PWMU.CO – Era informasi yang 20 tahun lalu ramai diramalkan, kini benar-benar hadir di depan mata. Dengan kemajuan teknologi, hal-hal yang dulu tidak mungkin sekarang menjadi kenyataan. Seperti munculnya belanja via on line yang marak belakangan ini. Bahkan era informasi ini telah mengubah gaya hidup. Seperti yang terekam dalam ungkapan “yang jauh jadi dekat dan yang dekat jadi jauh”.
Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur Nadjib Hamid menyatakan hal itu dalam Kajian Subuh Berkemajuan yang diselenggrakan Pimpinan Ranting Muhammadiyah Jajartunggal, Wiyung, Surabaya, di Masjid At Taqwa, Ahad (5/3).
(Baca: Pentingnya Menjadi Mujahid Cyber di Era Informasi yang Bertabur Berita Hoax)
“Dulu ibu-ibu ketika berkumpul rasan-rasan (ngerumpi) sambil petan (mengambil kutu rambut). Tapi sekarang, ngerumpi tidak harus ketemu karena bisa melalui WAG (WhatsApp Group),” kata dia memberi contoh betapa batas-batas teritorial telah hilang di era informasi ini.
Era informasi yang didukung teknologi canggih itu, kata Nadjib, telah memunculkan ‘agama’ baru yakni kebebasan berekspresi. Di mana setiap orang bebas menyebar berita-berita melalui media sosial tanpa melalui filter terlebih dahulu. “Padahal tidak sedikit berita-berita itu yang berisi fitnah. Anehnya, kita merasa bangga menjadi orang pertama yang menyebarkannya, tanpa perlu melakukan tabayun,” tuturnya.
Karena itu Nadjib mengajak setiap Muslim untuk menjadikan Surat Alhujurat Ayat 6 sebagai kode etik, “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.”
(Baca juga: Di Era Perang Informasi, Para Dai Harus Melek Media)
Ayat di atas, tutur Nadjib, sebagai batasan dan rambu-rambu dalam menerima dan menyebarkan berita. “Dalam menyebarkan berita, posting dan share, kita tidak boleh taklid,” ucapnya.
Nadjib menjelaskan, ada tiga tingkatkan orang Islam dalam beramal, termasuk dalam masalah informasi ini. Pertama, ijtihad yaitu sekelompok orang yang mampu melakukan kajian dan menyimpulkannya dari nash Alquran dan Assunah. Orangnya disebut mujtahid.
Kedua, ittiba’, yaitu sekelompok orang yang melakukan suatu amalan tapi belum bisa mengali dalil sendiri. Namun mereka paham mengenai apa yang dia lakukan. Oranya disebut muttabi’.
Dan ketiga, taklid atau norok bontek yakni sekolompok orang yang mengikuti sesuatu paham dengan membabi buta. Seperti sebagian Muslim Suriname yang ketika shalat menghadap ke Barat. “Padahal posisi Suriname itu sebelah baratnya Mekkah,” kata Nadjib. Nenek moyang orang suriname berasal dari Jawa, yang ketika Shalat menghadap Kabah yang ada di Barat Pulau Jawa.
(Baca juga: Ketika Kemajuan Informasi Tak Bisa Dihindari, Bagaimana Kita Memanfaatkannya?)
Menurut Nadjib, sebagai orang yang beriman, setidaknya bisa menempatkan diri pada posisi kedua (muttabi’). “Termasuk dalam hal informasi. Kita tidak boleh ngikut menyebar informasi yang tidak jelas,” tuturnya. “Teknologi informasi itu seperti pisau bermata dua. Jadi harus hati-hati.”
Wakil Ketua PCM Wiyung Drs Moch Maskur mengatakan, program penguatan umat berbasis masjid yang digagas oleh PRM Jajartunggal ini bertujuan untuk menjadikan masjid sebagai pusat komunikasi, informasi, dan pemberdayaan umat.
“Sungguh shalat subuh yang kita laksanakan ini disaksikan oleh malaikat. Dan kami Pimpinan Cabang mengapresiasi karena kajian Ranting ini bernuansa Cabang. Semoga semua warga Persyarikatan bisa mengikuti kegiatan ini secara istiqamah,” katanya (Ferry Yudi AS)