Takjub Sekaligus Sedih Melihat Kaligrafi Al-Quran di Katedral Cordoba; Liputan Kontributor PWMU.CO Siti Agustini dari Spanyol.
PWMU.CO – Takjub sekaligus sedih. Ini yang dirasakan rombongan Rihlah Peradaban saat menyaksikan Masjid Cordoba, Senin (17/10/2022). Satu-satunya masjid di Cordoba yang sudah berubah menjadi gereja.
Takjub melihat bangunan masjid yang indah, luas, dan dipenuhi dengan ornamen ukiran ayat-ayat al-Quran, yang menggambarkan kemajuan Islam saat itu.
Sedih melihat gambar-gambar dan ornamen-ornamen gereja di dalam masjid. Suara lonceng gereja berulang kali dibunyikan. Menggantikan adzan dan lantunan ayat suci al-Quran yang tak bisa didengarkan di Masjid Cordoba ini.
Sebenarnya perasaan itu juga sama saat masuk di Masjid Aya Sophia, Istanbul Turki. Kebalikan dari Masjid Cordoba, kami takjub dan bersyukur. Sebuah gereja menjadi masjid. Di antara ornamen-ornamen gereja yang masih ada—seperti Bunda Maryam—di mihrab. Di Masjid Aya Sophia, kaum Muslim bisa menunaikan shalat.
Sedih karena melihat masjid yang seharusnya tempat suci khusus untuk ibadah shalat, dimasuki oleh siapa pun. Masjid digunakan sebagai destinasi wisata turis, dari berbagai umat di dunia.
Masjid Cordoba yang Artistik
Masjid besar ini dibangun oleh Abdurrahman ad-Dakhil atau Khalifah Abdurrahman I pada 785 M. Luas masjid diperkirakan hanya 70 meter persegi di atas lahan seluas 5000 meter.
Sang khalifah memilih bahan dari batu pualam. Didatangkannya langsung dari Narbonne, Sevilla, dan Konstantinopel. Dua abad lamanya proses pembangunan dan penyempurnaan masjid ini.
Masjid terus diperbaiki dan diperluas oleh para khalifah keturunan Khalifah Abdurrahman I ini.
Khalifah Hisyam I (788-798 M) meluaskan masjid berupa bangunan utama dan menara. Selanjutnya putranya, Khalifah Hakam I, juga membangun dua serambi besar di bagian arah kiblat yang selesai pada 796 M.
Khalifah Abdurrahman II (822 – 852 M) meneruskan penyempurnaan masjid. Ia menambah ruangan besar masjid dan 200 tiang yang bergaya hypostyle. Pelaksanaannya mulai 832 M sampai 848 M.
Tidak hanya itu, Khalifah juga menggeser arah mihrab sedikit ke Tenggara sehingga tepat menghadap ke arah kiblat. Hal ini disebabkan mihrab sebelumnya menghadap ke arah selatan pada zaman Khalifah Abdurrahman I. Dalam hal ini, sejarawan memperkirakan bahwa Abdurrahman ad-Dakhil berpikir dirinya masih di Damaskus, sehingga arah kiblat disamakan dengan masjid-masjid di pusat kekhalifahan Umayyah tersebut.
Penyempurnaan masjid pun dilanjutkan oleh Khalifah Abdullah yang menduduki tahta pada 888 M. Ia membangun lori-lori (arcade) yang beratap lengkung, menghubungkan istana dan masjid. Jadilah 32 lorong dan mihrab di bawah atap kubah yang berbentuk segi delapan.
Penggantian menara lama (zaman Khalifah Hisyam I) ke yang baru, berbentuk segiempat dengan tinggi 34 meter. Dilakukan oleh Khalifah Abdurrahman III (912-961 M). Al-Muntasir – ahli mozaik dari Constantinopel atau Istanbul Turki- ditunjuk sebagai pengawasnya. Perluasan aula masjid ke arah barat daya juga dilakukan khalifah ini.
Akhirnya pada masa Khalifah Al- Hakam II (961-976 M) dilakukan penyempurnaan masjid yang terakhir. Arsitektur masjid diberikan sentuhan monumental. Bentuk ruang shalat di depan mihrab diubah. Semula ruang terbuka biasa menjadi satu jalur yang membujur. Panjangnya 115 meter, lebar 70 meter, dan memiliki 320 tiang.
Sejarah mencatat Masjid Cordoba diperbaiki dan diperluas selama 2 abad oleh kekhalifahan Islam. Panjang masjid 175 meter membujur dari arah utara ke selatan. Lebarnya 134 meter dari arah timur ke barat. Untuk tinggi masjid 20 meter. Dengan kemegahannya, Masjid Cordoba dulunya mampu menampung 80.000 orang jamaah.
Baca sambungan di halaman 2: Dari Katedral Kembali Jadi Katedral