PWMU.CO – Panglima Komando Daerah Militer (KODAM) V Brawijaya Mayor Jenderal TNI I Made Sukadana mengatakan bahwa penetrasi ‘pesan’ globalisasi melalui teknologi informasi bisa melahirkan benturan nilai dan menumbuhkan karakter negatif. Hal itu ditandai perubahan gaya hidup dan berkurangnya kedaulatan negara.
Sukadana menyampaikan hal itu dalam Dialog Tokoh Agama dan Umaro Jawa Timur 2017 yang berlangsung Ijen Suites Malang (1/3). “Negara terancam juga dengan smart attack melalui food, fun, fashion, film, fantasy, dan filosofi. Ini yang membahayakan, melebihi pertempuran yang sebenarnya,” kata Sukadana.
(Baca: Pentingnya Umat Islam Berkuasa, Ketua PW Muhammadiyah Jatim dalam Dialog Ulama dan Umaro Se-Jatim)
Pria asli Bali ini juga prihatin dengan tumbuhnya gaya hidup hedonisme pada masyarakat Indonesia, yang ditandai oleh tiga hal. Yaitu pertama pemberhalaan pada materi sehingga timbul persepsi bahwa spiritualitas, etika, dan kebijakan hanya omong kosong.
Kedua, kesadaran yang dibangun atas dasar materi sehingga orang berlomba mencapai tampuk kekuasaan kalau perlu dengan segala cara. Dan ketiga, akibat pemahaman hedonis ini memicu kriminalitas bagi kaum lemah. “Saat hidupnya dijarah mereka yang memiliki modal maka kaum lemah ini akan menempuh dengan segala cara,” tutur suami Dyah Ayu, wanita asli Sukun Malang.
(Baca juga: Busyro: Dakwah Islam Itu Tidak Radikal, Apalagi Brutal)
Sukadana menambahkan, “Pola hukum rimba menjadi warna kita sehari-hari akibat penguasaan pasar oleh segelintir orang sehingga yang lemah akan mengabdi kepada pemilik modal atau hanya jadi buruh mereka,” ujar suami dari wanita asli Sukun Malang. “Dengan kata lain, tambahnya, inilah bahaya ekonomi gaya modern yang melakukan penjarahan secara sah kekayaan atas mereka yang lemah dan tidak mampu bersaing.
Terkait dengan toleransi, Pangdam V Brawijaya ini mengatakan, biasanya yang intoleran itu tidak bisa bersikap dewasa. Gampang terpengaruh media atau kurang memiliki pemahaman agama sehingga merasa paling benar atas agamanya. “Coba lihat Ideologi ISIS yang memaksa mendirikan negara atas nama agama, malah kehilangan nilai-nilai humanis yang seharusnya dia bawa,” kata Sukadana.
Menyingung soal radikalisme dan terorisme, dia mengatakan bahwa ada 3 penyebabnya, pertama karena ideologi, kedua kultural, dan ketiga karena faktor domestik. “Secara kultural misalnya, adanya korelasi yang kuat antara ‘jihad’ dalam arti sempit dengan kemiskinan sehingga mudah terrekrut oleh mereka yang tidak bertanggungjawab dengan tujuan antistabilitas, biasanya yang sering direkrut mereka yang dari segi ekonomi kurang,”papar dia.
Berkaitan dengan Instruksi Presiden untuk pemantauan terorisme di Jawa Timur, Sukadana mengatakan bahwa itu merupakan instruksi lama karena ada beberapa teroris itu yang mantan narapidana. “Saya tidak tahu persis jumlahnya tapi di Korem dan Kodim, masing–masing sudah mempunyai data sendiri.”
(Baca juga: Muhammadiyah Bertekad Kembalikan Solokuro Berwajah Damai)
Sukadana menjelaskan, pengawasan anti-teror yaitu melihat kegiatan mereka seperti apa. Juga melakukan pendekatan-pendekatan melalui program deradikalisasi, dengan melakukan pendekatan meningkatkan kesejahteraan.
“Bisa kita bandingkan dengan ‘jihad’ pasukan TNI kita yang bertugas di perbatasan, seperti Batalyon 512 Malang. Mereka bertugas pada wilayah yang luas dan panjang sehingga harus dijaga beberapa batalyon di perbatasan,” ujar Pangdam V Brawijaya. Perbatasan-perbatasan, menurut dia, harus dijaga untuk mengantisipasi adanya pelintas batas ilegal, penyelundupan narkoba, dan berbagai tindakan ilegal yang melawan hukum.
“Di sana mereka bertugas di desa-desa dan kecamatan. Mereka di sana mengajar dan membantu masyarakat secara umum. Misalnya sekolah–sekolah yang kurang guru maka tentara juga ikut mengajar,” kata Sukadana. Begitu juga dalam hal pertanian. “TNI juga ikut membantu para petani di sana untuk memajukan pertaniannya,” kata Sukadana pada media resmi Muhammadiyah Jatim pwmu.co dan wartawan lain di akhir pertemuan. (Uzlifah)