Sejatinya Muhammadiyah Menurut Ustadz Adi Hidayat. Liputan Nely Izzatul, Kontributor PWMU.CO Yogyakarta
PWMU.CO – Sejatinya apa itu Muhammadiyah? Jangan-jangan puluhan tahun kita di Muhammadiyah tapi belum mengenal lebih dalam apa itu Muhammadiyah.
Pertanyaan tersebut dilontarkan Ustadz Adi Hidayat (UAH) kepada sekitar 18.000 jamaah Tabligh Akbar yang hadir di Edutorium UMS dalam rangka Syiar Muktamar Ke-48 Muhammadiyah dan Aisyiyah, Sabtu (8/10/2022).
Ustadz Adi Hidayat mengatakan, Muhammadiyah tersusun dari 3 rangkaian kata dan sifat utama. Kata pertama yakni Muhammad, kedua ya’ nisbah, dan ketiga ta’ sifat.
“Tanpa ya’ nisbah, tidak akan pernah menjadi Muhammadiyah, tanpa ta’ sifat hanya akan menjadi Muhammadiy, tanpa Muhammad maka akan kosong makna ya’ dan ta’ nya,” jelas UAH.
UAH pun mengulas nilai-nilai Muhammadiyah agar muktamar bisa diisi dengan nilai-nilai Muhammadiyah yang sejati dan terpatri dalam jiwa, bukan sekedar kalimat yang ditampilkan dalam spanduk atau dibanggakan dalam mars.
Kata Muhammad, Ahmad, Hamid, Mahmud
Lafal Muhammad, kata UAH, disebutkan 4 kali dalam Al Qur’an. Ada kata Ahmad dan Muhammad. Sementara Ahmad ditemukan sekali saja di dalam al-Quran Surat ash-Shaaf ayat 6.
“Ahmad ini bentuk superlatif dari kata hamid. orang Arab tidak pernah menyebutkan kata hamid kecuali kepada sosok yang tinggi nilai spiritualnya, sehingga tinggi tingkat pemujiannya kepada Allah SWT,” katanya.
Hal ini dicontohkan UAH, kalau ada orang yang rajin sekali di bidang sholat; rajin tahajud, rajin sholat dhuha, rajin rawatib, rajin sholat fardhu yang tak pernah terlambat, maka disebut hamid.
“Tapi jika bertambah kekhusukannya, meningkat spiritualnya, rajin sholat dan rajin puasa juga, rajin sholat dan rajin baca Qur’an juga, rajin sholat rajin berinfaq juga, maka berubah namanya dari hamid menjadi ahmad,” ulasnya.
Kata UAH, Muhammad itu dari kata mahmud. Bentuk tunggalnya mahmud, superlatifnya muhammad. Tidak disebutkan di dalam al-Qur’an kata mahmud kecuali menunjuk kepada sosok yang tinggi nilai sosialnya.
“Jadi kalau ahmad hubungannya hablun minallah, Kalau mahmud hubungan hablun minannaas. Ada orang yang rajin membantu, toleran sifatnya, suka menyatu dengan orang lain untuk melakukan kebaikan itu mahmud, kalau diakumulasikan maka menjadi Muhammad,” jelasnya.
UAH menuturkan, Nabi Muhammad itu disifati dengan Muhammad untuk memberi kesan bahwa beliau bukan hanya hubungannya baik dengan Allah, tapi hubungan itu dicerminkan dengan hubungan baik secara sosial.
“Maka orang yang sholatnya bagus, bukti bagusnya itu harus bisa berdampak pada sosial juga. Kalau orang sholatnya bagus, akhlaknya bagus, tidak akan berbuat fahsya dan munkar,” paparnya.
Fahsya itu keburukan yang bersumber dari syahwat (pornografi, LGBT, zina, kata-kata kotor). Sementara munkar itu keburukan yang diinkari oleh hati, nafsu perut dan akal, seperti korupsi, perampokan, penipuan, hoax, perselisihan, dan pembunuhan.
“Anda itu disebut sholatnya benar kalau tidak korupsi, kalau tidak bikin hoax, tidak saling berselisih, tidak LGBT. Benar secara ritual harus tampak pada sosial. Itulah Muhammad,” tegasnya.
Menjadi Sejatinya Muhammadiyah
Alumnus Pondok Pesantren Darul Arqam Muhammadiyah Garut itu mengatakan, ketika disebut nama Muhammad, maka sudah seharusnya mampu menghidupkan Islam bukan hanya di masjid tapi juga dalam konteks sosial, bermasyarakat, berbangsa, bernegara dan dunia.
“Kalau menyebut nama Muhammad maka juga harus melewati sekat-sekat keyakinan. Tidak boleh sedikitpun ada orang Muhammadiyah yang menyebut bahwa semua agama adalah sama. Jaga keyakinan kita dan jangan campur adukkan, tapi di saat yang sama kita juga harus menghormati keyakinan yang lain,” tuturnya.
Muhammad itu, menurutnya, harus melintasi batas-batas keimanan. Melintasi batas keyakinan dalam konteks laa ilaaha illallah, namun luas jangkauannya.
“Nabi itu, jangankan dengan sesama muslim, dengan non muslim pun beliau berteman. Dengan Nasrani bergaul, dengan Yahudi beliau berniaga. Jadi kalau secara kemanusiaan dengan nama Muhammad itu, jadikan hubungan kita dengan siapapun, terutama dalam konteks bernegara, berbangsa, berNKRI, apalagi dalam konteks Muhammadiyah, jangan pernah batasi pergaulan pada sekedar orang Islam saja,” ujarnya mengingatkan.
Untuk mengikuti sifat-sifat baik sosial ini, UAH pun menyebutkan sifat baik sosial yang pernah dikerjakan nabi. Di antaranya menengok orang sakit, menyantuni fakir miskin, hadir besama anak-anak yatim.
“Kumpulkan semua sifatnya, tambahkan ta di ujungnya, maka satukan. Muhammad, ya’ nisbah, dan ta’ maka jadilah Muhammadiyah,” ucapnya.
Ustadz Adi Hidayat menjelaskan, ketika seseorang mengatakan dirinya kader, anggota, simpatisan, penggembira Muhammadiyah itu artinya ada komitmen untuk jadi manusia yang baik.
“Menjadi manusia yang gemar berbagi, perhatian, jangan korupsi, jangan berbuat curang, jangan bikin hoax, jangan terpolarisasi. Itulah sejatinya Muhammadiyah,” tandasnya. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni