Sepakbola dan Peradaban Bangsa, Belajar dari Spanyol; Catatan perjalanan oleh Biyanto, Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur.
PWMU.CO – Hari Ahad (16/10) pukul 16.30 waktu Madrid, kick off pertandingan Madrid melawan Barcelona dimulai. Perbedaan waktu antara Madrid-Spanyol dengan Surabaya sekitar lima jam. Pertandingan sepakbola di Eropa rata-rata memang dilaksanakan sore hari. Hal itu untuk memberi kenyamanan pada penonton, terutama mereka yang ingin menyaksikan langsung bersama keluarga sekaligus menikmati weekend.
Pertandingan dua klub ternama di Liga Spanyol ini terkenal dengan nama El Clasico. Suatu pertandingan berkualitas tinggi, bersejarah, dan sarat emosi. Jutaan pemirsa pasti menanti pertandingan yang bisa jadi lebih menarik dan berkualitas dari perhelatan akbar final piala dunia sekalipun.
Sayang sekali, Stadion Santiago Bernabeu yang hari ini menjadi tempat pertandingan sedang direnovasi total. Renovasi dilakukan untuk menambah daya tampung sekaligus mempercantik stadion. Begitu menariknya pertandingan ini, maka tiket masuk sudah terjual habis (sold out) jauh hari.
Beberapa peserta dari rombongan Rihlah Peradaban PWM Jatim ada yang beminat untuk menonton El Clasico. Ternyata, sangat sulit mendapatkan tiket masuk. Kalaupun ada, harganya sudah melambung tinggi. Dari penelusuran di media sosial, harga tiket El Clasico pada detik-detik akhir nyaris Rp 18 juta. Luar biasa mahal untuk ukuran tiket nonton sepakbola.
Meski stadion Santiago Bernabeu sedang direnovasi, pertandingan tetap digelar. Para penonton dari berbagai penjuru Spanyol dan dunia pun berdatangan. “Yang paling banyak datang menonton El Clasico berasal dari kawasan Timur Tengah. Mereka tergolong gibol (gila bola). Mereka umumnya datang langsung ke stadion untuk menikmati pertandingan sekaligus liburan,” kata Yasin Maimir. Dia adalah tour guide rombongan Rihlah Peradaban PWM Jatim.
Ke Santiago Bernabeu
Pada Sabtu sore (15/10), rombongan Rihlah Peradaban menyempatkan untuk mengikuti tour mengelilingi stadiun Santiago Bernabeu, stadion kebanggaan klub Real Madrid. Rombongan juga masuk ke musium dan tempat showroom berbagai produk klub Real Madrid. Di musium, pengunjung dapat menyaksikan deretan piala klub. Juga tersaji film-film dokumenter tentang detik-detik bersejarah dari klub tatkala meraih juara di La Liga maupun Liga Champions.
Rombongan Rihlah Peradaban juga berkesempatan untuk memasuki stadion. Tampak sejumlah pekerja sedang memperbaiki stadion. Juga yang tak kalah meriah adalah pengunjung alias peserta tour stadion. Setelah beberapa waktu mengabadikan momen di stadion ternama ini, seluruh peserta tour akan berhenti di tempat penjualan berbagai jersey dan pernik lain dari klub Real Madrid. Setelah itu, rombongan menyusuri jalan keluar stadion.
Pada hari menjelang pertandingan El Clasico jumlah pengunjung dan rombongan tourstadion ternyata sangat padat. Antrean panjang pun tak terhindarkan. Melihat keramaian pengunjung, maka dapat dibayangkan betapa besar penghasilan klub. Itu karena untuk mengikuti tour stadion setiap peserta harus membayar 20 Euro (sekitar Rp 300 ribu). Itu belum termasuk foto dokumentasi bersanding dengan piala dan situs-situs bersejarah klub. Tidak ada yang gratis, karena setiap jepretan berbayar. Dan, pendapatan yang sangat besar adalah hasil penjualan semua produk klub.
Mengamati begitu hebatnya klub mengelola aset berharga layaknya sebuah industri, maka tidak mengherankan jika klub-klub di Eropa kaya raya. Bukan sekadar soal uang, pemerintah dan pengelola klub juga berkomitmen untuk menjadikan sepakbola sebagai hiburan.
Mereka yang datang langsung ke stadion bisa menyaksikan pertandingan dengan nyaman. Bahkan, mereka rata-rata menyaksikan pertandingan bersama keluarga. Soal hasil pertandingan menang atau kalah, mereka menikmati semua itu sebagai hiburan. Karena itu, nyaris tidak ada tawuran. Juga tidak ada penyemprotan gas air mata pada penonton.
Pada konteks inilah, sepakbola sejatinya bisa menunjukkan tingkat peradaban suatu bangsa. Untuk menjadikan sepakbola sebagai bagian peradaban membutuhkan komitmen bersama. Juga butuh waktu panjang sehingga menjadi budaya atau tradisi.
Semoga insiden yang memakan ratusan korban jiwa di Stadion Kanjuruhan, Malang, menjadi yang terakhir. Jika insiden tersebut terulang, maka hal itu berarti semakin menunjukkan peradaban bangsa yang barbarian. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni