Pro Kontra Mahar Tinggi
Tradisi pemberian maskawin yang tinggi di Arab Saudi ini menuai pro dan kontra. Pembantah tradisi ini mempunyai alasan yang sangat jelas. Hanya pria berduit yang leluasa menikahi wanita yang mematok harga selangit.
Mereka yang pro berdalih kepala keluarga mesti siap secara finansial mengawali rumah tangga dan menjamin keluarganya berkecukupan, baik sandang, pangan, dan papan. Pihak keluarga pengantin wanita juga sering kali menggunakan uang mahar untuk menutupi biaya pernikahan atau untuk melengkapi rumah baru pasangan itu. Pengantin wanita juga bisa menggunakan mahar sebagai tabungan untuk masa depan keluarganya.
Namun demikian, seserahan yang muluk juga bisa menyulut ketidakharmonisan. Bagi lelaki yang egois, mahar dianggap sebagai “alat beli” pasangannya. Karena sudah membayar mahal, ia seenaknya memperlakukan istrinya bagaikan barang. Martabat istri dinilai seperti mas kawinnya itu. Perjanjian sakral diinterpretasikan sebagai hubungan transaksional. Hal ini tentunya jauh dari nilai pernikahan yang diajarkan Rasulullah.
Fenomena penundaan pernikahan tidak hanya terjadi di Arab Saudi tetapi juga di Indonesia. Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Republik Indonesia mencatat, penduduk yang telah kawin di Indonesia sebanyak 133,03 juta orang pada tahun 2021
Penduduk yang belum kawin juga cukup banyak, yakni 125,58 juta orang. Angka tersebut termasuk 11,11 juta penduduk Indonesia memiliki status cerai mati. Sementara, ada 4,15 juta penduduk Indonesia yang berstatus cerai hidup (Karnadi, 2022).
Ada beberapa alasan yang menyebabkan sebagian masyarakat Indonesia masih memilih untuk melajang. Pertama, keinginan perempuan untuk mendapatkan pendidikan dan karir yang lebih tinggi (Himawan, 2020). Gerakan kesetaraan gender telah meningkatkan partisipasi perempuan dalam dunia pendidikan dan dunia kerja. Hal ini menyebabkan mereka ingin fokus terhadap edukasi dan profesi.
Pada tahun 2000 misalnya, proporsi wanita Indonesia berusia 15 tahun ke atas yang menamatkan pendidikan universitas hanya 3,24 persen. Angka ini meningkat tiga kali lipat di tahun 20 21 menjadi 10,06 persen. Angka tersebut lebih tinggi dari pria yang hanya 9,28 persen (Badan Pusat Statistik, 2021). Peningkatan partisipasi perempuan di bidang pendidikan secara logis berdampak pada semakin besarnya keterlibatan mereka dalam dunia kerja.
Menurut data Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas), partisipasi angkatan kerja kaum hawa berangsur-angsur meningkat mulai dari 32,65 persen pada tahun 1980 hingga 53,34 persen pada tahun 2021 (Badan Pusat Statistik, 2021). Kini semakin banyak dari mereka yang mengambil peran dalam dunia kerja, termasuk wilayah manajerial.
Alasan kedua terkait dengan budaya di Indonesia yang mengidealisasikan hipergami. Menurut tradisi pernikahan hipergami, suami seharusnya memiliki status sosial, ekonomi, dan tingkat spiritualitas yang lebih tinggi daripada istri.
Hal itu membuat tekanan tersendiri bagi lelaki yang secara normatif (oleh negara) diatur sebagai kepala rumah tangga. Sebagai kepala rumah tangga, mereka harus mendapatkan penghasilan dan status sosial yang lebih tinggi dari bini. Mereka perlu waktu mempersiapkan itu semua sehingga keputusan menunda pernikahan menjadi opsi.
Alasan ketiga adalah kesulitan bagi wanita untuk mewujudkan pernikahan menurut tradisi hipergami. Tingginya jenjang pendidikan, karier, serta status sosial ekonominya, maka perempuan saat ini membuat diri mereka sendiri sulit menemukan pasangan yang ideal. Semakin tinggi kariernya, semakin kecil peluangnya untuk mendapatkan pasangan dengan atribut yang lebih tinggi darinya.
Bersambung ke halaman 3: Penikahan Jalan Pintas