Pawang Hujan ke Mana? Mengenal Fikih Kebencanaan Muhammadiyah; Kajian oleh Dr Aji Damanuri, Sekretaris Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kabupaten Tulungagung; Dosen IAIN Ponorogo.
PWMU.CO – Beberapa hari terakhir hujan mengguyur hampir seluruh wilayah Indonesia. Akibatnya beberapa kabupaten terjadi tanah longsor dan banjir. Bencana banyak didominasi daerah lereng gunung yang telah gudul. Banyak harta benda yang ikut hilang tersapu bajir. Roda ekonomi menjadi macet.
Dalam situasai seperti ini banyak yang mempertanyakan di mana para pawang hujan yang beberapa waktu lalu viral karena dianggap sanggup menghentikan hujan.
Hujan dan bencana banjir mestinya mengokohkan keyakinan bahwa Islam tidak mengenal pawang hujan. Islam mengajarkan bahwa hujan adalah berkah, karenanya yang diajarkan adalah doa allahumma sayyiban nafi’a, berharap Allah memberi manfaat dari hujan yang diturunkan.
Manfaat berkah kesuburan maupun berkah kesadaran bahwa perbuatan kita merusak alam selalu melahirkan konsekwensi yang nyata. Perbaikan ekologis berakibat pada kemakmuran, sedangkan kerusakan ekologis juga akan memberi efek yang nyata, misalnya banjir dan tanah longsor yang sedang mendera.
Menyikapi fenomena bencana yang akhir-akhir ini cukup sering terjadi, Muhammadiyah menerbitkan Fikih Kebencanaan sebagai hasil dari Musyawarah Nasional Ke-29 Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah tahun 2015 di Yogyakarta. Konsep fikih kebencanaan ini menjadi nalar yang tercerahkan karena konsep-konsep agama terkait bencana dipahami secara kontekstual.
Menurut Fikih Kebencanaan bencana secara umum dikelompokkan menjadi dua kategori: Pertana disebabkan oleh faktor alam (natural disaster) atau kedua ulah manusia (man-made disaster).
Seperti peristiwa seperti gempa bumi (al-A’rāf: 78), letusan gunung api (al-Naml: 88), tsunami (al-Infitār: 3), tanah longsor, banjir (al-‘Ankabūt: 14), dan kekeringan (Yūsuf: 48).
Kedua, bencana non-alam, seperti kegagalan teknologi (al-Rūm: 41, epidemi atau wabah (al-Anfāl: 133, konflik sosial (al-Rūm: 41), dan teror (al-Mā’idah: 33).
Baca sambungandi halaman 2: Implementasi Fikih Kebencanaan