Penikahan Jalan Pintas
Dikenal dengan kawin mut’ah, pernikahan ini menjadi perdebatan panjang tak kunjung usai. Pendapat ahli fikih beragam terkait pernikahan ini. Kalangan Suni mengunci mati pelaksanaan pernikahan model ini, bahkan mengharamkannya. Menilik sejarah, Nabi awalnya mengizinkan pernikahan ini, kemudian menghentikannya, lalu membolehkannya kembali, dan pada akhirnya melarangnya sampai kapan pun.
Sungguh singkat pintu ke dua mut’ah dibuka oleh Nabi pada saat Fatkhul Makkah, penaklukan kota Makkah. Tiga hari setelah mengizinkan, beliau melarangnya kembali. Ada kalangan yang memaknai pelarangan Nabi terhadap pernikahan ini bukan pembatalan terhadap hukum, melainkan penyesuaian terhadap kondisi mendesak atau darurat. Sahabat Rasulullah, Abdullah bin Abbas, menyampaikan bahwa kehalalan mut’ah hanya untuk keadaan darurat.
Dalam suatu kesempatan, Abdullah bin Abbas mendengar banyak orang melakukan mut’ah berdasarkan fatwanya. Dia sangat terkejut dan menyampaikan:
“Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun! Bukan seperti itu yang kumaksud dalam fatwaku. Sungguh aku tidak menghalalkannya kecuali sebagaimana Allah Swt. menghalalkan bangkai, darah, dan daging babi yang tidak dihalalkan kecuali bagi orang dalam keadaan darurat.”
Berbeda dengan ulama Suni, ulama Syiah menghalalkan pernikahan mut’ah dengan catatan negara ikut hadir. Menurut mereka, Nabi dulu membenarkan dan ini sebuah kebutuhan. Terkait dalam perjalanannya, beliau memutus yang pernah disetujuinya, itu soal lain. Payung legalitas itu pernah ada, kilah mereka. Mereka tidak terima kawin mut’ah dipersamakan dengan melegalkan perzinaan yang dibungkus dengan syariah.
Fenomena di Puncak
Sepulang umrah sekitar tahun 2010, saya dan jamaah turun dari pesawat, ganti naik bus sambil berdiri menuju Bandara Soetta, Jakarta. Dalam bus tersebut ada orang Arab masih muda mengenakan gamis lengkap dengan kopiah putihnya. Saya tersenyum kepadanya dan dibalas dengan keramahan pula. Saya tanya, “Mau pergi ke mana di Indonesia?” Ia menjawab dengan cepat, “Mau pergi ke Puncak.”
Ada salah seorang ibu yang melihat saya bercakap dengan pemuda tersebut bertanya ke saya, “Bicara apa tadi, Pak?”
Saya jawab, “Ia mau pergi ke Puncak, Bogor yang viral itu.”
Spontan seperti dikomando dalam paduan suara, jamaah ibu-ibu yang mendengarkan jawaban itu serentak berkata, “Haram! Haram!”
Jawaban ibu-ibu itu mirip teriakan petugas Masjidil Haram ketika mereka melihat laki-laki dan perempuan bergandengan tangan memasuki pintu masjid yang menjadi kiblat umat Islam itu. Padahal itu bisa jadi gandengan tangan antara suami dan istri, bapak dengan anak gadisnya, atau ibu dengan putranya.
Mendengarkan jawaban “Pergi ke Puncak, Bogor”, ibu-ibu jamaah seolah-olah mendapatkan kesempatan mempraktikkan teriakan “Haram! Haram!”, yang tersimpan di memorinya dari petugas Masjidil Haram. Lelaki yang mendapatkan pekikan itu hanya tersenyum kecut.
Kawasan Puncak, Bogor memang sempat menarik wisatawan mancanegara memburu kesenangan (mut’ah). Berbekal duit cukup, mereka bisa menikahi wanita yang diinginkan. Konon pernikahan dilegalkan secara syar’i oleh aparat setempat. Hal yang menarik, para pencari istri sesaat ini kebanyakan bukan dari Iran, negeri para mullah yang menghalalkan mut’ah, tapi dari negara Arab yang lain.
Akibat dari kondisi tersebut, kita bisa melihat secara kasat mata banyak anak-anak balita yang lahir dengan rambut keriting, hidung mancung, dan wajah ala Timur Tengah. Syukurlah sekarang telah terbit Peraturan Daerah Kabupaten Bogor yang melarang nikah jangka pendek tersebut.
Bersambung ke halaman 4: Beda Lagi dengan Nikah Siri