Hukum Mengumbar Aib Keluarga di Medsos; Kajian oleh Ustadzah Ain Nurwindasari.
PWMU.CO – Media sosial (medsos) saat ini sudah menjadi bagian dari kehidupan. Bisa dikatakan, manusia pada saat ini tidak terlepas dari medsos.
Medsos bisa menjadi nikmat ketika seseorang bisa memanfaatkannya dengan baik, juga bisa menjadi musibah jika seseorang salah dalam bertindak di tengah derasnya arus medsos.
Oleh karena itu dalam bermedia sosial hendaknya seseorang bersikap bijak (cerdas), dalam memposting gambar, video, tulisan, maupun berkomentar, sehingga seseorang bisa mendapatkan manfaat yang seharusnya dari media sosial.
Di antara hal yang sering dijumpai di media sosial adalah curhatan masalah rumah tangga maupun keluarga yang diposting secara terbuka dan menjadi konsumsi publik.
Ada yang menganggap hal ini sesuatu yang biasa, bahkan bisa dijadikan oleh media lain untuk mendulang cuan karena menjadi bahan gosip dan mengundang banyak komentar, sehingga menaikkan views, insight maupun adsense.
Lalu, bagaimana sebenarnya hukum mengumbar aib keluarga di media sosial?
Aib berasal dari bahasa Arab (عاب – عيبا) yang artinya menjadi cacat (kata kerja), cacat, aib, cela (kata benda).
Sehingga mengumbar aib maksudnya adalah menceritakan secara terbuka suatu keburukan seseorang maupun keluarga yang seharusnya orang lain tidak mengetahui jika tidak diceritakan.
Rasulullah SAW telah memberi petunjuk terkait seseorang yang memiliki aib, yaitu dengan menutupinya, bukan dengan mengumbarnya. Hal ini karena ada kemaslahatan yang ingin dicapai dalam menutupi aib, yaitu selain karena Allah Maha Pengampun, juga agar seseorang bersikap optimis memperbaiki kesalahan menjadi kebaikan di masa depan.
Dalam sebuah hadis disebutkan:
عن سالم بن عبد اللّه قال: سمعت أبا هريرة يقول سمعت رسول اللّه صلّى اللّه عليه وسلّم- يقول: كلّ أمّتي معافى إلّا المجاهرين، وإنّ من المجاهرة أن يعمل الرّجل باللّيل عملا، ثمّ يصبح وقد ستره اللّه فيقول: يا فلان عملت البارحة كذا وكذا، وقد بات يستره ربّه، ويصبح يكشف ستر اللّه عنه
Dari Salim bin Abdullah, dia berkata, Aku mendengar Abu Hurairah RA bercerita bahwa beliau pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda, ‘Setiap umatku akan mendapat ampunan, kecuali mujahirin (orang-orang yang terang-terangan berbuat dosa). Dan yang termasuk terang-terangan berbuat dosa adalah seseorang berbuat (dosa) pada malam hari, kemudian pada pagi hari dia menceritakannya, padahal Allah telah menutupi perbuatannya tersebut, yang mana dia berkata, ‘Hai Fulan, tadi malam aku telah berbuat begini dan begitu.’ Sebenarnya pada malam hari Rabb-nya telah menutupi perbuatannya itu, tetapi pada pagi harinya dia menyingkap perbuatannya sendiri yang telah ditutupi oleh Allah tersebut.” (HR Al-Bukhari nomer 6069 dalam Kitab Fathul Baari).
Oleh karena itu pada asalnya mengumbar aib adalah dilarang, baik itu aib sendiri maupun orang lain, yaitu termasuk keluarga, orang tua, anak, saudara, kerabat, tetangga, teman maupun orang lain yang tidak ada hubungannya dengan kita.
Namun ada kalanya seseorang mengumbar aib di media sosial dengan maksud ingin mencari simpati, empati, maupun solusi dari orang lain. Hal ini tentu bukanlah sikap yang bijak, karena mengumbar aib di media sosial bisa menjadi dosa yang berlipat-lipat, karena memungkinkan aib justru tersebar sangat luas tanpa bisa dihentikan oleh penyebarnya sendiri.
Hendaknya sebagai seorang muslim menyadari bahaya dan dosa mengumbar aib sendiri maupun keluarga.
Jika ada permasalahan yang ingin diselesaikan hendaknya dicari jalan yang ma’ruf. Jika tidak memungkinkan penyelesaian dengan keluarga sendiri hendaknya mencari perantara orang yang adil dan bijaksana serta dalam ilmu agamanya untuk membantu menyelesaikan masalahnya.
Adapun jika aib itu merupakan suatu masa lalu yang tidak perlu dicari solusinya hendaknya seorang muslim memperbanyak taubat, berusaha semampunya menutupi aib keluarga dan mendoakan agar keluarganya mendapatkan ampunan Allah SWT.
Wallahu a’lam bish shawab. (*)
Ustadzah Ain Nurwindasari SThI, MIRKH adalah Anggota Majelis Tabligh Pimpinan Daerah Asiyiyah (PDA) Gresik; alumnus Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah (PUTM) PP Muhammadiyah dan International Islamic University of Malaysia (IIUM); guru Al-Islam dan Kemuhammadiyahan SMP Muhammadiyah 12 GKB Gresik.
Editor Mohammad Nurfatoni