Menemukan Sultan Bayangan Allah di Istanbul Turki; Liputan Wakil Ketua PWM Jatim Dr Syamsudin MAg dari Turki.
PWMU.CO – Hari Rabu (12/10/2022), kami, rombongan Rihlah Peradaban Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jatim berkesempatan mengunjungi kota tua Istanbul, Turki—sekarang bernama resmi Republik Turkye. Istanbul adalah kota yang amat bersejarah, karena selama kurang lebih 500 tahun, pernah menjadi Ibu Kota Khilafah Turki Utsmani.
Di antara tempat bersejarah adalah Istana Topkapi. Istana megah yang pernah menjadi tempat tinggal para sultan dan tempat mengendalikan pemerintahan. Sultan adalah bayangan Allah di bumi. Berlindung kepadanya semua hamba Tuhan yang terzalimi.
السلطانُ ظِلُّ اللهِ في الأرضِ يأوي إليه كلُّ مظلومٍ من عبادِه
Kalimat di atas adalah hadits Mabi Muhammad SAW, yang diriwayatkan oleh al-Bazzar, dan Abu Nu’aim al-Isfahani dari Abdullah bin Umar RA. Dari hadis inilah lahir sebuah konsep politik Islam, bahwa Sultan adalah dzillullah fil ardhi, atau bayangan Allah di bumi.
Konsep Sultan sebagai bayangan Tuhan di bumi adalah konsep yang cukup populer dalam filsafat politik Islam Sunni. Konsep ini memiliki dua tujuan politis kaitannya dengan kedudukan Sultan.
Pertama, amat ideal, yaitu pengingat tugas utama sultan sebagai pelindung kaum lemah, kelompok masyarakat pinggiran yang termarjinalkan dalam kehidupan sosial. Bukan sahabat orang kaya, yang bersama mereka menindas kelompok lemah.
Kedua, tujuan mistis, mendongkrak spiritualitas. Bahwa Sultan itu suci dan sakral. Punya legitimasi memimpin dari Tuhan. Sehingga tidak pernah salah dan keliru. Tidak boleh dikritik apalagi ditentang dan di lengserkan.
Asal usul konsep ini diduga berakar pada konsep teokrasi Romawi, yang selanjutnya memperoleh tempat persemaian yang subur dalam mazhab kalam Jabariyyah. Konsep ini dikenalkan pada babakan akhir kekuasaan Bani Abbas, dan diteruskam oleh dinasti-dinasti Islam Sunni berikutnya. Termasuk oleh kesultanan Turki Utsmani (Ottoman Empire).
Di pintu gerbang pertama Istana Topkapi (secara harfiah bermakna gerbang Maryam), tertulis kaligrafi hadits Nabi SAW, yang menjadi landasan normatif konsep “Sultan Bayangan Tuhan”. Pada perkembangannya konsep ini menyebar ke seluruh dunia Islam, termasuk kesultanan Islam Mataram di Pulau Jawa.
Namun dalam kajian filsafat politik Islam, konsep ini dianggap tidak memiliki akar keagamaan yang kuat. Pertama, dianggap sebagai konsep yang terlalu berani. Abu Bakar ash-Shiddiq RA, sebagai khalifah pertama atau pengganti Nabi SAW yang pertama, hanya menyebut dirinya sebagai Khalifatu Rasulillah (Pengganti Rasulullah). Tidak menyebut dirinya sebagai Khalifatullah (Pengganti Allah), apalagi Dzillullah (Bayangan Allah).
Imam al-Ghazali sebagai pemikir politik Islam Sunni juga mengajarkan konsep ini dalam kita Ihya Ulumuddin. Namun al-Hafidz al-Iraqi, setelah meneliti hadits tersebut menyatakan bahwa sanadnya dha’if dan terbilang hadis munkar yang tentu saja tidak otentik berasal dari Nabi SAW, sehingga tidak memadahi sebagai dalil agama. (*)