Ijab Kabul Mudah
Peristiwa ijab qabul umumnya berlangsung dengan menegangkan. Seakan ada tuntunan yang mengharuskan mempelai laki-laki mesti sigap tatkala menjawab dari yang menikahkan. Ketika mengakhiri kalimat ijab, “Kunikahkan Ananda X bin Y dengan putriku yang bernama Z dengan maskawin seperangkat alat shalat dan uang sebesar sekian rupiah dibayar tunai,” yang menikahkan langsung ditarik tangannya seraya dijawab secara cepat, “Kuterima nikahnya putri Bapak bernama Z dengan mas kawin seperangkat alat salat dan uang sebesar sekian rupiah dibayar tunai.”
Mirip lomba cerdas cermat, pesertanya harus bisa menjawab pertanyaan dengan cepat. Apakah memang begitu tuntunannya? Apakah jawaban mempelai harus selengkap itu? Bahkan saya pernah mendengar ada yang bertanya, “Apakah jawaban mempelai laki-laki harus dalam satu tarikan nafas?”
Saya termasuk orang yang serius ketika ikut hadir menyaksikan akad nikah, berlangsung. Setelah mempelai laki-laki menjawab, “Saya terima nikahnya bla bla …” dan naib atau orang tua yang menikahkan bertanya, “Bagaimana? Sah?” saya biasanya langsung menyahut lebih dulu dengan berkata, “Sah!”
Bukan tanpa alasan saya melakukan kebiasaan itu. Saya teringat pengalaman saya pada waktu nikah dulu, ijab kabul diulang sampai tiga kali. Barangkali itu sudah maksimal atau naib (penghulu) yang menikahkan saya sudah menyerah dalam memberi kesempatan.
Masalahnya, bukan saya kurang cepat sigap menarik tangan si naib dan menjawab penerimaan ijab, melainkan jawaban saya yang terasa singkat.
Hal itu terjadi karena memang sejak awal saya tidak memakai bahasa Arab. Saya ingin memakai bahasa kita sendiri saja. Itu pun sudah saya sampaikan sebelumnya kepada naib tatkala beliau bertanya tentang bahasa yang digunakan dalam ijab kabul.
Saya menjawab singkat, “Bahasa Indonesia saja.” Tak tahunya ketika ijab, naib langsung memakai bahasa Arab tanpa diterjemahkan lebih dahulu. Saya saat itu jadi gelagapan dan tidak mempersiapkan diri spontan menjawab singkat saja, “Qabiltu nikahaha” yang artinya, “Saya telah terima nikahnya.” Ya, cuma sependek itu. Mungkin sang naib tidak puas lantas diulang sampai tiga kali. Tetapi, jawaban saya tak kunjung bertambah panjang.
Di sela hening itu, pembawa acara sekaligus teman senior saya sendiri menimpali bahwa saya ini mubalig, jadi hanya pura-pura saja tak bisa menjawab dengan sigap.
Apakah sah jawaban saya yang pendek itu? Saya sempat ragu juga. Saya pernah mendengar cerita teman yang ketika menikahkan putrinya terkesan tidak serius. Sang bapak tersebut melontarkan pertanyaan kepada calon menantunya, “Apakah benar kamu mencintai anak saya?”
“Benar, Pak!” jawab calon menantunya.
“Ya, sudah, kamu ambil sebagai istri,” kata bapak itu. Singkat dan tuntas.
Pernikahan juga merupakan ibadah yang tidak ruwet, bahkan sangat sederhana. Walaupun gampang tidak berarti meremehkan konsekuensinya. Menikah memiliki fungsi penting dalam Islam, dalam sebuah hadis mengilustrasikan, menikah berarti seseorang telah menyempurnakan separuh agama. Dan hendaklah seseorang itu bertakwa kepada Allah pada separuh sisanya.
Mengingat pentingnya itu, Abdullah Ibn Mas’ud pernah berkata, “Andaikan waktu yang tersisa bagiku hanya satu malam maka satu hal yang ingin Aku lakukan pada malam itu ialah menikah.”
Patut disayangkan saat ini masih banyak kebiasaan seputar pernikahan yang membuat ibadah ini terlihat ribet dan sulit, bahkan menyebabkan banyak pemuda memilih menundanya. Karena itu, membangun konstruksi budaya yang memudahkan ritual ini menjadi vital.
Kemudahan dalam pelaksanaan pernikahan ini seyogyanya juga perlu diimbangi dengan kuatnya pegangan dalam menuju sakinah, mawaddah, wa rahmah dalam pernikahan. Ada nilai tanggung jawab, saling menghargai, dan kerja sama (sinergi) dalam menjalani.
Perlindungan terhadap semua elemen yang dihasilkan melalui pernikahan ini juga perlu diperhatikan baik dalam lingkup komunitas tempat tinggal maupun legal formal dari negara, tak terkecuali anak yang nantinya akan melanjutkan estafet regenerasi dakwah. Semua itu untuk semakin memperkuat dalam beribadah kepada Allah dan memperlebar langkah menebar kebermanfaatan. (*)