Perlindungan Korban
Di lapangan, menurut anggota Tim Gabungan Hukum Aremania itu, ada persoalan tambahan yang dialami korban. Misalnya, soal pembiayaan di rumah sakit. Agus menuturkan bahwa per 11 Oktober Pemkab Malang sudah tidak lagi menanggung biaya pengobatan korban, sehingga para korban yang ingin berobat harus mengeluarkan biaya sendiri.
“Padahal, di rekomendasi TGIPF ada rekomendasi untuk menjamin kesehatan fisik dan psikis korban,” ujarnya.
Wahyudi Kurniawan, pengajar di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), yang juga menjadi salah satu narasumber di RBC Talkshow, mempertanyakan soal bantuan bagi keluarga korban. “Santunan-santunan ke keluarga korban apa sudah sampai? Ini janji, lho, dari pemerintah. Kalau belum sampai, kapan?” ucapnya.
Sebagai informasi, pemerintah pusat, melalui Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menyampaikan (3/10/2022) bahwa akan memberikan santunan sebesar Rp 50 juta rupiah untuk keluarga korban meninggal dunia.Sementara Pemerintah Provinsi Jawa Timur berjanji memberikan Rp 10 juta rupiah untuk keluarga korban yang meninggal dan Rp 5 juta untuk korban luka berat.
Untuk melakukan perbaikan jangka panjang, tentu upaya perbaikan manajemen sepakbola di Indonesia perlu dilakukan secara struktural. Secara etis, misalnya, rekomendasi TGIPF menyebutkan bahwa PSSI harus bertanggung jawab penuh atas kejadian ini. Maka itu, perlu perubahan struktural ditubuh penyelenggara kegiatan untuk menyusun sistem-sistem yang mapan, agar tragedi memilukan ini tidak terjadi lagi.
Dalam konteks penyelenggaraan kegiatan, apakah kita memiliki SOP pengaturan sebuah even yang melibatkan massa dalam jumlah besar? Wahyudi menyebutkan, misalnya, untuk Stadion Kanjuruhan, “Apakah ada SOP-nya? Bagaimana kalau terjadi chaos?”
Ilham Zada, jurnalis bola, yang hari itu menjadi host kegiatan RBC Talkshow, mengatakan, “Kita tidak memiliki konsep hukum secara sistematis untuk menanggulangi agar kasus seperti ini tidak terjadi lagi.” Menurutnya, undang-undang ini menjadi penting, misalnya, jika stadion tidak layak, “Lalu, undang-undangnya mana?” ucapnya.
Lebih lanjut, menurutnya, jika melihat apa yang dilakukan pemerintah Inggris atas tragedi Hillsborough di Inggris pada 15 April 1989, Indonesia perlu memiliki regulasi yang menyeluruh mengenai stadion, suporter, federasi, dan penyelenggara pertandingan.
Undang-undang mengenai persepakbolaan ini menjadi sangat penting untuk membangun persepakbolaan Indonesia menjadi lebih baik. Tentu saja, juga untuk menghindari tragedi memilukan Kanjuruhan, yang tidak hanya menjadi catatan kelam bagi sepakbola di Indonesia, tapi juga dunia.
“Kalau tidak diselesaikan secara sistemis, kejadian seperti ini bisa terjadi lagi. Pun juga harus ada political will dari pemerintah,” kata Ainur Rohman, jurnalis bola yang juga menjadi host. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni