di tangan Allah SWT. Kalau kita mendidik anak suka pada kebenaran, akhirnya dia mencari kebenaran sampai menemukan kebenaran dari Allah SWT,” jelasnya.
Dia juga mengingatkan, lingkungan pendidikan itu ada sekolah, keluarga, dan masyarakat. Ketiga lingkungan itu penting karena umumnya kita lebih banyak dibentuk lingkungan. “Harusnya kita punya kepribadian kuat. Masuk ke lingkungan baik, tambah baik. Masuk lingkungan tidak baik, kita tidak terpengaruh!” terangnya.
Dulu dia juga berpikir ketika masuk dunia politik, “Orang mengatakan politik itu kotor. Mikir saya ini, Pak! Bisa nggak saya ini mikir waras di tengah lingkungan yang dianggap kotor?” Begitu pertanyaan yang menyelimuti benaknya. Mengingat, banyak orang yang tidak mau masuk ke dunia politik dan jika bertemu politisi langsung berpikir sosok itu orang kotor sehingga langsung menjauh.
Diskusi Panas
Sesi tanya jawab berlangsung gayeng. Di hadapan Prof ZM, Taufik, salah satu jamaah pria bertanya, “Bagaimana sebagai anggota masyarakat menyikapi kenaikan harga BBM?”
“Teman-teman di lapangan selalu bertanya, apakah kita akan melakukan gerakan massa atau kita diam saja?” tanya dia.
Karena, sambungnya, ada keresahan ketika terjadi reformasi. “Semua orang baik, termasuk Pak Amien Rais, berada di garda terdepan. Eh tiba-tiba setelah reformasi yang menikmati hasilnya, menang pemilu, malah Partai Demokrasi Indonesia Indonesia (PDIP). Padahal PDIP nggak ikut di garda terdepan untuk menjatuhkan kepemimpinan Pak Harto,” terangnya.
Dia menduga, “Teman-teman yang hendak menyuarakan aspirasi untuk BBM ini jangan-jangan sudah ada settingan oleh oligarki, biar terjadi chaos nanti yang mengambil alih juga orang-orang itu.”
Gayung bersambut. Pertanyaan Taufik memancing jamaah lain mengungkap unek-uneknya. Seorang jamaah wanita, Suhartanti, menyatakan ingin kehadiran Prof ZM, sapaan akrab narasumber, di sana menetralisisasi agar tak ada masalah keberpihakan kubu politik. “Karena itu semua kehendak Allah dan semua itu pilihan rakyat,” ujarnya.
Sebagai pejuang reformasi mulai 1992-1998, dia menyatakan sebelumnya tidak pernah bicara ke masyarakat sekitar domisilinya, di Sidojangkung itu, bahwa dia orang PDIP. Suhartati anak seorang TNI. Dia menyatakan hanya mau meneruskan perjuangan sang ayah.
Dia menegaskan dengan suara mulai bergetar, “Saya tidak menginginkan jabatan DPR atau apapun! Saya berjuang (untuk) Megawati bisa jadi presiden. Itu sebuah kebanggaan bagi keluarga saya.”
Itupun, lanjutnya, waktu itu dia mengeluarkan dana pribadinya, bukan dana pemerintah. “Saya ingin menjadi orang yang benar-benar taat kepada Allah. Saya lepaskan embel-embel itu. Karena mulai kecil saya sudah dididik bapak saya, untungnya bapak saya orang Muhammadiyah. Bapak saya memang tidak pernah duduk di DPR,” imbuhnya. Dia mengaku bapaknya teman mantan Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jatim almarhum KH Anwar Zain.
Menanggapi curahan hati Suhartati, Prof ZM mengatakan, “Saya ingin Sampeyan yang jadi Ketua PDIP!” Respon ini spontan mendapat tepukan tangan jamaah. “Kalau yang jadi ketua seperti Sampeyan, nggak akan ada pilih yang lain,” imbuhnya.
Prof ZM menambahkan, “Ayo, Bu, saya dukung Sampeyan. Saya orang PAN tapi dukung Sampeyan jadi ketua PDIP. Gimana, setuju?” Para jamaah pun kompak menyatakan setuju.
Dia menekankan, itu supaya negara ini dikendalikan oleh partai besar. “Kalau partai besarnya itu waras, negeri ini ….” Lagi-lagi jamaah serempak menjawab, “Waras!”
Kemudian, merespon pertanyaan Taufik apakah perlu demo, dia menuturkan, “Nggak usah demo, Pak! Menurut saya hukum saja nanti saat Pemilu 2024 jangan dipilih. Pilih yang waras! Jadi pemilih yang waras!”
Usai bertanya, kedua peserta itu mendapat buku karagan Prof ZM berjudul Menyuarakan Kewarasan Publik dałam Politik. Suasana pengajianpun cair kembali dan menjadi adem.
Anggota Majelis Dikdasmen Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Gresik Choiruz Zimam MPd yang ikut hadir di sana menyatakan, dirinya baru kali ini ikut pengajian dengan pertanyaan berbobot. “Saya senang pengajian kemarin di Menganti. Pesertanya antusias dan pertanyaan bermutu!” ujarnya. Zimam mengaku selama mengikuti pengajian Prof ZM, baru di sini dia menemukan antusiasme peserta bertanya dengan pertanyaan berbobot.
Dia lantas menyayangkan singkatnya alokasi waktu Pengajian Ahad Pagi itu. “Sayang pendek. Perlu diskusi tema tersebut secara khusus bersama kaum milenial,” imbuhnya. Padahal pengajian yang seharusnya berjalan satu jam pukul 06.00-07.00 itu sudah ditambah waktunya 30 menit karena banyaknya pertanyaan. Mungkin, mumpung ada wakil rakyat! Itupun tidak semua penanya diberi kesempatan. (*)