In Memoriam Steven Indra Wibowo: Dari Pembenci Islam Jadi Pendakwah; Oleh M. Anwar Djaelani, penulis buku Jejak Kisah Pengukir Sejarah dan delapan judul lainnya.
PWMU.CO – Inna lillahi wa inna ilaihi rAji’un. Pendiri Mualaf Center Indonesia (MCI) Steven Indra Wibowo wafat di Surabaya pada Jumat (14/10/2022) malam. Kabar itu menyebar cepat di berbagai fasilitas media sosial. Sebuah kabar yang mengundang duka sekaligus doa dari banyak kalangan.
Segera, dari banyak komunitas dakwah menyampaikan ungkapan duka dan doa. Mereka antara lain Hijrah Fest, Masjid Jogokariyan Yogyakarta, Teras Dakwah Yogyakarta, AQL Islamic Center yang dipimpin Ustadz Bachtiar Nasir, Quantum Akhyar Institute yang dipimpin Ustadz Adi Hidayat, dan Al-Fahmu InstituTe yang dipimpin Ustadz Fahmi Salim.
Spontan, dari sesama pendakwah, ada doa dan kesaksian. Misal dari Ustadz Salim A. Fillah dan Ustadz Abdul Somad. Juga, doa tulus antara lain dari KH Aa Gym dan Ustadz Oemar Mita.
Di IG, Ustadz Salim A. Fillah menulis: “Menerima kabar beliau meninggal dunia malam tadi saat mengisi kajian. Sebelumnya kami sudah video call dan janjian akan ngopi bakda kajian. Allah takdirkan bakda kajian mengimami shalat jenazah Koh @stevenindrawibowo. Mari tetap menjadi saksi kebaikannya.
Mari kisahkan satu dua permatanya, untuk diwariskan pada para pejuang selanjutnya. Beliau seorang mualaf yang mengislamkan orang lain, ribuan orang bersujud wasilah Koh Steve. Saat lelang wakaf selalu berpartisipasi tanpa mengambil barangnya Bukan. Jangan salah sangka. Bukan dengan harta semata beliau berada di hati umat. Karena saat event pun seringnya beliau menjaga para Gurunda beserta sendal-sendalnya. Selalu memakai kaos dan sandal jepit sebagai bentuk ketawadhuannya. Selamat jalan pendekar dakwah. Saksi kebaikanmu dari berbagai arah, dari pelosok hingga sosok-sosok, dari para Gurunda hingga para mualaf. Mari kirimkan Al Fatihah.”
Di IG, Ustadz Abdul Somad menulis: “Beberapa tahun lalu ia datang ke kajianku. Setelah itu ia selalu hadir di banyak tempat. Aku tidak tahu apa perannya di setiap acara. Kadang dia bawa motor untuk bonceng aku saat krodit. Kadang dia jadi bodyguard mengawal saat jamaah ramai menuju lokasi acara. Seringkali ia membawakan sandal dan sepatu.
Kami selalu bersama. Di Yogya beberapa kali. Di Jakarta, di Medan beberapa bulan lalu. Di Lombok, kami buat podcast santai tentang ekonomi keummatan, karena dia fokus di ternak kambing, cafe dan usaha-usaha membangkitkan ekonomi umat.
Setiap lelang penggalangan dana, dia beli, tapi barang lelang tidak dia ambil. Kuingat waktu di Medan, lelang bros, tidak dia ambil. Gayanya cuek, santai, pakai kaos oblong terus. Terakhir kami di Yogya, ia bawa aku untuk peletakan batu pertama buat masjid dan Rumah Qur’an. ‘Ini masjid yang ke-sembilan ratus sekian Ustadz,’ katanya.
Malam ini, saat tabligh akbar di Pulau Buru, Maluku, tiba-tiba Ustadz Hendri kasih kabar, beliau sudah pergi duluan, untuk selamanya. Wafat di Surabaya, saat acara Hijrah Fest, (yang) batal karena dibatalkan. Semua dagangan makanan dia beli, dia bagi-bagikan ke hadirin. Aku bersaksi, Koh Steven orang baik. Terakhir beliau WA minta share info jamaah kecelakaan. Tolong bacakan Al-Fatihah untuk Koh Steven. اللهم اغفر له وارحمه وعافه واعف عنه.”
Teras Dakwah Yogyakarta, di IG menulis: “Entah berapa ratus ribu atau mungkin lebih dari itu orang-orang yang masuk Islam melalui lisan, tindakan dan perbuatan beliau. Berbondong-bondong manusia bersyahadat, meng-Esa-kan Allah dan bersaksi Muhammad adalah Rasul Allah. Berjuang lewat harta dan amal usaha semata-mata untuk mencari Ridho Allah dan membela saudara baru kita yang baru mengenal Islam.
Lalu Allah ternyata lebih sayang beliau, Allah panggil beliau dalam keadaan sedang berjuang untuk acara @hijrahfest. Bahkan kita masih bercengkerama di @masjidjogokariyan di event @ojolerendadiwongapikofficial pekan lalu.
Allah lebih sayang beliau, dan kita ditinggalkan dalam keadaan belum banyak amal seperti beliau. Di @terasdakwah (beliau) sudah support kami dalam banyak program. (Misal) tiba-tiba saja DM, “Ane transfer segini ya, Min. Maaf ga banyak”. Padahal, nominalnya masya Allah, ketika belum ada donasi masuk. Selamat jalan Koh, kami kehilangan sekali, benar-benar kehilangan sosok ramah yang membantu tanpa tapi. Semoga Allah menerima segala amalan di dunia. Amin.”
Siapa Steven Indra Wibowo?
Siapa lelaki yang biasa disapa Koh Steven dan kematiannya ditangisi banyak orang itu? Nama lengkap dia, Steven Indra Wibowo. Lahir di Jakarta, 14 Juli 1981.
Pada usia 19 tahun, yaitu pada 2000, dia berganti agama dari Katolik ke Islam. Tak lama, dia lalu menjadi aktivis dakwah. Dia pendiri Mualaf Center Indonesia (MCI), pendiri Dompet Madani, pendiri Vertizone TV. Dia aktif sebagai pengurus di Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI).
Juga, dia punya karya tulis. Judulnya, Mualaf: Kisah Para Penjemput Hidayah.
Di dahi kanannya ada ‘tanda’, berupa bekas luka sobek. Bahwa, kepindahan Koh Steven dari Katolik ke Islam pada 2000 membuat sang ayah yang petinggi di Persatuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI), marah besar. Sang ayah memukulnya sampai dahi Steven membentur kaca.
Lalu dia diusir. Bahkan, sebelumnya dia harus menandatangani pelepasan hak waris dari orangtuanya, resmi di hadapan notaris.
Setelah berjuang dari bawah, Koh Steven menjadi pengusaha sukses. Di antaranya, dia punya usaha cafe dengan banyak cabang. Hal yang unik di cafe-nya, dia pasang ketentuan: “Makan dan minum sepuasnya, bayar seikhlasnya”.
Untuk hal yang disebut terakhir itu, ada yang menyebutnya sebagai ‘Marketing Langit’. Bukan tak mungkin, penilaian itu muncul karena justru dengan “ketentuan tak logis dari kacamata bisnis” itu, usaha Koh Steven justru terus berkembang.
“Ini soal akidah,” kata Koh Steven suatu ketika. Kita yakin, “Rezeki tidak akan tertukar,” tambah dia.
Koh Steven, pebisnis yang juga pegiat dakwah itu, punya keyakinan. Bahwa, siapapun yang sibuk dengan urusan Allah maka pasti Allah tuntaskan urusan dia. Oleh karena itu kita harus ikhlas. Apa ikhlas? “Ikhlas adalah menerima apapun yang telah Allah rencanakan untuk kita tanpa komplain,” tutur dia.
Bisnis cafe Koh Steven terus berkembang. Dia terus membuka cabang. Dia akan buka cafe di sebuah tempat dengan pertimbangan dakwah. Misal, dia buka cafe di sebuah lokasi yang dikenal sebagai basecamp Syiah. Dengan cara itu, dia berharap bisa berdakwah kepada di sana. Contoh lain, dia akan buka cafe di sebuah lokasi karena di sana akidah warganya sangat merosot. Alhasil, “Jika ada peluang dakwah, ayo kejar (dengan mendirikan cafe),” kata Koh Steven.
Bangun MCI
Dulu, Koh Steven membenci Islam. Steven kecil, banyak berbuat onar. Ia sengaja menyimpan tulang babi di atas makanan pembantunya yang beragama Islam. Steven kecil juga ingin sekali menaruh sesuatu di atas kepala seorang Muslim yang tengah sujud sewaktu shalat, bahkan menendangnya.
Lalu, berawal dari iseng, dia ingin tahu lebih jauh apa itu Islam. Di antara jalan hidayah yang didapat Koh Steven berasal dari buku Imam Ghazali tentang hadits dan periwayatannya. Isinya, yang berbeda dengan apa yang sebelumnya dia dapat, membuat Koh Steven tertantang untuk membandingkannya.
Di samping itu, diam-diam Koh Steven mulai mempelajari gerakan shalat. Kegiatan mengamati orang shalat itu ia lakukan selepas menjalankan ritual ibadah Minggu di Gereja Katedral, Jakarta. Tak ada yang mengetahui kegiatannya itu, kecuali seorang adik laki-lakinya. Namun, sang adik diam saja.
Setelah mantap, Koh Steven memutuskan masuk Islam. Itu terjadi sebelum masuk bulan Ramadhan 2000.
Perjalanan hidup selanjutnya tidaklah mudah. Ujian berat pun tak luput dialami Koh Steven setelah menjadi muallaf. Ia berjuang keras dalam menjalani hidup dan mempertahankan keyakinan. Dia pernah menjadi Office Boy, tukang kuli panggul, kernet truck pasir, pembantu pembawa belanja di pasar, dan sales.
Perlahan, kehidupan Koh Steven makin baik. Misal, dia pernah menjadi Kepala Departemen di salah satu perusahaan riset internasional yang ada di Indonesia. Pernah pula bekerja di sebuah perusahaan riset global yang memiliki cabang di lebih 100 negara dengan kantor 400 lebih. Dia menjabat sebagai salah satu Kepala Deparmen di situ.
Tiga tahun setelah masuk Islam, pada 2003, Koh Steven mulai membangun jaringan mualaf di Yahoo Groups. Kemudian pada 2004, dia mulai berdakwah lewat www.mualaf.com, bagian dari kegiatan Muallaf Center Indonesia (MCI).
MCI telah menuntun begitu banyak orang bersyahadat. MCI mempunyai banyak misi dakwah di pedalaman. MCI cukup fokus untuk mengembalikan kawasan pemurtadan menjadi kawasan Muslim (baca umma.id).
Di antara kisah tak terlupakan di kehidupan Koh Steven adalah fragmen berikut ini. Bahwa, pada 2012 ada seorang mualaf yang meninggal. Koh Steven mendapat kabar jika jenazah akan dikremasi (dibakar). Mualaf tersebut tak memberi tahu keluarganya bahwa ia sudah masuk Islam.
Atas hal itu, Koh Steven dengan motor pergi ke lokasi kremasi. Tak lupa ia membawa dokumen keislaman si jenazah yang pernah ia tandatangani di atas materai. Singkat kisah, jenazah itu selamat (baca hidayatullah.com).
Tokoh Perubahan 2020
Tema yang diangkat Republika pada pemilihan Tokoh Perubahan 2020 adalah “Hikmah Kebersamaan untuk Bangkit dari Pandemi”. Koh Steven terpilih sebagai salah seorang pemenang.
Di antara pertimbangan pokoknya karena dia aktif melakukan berbagai kegiatan kemanusiaan. Misal, memproduksi alat pelindung diri (APD) untuk disumbangkan kepada tenaga medis saat pandemi Covid-19. Itu dilakukannya sambil terus mengerjakan proyek-proyek pembangunan kafe yang telah dirintisnya. Selain itu, Koh Steven terus mendistribusikan sembako kepada masyarakat yang ada di daerah-daerah dan terkena dampak pandemi Covid-19. Semua, menggunakan dana pribadi hasil penjualan aset-aset yang dimilikinya.
Hal seperti di atas, bukan kegiatan baru bagi Koh Steven. Sekitar 2011, “MCI Peduli” sudah beraktivitas untuk Indonesia. Mereka bergerak saat terjadi letusan Gunung Merapi. Saat itu orang-orang masih tidak tahu cara hadapi abu vulkanis. Kala itu MCI sudah pakai respirator karena abu melukai saluran pernapasan. MCI bagi-bagikan itu, fokusnya memang kemanusiaan dan kebencanaan.
Lalu, MCI juga hadir pada saat ada gempa dan tsunami di Palu. Hadir kala ada gempa di Lombok, ada tsunami di Lampung dan Banten, serta di bencana-bencana alam lain
Terlebih di masa wabah Covid-19, Koh Steven berusaha mengembalikan apa yang Allah titipkan kepadanya dengan cara yang baik. Dia salurkan dalam bentuk yang produktif. Apalagi pada April 2020, misalnya, harga masker meroket. Saat itu Koh Steven mencoba memproduksi sendiri, dan dibagikan gratis.
Pikiran Koh Steven terus berjalan. Bagaimana caranya agar penimbun masker kala itu tutup dan mereka berhenti menzalimi masyarakat. Dia lalu bikin ratusan ribu, dibagikan gratis. Akibatnya, ada pihak yang mengancam dia, ingin membunuhnya karena dianggap mengancam usahanya. Cara mengancamnya, macam-macam.
Dari mana dana Koh Steven? Dia jual aset-aset yang dimilikinya, untuk membantu menangani dampak pandemi. Kata dia, waktu itu yang paling gampang dijual adalah rumah, mobil, dan motor.
Koh Steven beruntung, karena sang istri mendukung. Saat akan menjual aset-aset, komunikasi ke istrinya lancar.
“Bun, ini saya jual ya,” kata Koh Steven.
“Buat apa,” tanya si istri.
“Buat bikin APD, buat tenaga medis.”
“Ya sudah, jual saja.”
Pesan Koh
Koh Steven pernah bekerja di perusahaan riset di Singapura. Pengalaman dan pengetahuan yang dimilikinya itu sangat membantunya di saat menentukan langkah turut dalam penanganan pandemi. Terkait ini, Koh Steven bersyukur, bisa memanfaatkan salah satu yang Allah titipkan kepadanya. “Saya hanya membelokkan sedikit dari riset market ke riset sosial, metodologinya saya buat sendiri, saya cari data sendiri,” kata dia.
Ada pesan Koh Steven yang menyentuh terkait semangat berbagi. Bahwa di saat keadaan susah atau sempit, jangan jadikan itu sebagai alasan untuk tidak bergerak. Bantulah urusan orang, semampu kita. Nanti Allah akan membantu urusan kita. ”Saya sendiri sejak awal masuk Islam sampai hari ini, (janji Allah) benar-benar tidak ada yang meleset, bahkan lebih.” (baca republika.co.id).
Demikianlah, sekilas perjalanan hidup Koh Steven. Umur dia relatif pendek, hanya 41 tahun. Dia masuk Islam pada usia 19 tahun. Sejak itu, sekitar 22 tahun, kehidupannya penuh dengan gelegak dakwah. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni