Mengapa Din Syamsuddin Pilih Jalur Perjuangan Partai Politik Alternatif? Liputan Kontributor PWMU.CO Gresik Sayyidah Nuriyah. Editor Mohammad Nurfatoni.
PWMU.CO – Pendiri Partai Pelita Prof Din Syamsuddin MA PhD menyatakan, poltik Indonesia sudah jauh dari rohnya sebagaimana yang diisyaratkan sila keempat Pancasila. Hal ini dia sampaikan saat hadir dalam program The Politician CNN berjudul Din Syamsuddin, Islam dan Politik Indonesia, yang dipandu presenter Putri Ayuningtyas, Rabu (12/10/2022).
Dalam hal ini, menurutnya, roh sila keempat Pancasila itu telah dirusak oleh demokrasi liberal. Prof Din, sapaannya, mengatakan, “Demokrasi pada ajaran paling liberal adalah pemilihan langsung. One person one vote. Ini sesungguhnya tidak sesuai dengan nilai-nilai dasar Indonesia!”
Untuk itu, Prof Din menegaskan ada dua kemungkinan perubahannya. Pertama, melalui revolusi. “Mendesak DPR/MPR sebagaimana yang terjadi pada tahun 1998. Kembalikan bangsa ini ke khittahnya yaitu Pancasila dan UUD 1945,” terangnya.
Sebab, mantan Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia itu berpendapat, UUD 1945 memungkinkan masyarakat Indonesia mengekspresikan kebebasan berpendapat. Adapun kemungkinan jalur kedua ialah melalui jalur konstitusi yang ada sekarang. Yakni melalui partai politik, walaupun pada tingkat analisis rasional lama. “Harus kuat-kuatan berhadapan dengan kekuatan yang tidak sepaham,” ungkapnya.
Tapi, dia menekankan, para pejuang di jalur kedua ini tidak boleh kehilangan asa. “Apalagi kalau anak-anak muda, kaum milenial, yang tampil. Maka kalau ada yang mengusulkan partai politik baru saya setuju. Dengan syarat harus menjadi partai alternatif!” tegas pria yang juga pernah menjadi Ketua Dewan Pertimbangan MUI bersama seluruh pimpinan ormas Islam.
Partai politik alternatif yang dia maksud itu tidak terjebak pada materialisme politik, pragmatisme politik, maupun hedonisme politik. Meski dia paham menjadi partai alternatif ini tidak mudah, Prof Din tetap optimis. “Sekarang banyak sekali kaum idealis di tubuh bangsa ini. Saya tidak menggeneralisasi semua rusak. Ada partai anak-anak muda yang tidak lolos lebih karena persoalan teknis,” ujarnya.
Kepada partai-partai politik alternatif ini, sebagaimana yang Partai Pelita tempuh, Prof Din menuturkan, “Saya sarankan sebagai Ketua Majelis Permusyawaratan Partai (Pelita) jangan berhenti! Kita punya hak legal standing, legal basis sebagai partai politik. Jadilah partai politik sejati tanpa harus ikut pemilu.”
Artinya, Prof Din tetap memilih jalur perjuangan melalui partai politik sekalipun Partai Pelita tidak lolos menjadi peserta Pemilu 2024. “Jalur nilai! Inilah yang kami maksud dengan partai politik alternatif. Kami yakin, dalam waktu singkat, tanpa uang, ada dana tapi sangat terbatas, tidak melewati jalur formal yang diatur pemilu. Tidak masalah,” imbuhnya.
Muslim, Muhammadiyah, dan Politik
Sebelumnya, saat berdialog dengan Putri Ayuningtyas di CNN Indonesia itu, Prof Din juga meluruskan perihal keengganannya disebut politisi. “Bukan saya berkeberatan disebut politisi karena itu sesuatu yang buruk. Sebenarnya kegiatan saya memang berdimensi politik, tapi bukan politisi secara profesi, kecuali mungkin jika nanti ada kesempatan lewat partai politik,” ungkapnya.
Sebab, tokoh agama Islam yang kiprahnya telah mendunia itu meyakini, politik tak terpisahkan dari agama Islam. “Islam memiliki ajaran yang meliputi seluruh aspek kehidupan termasuk politik. Umat Islam, seorang Muslim, harus berpolitik sebagai bagian dari beragamanya,” terangnya.
Prof Din menekankan, politik yang dia maksud ialah dalam arti politik nilai-moral. “Yakni menyuarakan nilai-nilai kebenaran, keadilan, kejujuran, nilai-nilai keutamaan. Ini yang saya yakini dan saya hayati sebagai suatu kewajiban. Saya kira dalam agama lain juga ada ajaran seperti itu,” imbuhnya.
Di Islam, lanjutnya, agama dan politik sangat lekat sekali, bahkan tak terpisahkan. Dalam bahasa Islam, politik dikenal dengan amar makruf nahi munkar, yaitu menegakkan kebenaran, mencegah kemungkaran.
Dia sendiri mengaku terdidik di Muhammadiyah dan pernah mendapat amanah jadi ketua umumnya (periode 2005-2010 dan 2010-2015). Di mana, organisasi besar itu sangat kental dengan ajaran amar makruf nahi munkar. “Dalam konteks itulah saya berpolitik,” tegas pria kelahiran Sumbawa, 31 Agustus 1958 itu.
Tak hanya itu, dia juga lanjut mengungkap jejaknya yang lain dalam berpolitik. “Saya sebenarnya pernah di partai politik di akhir orde baru. Menjadi fungsionalis jabatan Ketua Departemen Litbang, Wakil Sekjend Golkar, dan sempat menjadi Wakil Ketua Fraksi di MPR,” urainya.
Pria alumnus California University itu kemudian memutuskan berjuang lewat jalur sosial, budaya, dan kemasyarakatan lewat Muhammadiyah sejak tahun 2000. Muhammadiyah, kata Prof Din, tidak pernah lepas dari politik nilai.
Dia waktu itu mengamati politik moral yang menyuarakan nilai-nilai kebenaran–dengan suara lembut, keras, lantang–ternyata tidak mempan. Sebabnya, menghadapi ‘tembok besar’. “Tembok dari sebuah kekuasaan yang mempertahankan diri. Bahkan nyaris sering saya sebut mengukuhkan kediktatoran konstitusional. Mengerahkan segala upaya, semua organ-organ kekuasaan itu untuk mempertahankan diri dan tidak mendengar kritik,” ungkapnya.
Amanat Muhammadiyah
Adapun fokus dari kritik yang dia lakukan sebenarnya amanat Muhammadiyah tahun 2010 untuk meluruskan kiblat bangsa dan negara. Dia mengatakan, “Karena yang terjadi, istilah yang sering saya ucapkan, deviasi atau distorsi dari nilai-nilai dasar kebangsaan dan kenegaraan kita.”
Bahkan, lanjut Prof Din, Kongres Umat Islam Indonesia 2015 di Yogyakarta dalam Deklarasi Jogja memasukkan frasa ini. “Bahwa kehidupan kebangsaan Indonesia terakhir ini mengalami deviasi, distorsi, dan disorientasi dari nilai-nilai dasar Pancasila dan UUD 1945,” jelas dia. Kalau ini tidak dikoreksi, sambungnya, bisa bahaya dan potensial meruntuhkan kehidupan bangsa Indonesia.
Kemudian, menyadari itu bagian amanat organisasi, maka setelah dia tidak lagi di Pimpinan Pusat Muhammadiyah dan memilih hanya sebagai seorang ketua ranting–pimpinan tingkat paling bawah di organisasi Muhammadiyah–bersama kaum kritis dari bangsa ini, para intelektual, agamawan, mantan jenderal, dia berjuang bersama-sama lewat Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI).
“Lebih keras lagi menyuarakan. Tapi terus terang tidak mempan. Karena tidak diterima kritik-kritik itu. Ini berbahaya. Ketika tertutup jalur aspirasi itu, ada yang tidak sabar ingin revolusi,” ungkapnya. Hal ini dia simpulkan usai melihat banyak teman-temannya yang ingin mengambil jalur revolusi.
“Saya masih meyakini jalur konstitusi yang perlu juga dilakoni. Maka harus lewat partai politik. Saya tidak mengambil prakarsa. Banyak anak-anak muda,” imbuhnya, dengan harapan kaum milenial ikut bangkit.
Prof Din pun mendapati fakta pada Pilpres 2019, 30 persen yang golput, mayoritas adalah kaum milenial. “Oleh karena itu, mereka perlu disantuni dengan sebuah alat perjuangan politik yang bisa menjadi alternatif,” ungkapnya.
Dia menegaskan, partai politik ini bukan sama dengan partai-partai lainnya. “Maaf saya katakan demikian. Saya pernah ditawari jadi pimpinan partai-partai yang ada. Tapi saya tidak bersedia. Karena nilai dan cara perjuangannya berbeda,” ujarnya.
Hal ini dilatari adanya kerusakan dari bangsa Indonesia. Dia menjelaskan, “Kehidupan politik kita terjebak pada materialisme dan pragmatisme politik. Money politic, semuanya uang. Kehidupan politik dikendalikan oligarki ekonomi dan politik. Kalau itu terjadi, bukan kebaikan yang akan kita peroleh. Apalagi sistem, terutama sejak diubahnya UUD 1945, diamandemen.” (*)