Gus Pur: Sekolah Muhammadiyah Harus Punya Teleskop; Liputan kontributor PWMU.CO Sidoarjo Darul Setiawan.
PWMU.CO – Prof Agus Purwanto, guru besar institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) mengatakan, sudah saatnya sekolah-sekolah Muhammadiyah punya buku terbitan sendiri, agar materi Ismuba masuk ke semua mata pelajaran.
Hal tersebut dikatakannya saat menjadi pembicara dalam Edu Conference Muhammadiyah Education (ME) Awards 2022 Special Edition. Kegiatan tersebut berlangsung di Auditorium KH Ahmad Dahlan Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (Umsida) Kampus I, Sabtu (8/10/22).
Di awal paparannya, Gus Pur, panggilan Prof Agus Purwanto, menampilkan gambar Edutorium Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), tempat dilaksanakannya muktamar pada bulan depan, yang menurutnya menjadi representasi Islam Berkemajuan ala Muhammadiyah.
Sekolah Muhammadiyah Harus Punya Teleskop
Sains dengan berbagai kemajuannya, kata Gus Pur, digambarkan dengan teleskop ruang angkasa senilai 2 miliar dollar.
“Jadi teleskop ruang angkasa ini Ibu Bapak, teleskop saya rekomendasaikan pada sekolah-sekolah Muhammadiyah ke depannya harus punya teleskop, ga harus yang miliaran. Ini teleskop senilai dua miliar dollar, kalau dirupiahkan itu sekitar 30 triliun rupiah. Sekolah Muhammadiyah saya rekomendasikan untuk belilah yang 10 juta itu. Mengapa? Karena dengan teleskop itu, imajinasi siswa itu pasti berkembang. Pemahaman kitaterhadap objek langit itu akan berubah,” ujarnya.
Jadi selama ini kan kita hanya mengandalkan mata telanjang, maka kemudian kita buat lagu bintang kecil. “Itu karena kemampuan mata kita. Padahal siapa sih, ilmuwan yang mengatakan bintang itu kecil? Pasti ilmuwan yang tidak jadi ilmuwan,” candanya.
Bahkan dengan teleskop ini kemudian, ilmuwan itu kemudian kurang puas lalu membuat teleskop lagi, yaitu hubble space telescope. “Yakni teleskop yang tidak berdiri di bumi, tapi mengorbit pada ketinggian 570 km dari bumi. Kita belum sampai ke situ, kita beli dulu yang 10 juta,” kata penulis buku Aya-Ayat Semesta tersebut.
Dengan teleskop yang diorbitkan tahun 90-an tersebut tersebut ternyata ilmuwan tidak puas. Lalu membuat teleskop yang lebih besar dan mahal lagi, senilai 10 miliar dollar, yang kalau dirupiahkan senilai 150 triliun. “Jadi cukup sebenarnya untuk melunasi ibu kota nusantara (IKN),” candanya disambut gerr para peserta.
Dengan teleskop, lanjut dia, pemahaman ruang angkasa kita akan menjadi berubah total. Bahkan apa yang selama ini kita pahami dengan al-Buruj, yang selama ini ditafsirkan dalam bahasa Indonesia dengan gugus bintang, itu sebenarnya kalau kita merujuk pada tafsir al-Qurtubi misalkan, tafsir yang ditulis pada tahun 670-an H, jadi sekitar 780 tahun yang lalu. Atau juga tafsir al-Munir oleh Syekh Wahbah al Zuhaili, itu al-Buruj itu dideskripsi menjadi 12 rasi bintang.
“Jadi al-Buruj itu sebenarnya adalah rasi bintang, tapi kalau gugus bintang dalam bahasa Inggrisnya itu star cluster, jadi beda lagi. Nah, tetapi makna dasar dari al-Buruj itu kan sebenarnya benteng, bangunan, menara, sehingga kemudian masih punya peluang untuk ditafsirkan lebih lanjut. Itu al-Buruj,” paparnya.
Gus Pur: Sudah saatnya Punya Buku Sendiri
Gus Pur lalu menyampaikan urgensi bahasa Arab untuk Islamisasi konten pelajaran. “Nah, saya juga ingin memberi contoh, kalau kita ingin berbicara sains masuk pada kurikulum, atau kita berbicara pada Islamisasi konten, itu sebenarnya kita tidak bisa mengelak dari urgensi bahasa Arab. Makanya itu kemudian relevan dengan mata pelajaran Ismuba, Islam, Muhammadiyah, dan bahasa Arab yang diperluas dengan bahasa asing,” ulasnya.
Pada saat perjalanan, Gus Pur sempat diajak diskusi bagaimana kalau di buku-buku pelajaran Muhammadiyah, itu sebenarnya sudah dilengkapi dengan katakanlah ayat-ayat. “Jadi sebenarnya ide itu sudah muncul, sebenarnya sudah sangat terlambat,” tutur founder Trensains itu.
Jadi Muhammadiyah itu, sambungnya, semestinya tidak lagi memakai buku-bukunya Erlangga, Gramedia, tapi pakai buku sendiri, yang buku-bukunya itu sudah diolah sendiri bagaimana Ismuba itu masuk di dalamnya, di semua bidang pelajaran. “Di matematika, fisika, kimia, biologi, bahasa Indonesia, maupun bahasa Inggris masuk. Jadi bukan hanya pelajaran-pelajaran tertentu,” terangnya.
Padahal menurutnya, dia justru ikut menyusun buku di sekolah-sekolah non-Muhammadiyah, misalkan di An-Najah Jakarta, buku SD kelas I-VI, bagaimana kemudian semua ayat masuk ke dalam buku sains, IPA.
“Itu buku enam jilid, tapi kemudian saya kan tidak pernah di sekolah Muhammadiyah diajak diskusi terkait tentang ini. Sehingga saya juga belum tahu isinya buku kurikulum Ismuba tadi,” ujar Gus Pur. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni.