Hubungan Panas Dingin Din Syamsuddin-Jokowi Jadi Pertanyaan Wartawan; Liputan Kontributor PWMU.CO Gresik Sayyidah Nuriyah. Editor Mohammad Nurfatoni.
PWMU.CO – Prof Din Syamsuddin MA PhD mengungkapkan bagaimana hubungannya dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Hal ini dia jelaskan saat presenter Putri Ayuningtyas menanyakannya di program The Politician CNN Indonesia berjudul Din Syamsuddin, Islam dan Politik Indonesia, Rabu (12/10/2022)
Kata Putri, sapaannya, banyak yang melihat hubungan mereka panas-dingin, padahal dulu sempat akrab. Prof Din pernha diangkat Jokowi menjadi Utusan Khusus Presiden untuk Dialog dan Kerja Sama Antaragama dan Peradaban sejak 2017.
“Kemudian belakangan seperti mengambil posisi berseberangan, terus memberikan kritik atas kebijakan. Anda cukup keras soal itu,” ujarnya.
Prof Din langsung menegaskan baik-baik saja. “Saya merasa biasa-biasa saja. Walaupun sejak dua-tiga tahun terakhir tidak pernah bertemu, baik saya datang atau beliau datang,” jawab tokoh Islam yang telah berkiprah hingga kancah internasional itu.
Dia menegaskan—dalam konteks politik—ingin punya hubungan baik dengan semua orang. “Jangan ada suatu perasaan berdasar like or dislike (suka atau tidak suka), apalagi kebencian,” imbuhnya.
Sebagai akademisi, Prof Din masih mengajar dan menjadi guru besar di FISIP UIN Jakarta, dan sebagai pemimpin organisasi keagamaan Muhammadiyah maupun MUI, maka dia merasa hasrat untuk amar makruf nahi mungkar susah dihentikan.
Kemudian, pria yang kini berusia 64 tahun itu juga menyadari adanya faktor keterbatasan usia. “Maka saya tidak punya pretensi target apa-apa, kecuali harus terus menyuarakan yang saya yakini. Dengan segala risiko. Pro-kontra itu biasa. Walaupun saya lihat yang kontra-kontra itu masih biasa-biasa saja dan tidak perlu dilayani,” ungkapnya.
Cerita Jadi Utusan Khusus
Dalam kesempatan itu, dia juga menyatakan sudah kenal Joko Widodo sejak menjadi Wali Kota Solo. “Kalau saya ada kegiatan di Muhammadiyah, di Universitas Muhammadiyah (Solo) sudah pernah bertemu,” jelas Prof Din.
Begitupula ketika Jokowi menjadi gubernur dan presiden. “Waktu mau capres, dua atau tiga kali (Jokowi) datang ke PP Muhammadiyah. Di antaranya saya silakan untuk memimpin shalat Dhuhur waktu itu di masjid Muhammadiyah,” kenangnya.
Kemudian ketika diminta menjadi utusan khusus, dia sempat menolak. Dia menjelaskan, “Karena terus terang, biasanya untuk Muhammadiyah, jabatan politik itu (untuk) wakil ketua (PP Muhammadiyah). Jadi menteri ada Prof Malik Fajar, Prof Sudibyo, Prof Yahya Muhaimin, sekarang Prof Muhajir Effendi. Tidak pernah ketua umum.”
Oleh karena itu, lanjutnya, ketika Jokowi memintanya, dia mempertimbangkan fatsun organisasi. “Tapi karena beliau betul-betul meminta, dua-tiga kali saya diundang ke istana, saya katakan, Bapak Presiden, saya sudah melakoni tugas ini sebagai Presiden Asian Conference of Religions for Peace (tokoh-tokoh agama se-Asia, berpusat di Tokyo) 15 tahun,” imbuhnya.
Selain itu, dia juga menyampaikan sampai sekarang menjadi Co-Presiden World Conference on Religion for Peace (WCRP). Karena Presiden mengatakan itu tugas negara, maka dia mengucapkan bismillah sambil memberi syarat: lembaga ini betul-betul difungsikan. “Apalagi kalau saya terkesan dikooptasi, terlalu murah nilainya kalau begitu,” ujarnya.
Adapun pada 16 November 2011, dua belas hari setelah demonstrasi ramai-ramai (4/11/2011), dia diundang Jokowi ke istana. Di sana Prof Din menyatakan, “Pak Presiden, ini umat Islam kecewa. Merasa ada ketakadilan ekonomi. Sentra ekonomi umat Islam terpuruk. Sementara yang menguasai ekonomi adalah segelintir orang, menguasai lebih dari 50 persen aset nasional. Ini berbahaya bagi Indonesia. Segera atasi kesenjangan ekonomi,” lanjutnya.
Kemudian saat Jokowi bertanya apa yang harus dia lakukan, Din spontan menyarankan agar Jokowi mengikuti Mahathir Mohamad di Malaysia. Yakni melakukan affirmative action (aksi keberpihakan) dengan mengatakan kepada pengusaha, boleh maju tapi juga harus memberdayakan. “Beliau sepakat. Ketika saya jadi utusan beliau, dua kali saya tagih,” ungkapnya. (*)