Ekonomi Kreatif Berbasis Inovasi
Selanjutnya, Guru Besar Universitas Diponegoro Prof Dr Muhammad Nur DEA mengungkap syarat menjadi umat Islam terbaik. Yaitu punya iman, ilmu, dan amal. Selain itu, menurutnya umat Islam perlu berteknologi dan berinovasi. “Pada abad pertengahan, Islam berada di puncak perkembangan teknologi,” imbuhnya.
Umat Islam, menurut Muhammad Nur, tidak mencari sumber daya baru karena sumber daya itu terbatas. Justru yang dicari ialah teknologi dan inovasi.
Dia menerangkan, “Inovasi adalah menggambarkan hasil, mengadopsi sistem, mengantisipasi konsekuensi, merepresentasikan kesempatan, adanya proses pengambilan keputusan; dan dapat dibandingkan, dicoba, dan dikaji.”
Sementara kreatifitas menggambarkan potensi, tidak dibatasi sistem, bersifat abstrak; serta menentang prosedur, peraturan, dan asumsi-asumsi.
Menurutnya, Indonesia butuh lebih banyak lagi wirausahawan yang mampu mengembangkan produk inovasi. “Komunitas, termasuk persyarikatan Muhammadiyah, perlu mengisi ruang tersebut. Ekonomi tidak akan berkembang kalau tidak ada terobosan inovasi,” jelas dia.
Dia juga mengungkap betapa komitmen menentukan inovasi. “Sains dan teknologi untuk inovasi sudah dimiliki oleh Bangsa Indonesia. Kampus harus menjadi pusat pengembangan inovasi dan teknologi dan usaha baru berbasis teknologi!” tuturnya.
Dalam kesempatan sore itu, Rektor UMM Dr Fauzan membahas kompetensi kader dalam ranah ekonomi. Dia menekankan perlunya melakukan sesuatu yang spesifik. Misalnya, ahli di bidang perudangan, rumput laut, koi, dan lain-lain.
“Kita harus mencetak sarjana yang ekspert di bidang masing-masing! UMM tengah mengembangkan Center of Excellence melalui jalur training, bukan SKS sebagaimana mahasiswa biasa,” ungkapnya.
Ragam Kader Muhammadiyah
Pada malamnya, giliran Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Prof Dr Muhadjir Effendy MAP yang bicara. Prof Muhadjir, sapaannya, menyatakan Muhammadiyah harus menyiapkan kader persyarikatan, umat, dan bangsa.
“Ada kader yang bisa menjadi tiga-tiganya sekaligus, tapi juga ada yang menonjol di satu bidang tertentu. Model, orientasi, dan strategi yang dilakukan oleh MPK seharusnya mencakup pada tiga hal tersebut,” tuturnya.
Dia menilai, tidak banyak anak-anak tokoh Muhammadiyah yang memberi perhatian khusus kepada persyarikatan Muhammadiyah. Maka, Prof Muhadjir mengimbau MPK harus memperhitungkan anak-anak tokoh Muhammadiyah.
“Kita perlu mekanisme perekrutan yang memberikan ruang kepada anak-anak tokoh Muhammadiyah. Sudah waktunya MPK memiliki big data tentang kader, terutama anak-anak tokoh Muhammadiyah,” imbaunya.
Menurutnya, MPK juga perlu melacak sejarah-sejarah Muhammadiyah lokal di berbagai daerah. “Hal itu penting untuk membangkitkan ghirah perkaderan di berbagai daerah. Jati diri Muhammadiyah sebagai melting pot (kuali peleburan) tidak boleh dihilangkan,” tegasnya.
Kemudian, Prof Muhadjir mengungkap dua jenis kader. Yaitu kader formal dan substansial. Kader formal mengikuti proses perkaderan di organisasi otonom atau lembaga Muhammadiyah. Sebaliknya, kader substansial tidak mengikuti proses perkaderan itu.
Dia menyatakan kader Muhammadiyah semakin beragam. Dia menuturkan, “Muhammadiyah tidak hanya butuh agamawan, namun juga butuh ekonom, entrepreneur, dan kader-kader yang bergerak di bidang lain. Walaupun tidak mengikuti jejak perkaderan formal, namun kader-kader substansial tidak boleh dilupakan!” (*)