Lima Kriteria Pemimpin 2024 yang Dibutuhkan Indonesia; Liputan Kontributor PWMU.CO Gresik Sayyidah Nuriyah. Editor Mohammad Nurfatoni.
PWMU.CO – Sosok seperti apa yang dibutuhkan Indonesia 2024 dengan tantangannya yang kompleks? Pertanyaan Putri Ayuningtyas tertuju kepada Prof Dr M Din Syamsuddin MA PhD pada program The Politician berjudul Din Syamsuddin, Islam dan Politik Indonesia yang disiarkan CNN Indonesia, Rabu (12/10/22).
Prof Din–sapaannya–mengungkap kriteria pertama, bisa menyintesis kebaikan-kebaikan dari kepemimpinan masa lampau. Dia menyebutnya sebagai solidarity maker, menciptakan solidaritas.
“Ini penting bagi Indonesia sebagai masyarakat majemuk, atas dasar agama, suku, dan lain sebagainya dan ada potensi hasrat daerah-daerah yang kritis, di awal reformasi ingin memerdekakan diri,” terangnya.
Klop dengan Pancasila
Selain itu, lanjutnya, pemimpin Indonesia 2024 juga klop dengan Pancasila. Kepemimpinan hikmat sebagaimana pada sila keempat itu, maksud Prof Din, kepemimpinan yang berada di atas dan untuk semua kelompok atau golongan. “Bukan untuk golongan yang memilihnya saja!” tegasnya.
Prof Din kemudian menyadari, demokrasi liberal akan memungkinkan presiden yang terpilih itu presiden kelompok. “Dia akan menghadapi lawan politiknya secara eksklusif. Zero sum-game in politic dan mengeyahkan. Karena dia harus mempertanggungjawabkan pada kelompoknya. Apalagi dia sebagai petugas partai yang harus bertanggung jawab,” ungkapnya.
Kejujuran dan Keadilan
Kriteria ketiga, mengutamakan nilai kejujuran dan keadilan. Menurutnya, ini dua ajaran agama yang sangat penting. Berdasarkan hadits Rasulullah SAW, Prof Din menyatakan, “Kalau pemimpin yang tampil di atas ketakjujuran, kebohongan karena manipulasi-manipulasi, itu terus terang akan menimbulkan musibah berkepanjangan.”
Dia juga mengingatkan, ketidakadilan atau kezaliman itu sebenarnya bukan hanya secara teologis berbahaya tapi juga secara sosiologis akan menimbulkan masalah. “Yang merasa dizalimi akan memberontak, bangkit,” imbuhnya.
Sebagai tokoh yang diberi amanah di pergerakan Islam, Prof Din menegaskan dirinya bukan eksklusif untuk umat Islam saja. Dia menuturkan, “Tidak bisa umat Islam dipinggirkan dalam kehidupan nasional, tidak baik bagi Indonesia. Walaupun umat Islam juga jangan dianakemaskan. Tegakkanlah keadilan!”
Kepada umat Islam yang mengadu kepadanya saat di MUI maupun memimpin Muhammadiyah karena merasa mengalami ketakadilan ekonomi maupun politik, Prof Din berpesan, “Anda harus bangkit. Bersatu! Berbuatlah supaya tidak menjadi orang pecundang. Jangan menjadi kelompok yang kalah.”
Tapi lagi-lagi, menurutnya ini akan terkendala oleh sistem. “Saya menengarai ada dimensi seperti itu dalam kehidupan nasional kita,” ungkapnya. Dalam jangka panjang, lanjutnya, sangat tidak positif bagi Indonesia dan akan meruntuhkan Indonesia itu sendiri.
Mumpuni dan Visioner
Karena Indonesia ditegakkan atas dasar kebersamaan, maka menurut Prof Din, kriteria pemimpin keempat ialah mumpuni dan visioner. Bagaimana cita-cita nasional bangsa Indonesia diterjemahkan dalam konteks dinamika global yang baru, di mana sang pemimpin harus masuk ke pergaulan internasional.
“Ini era kompleks sekali. Sekarang terjadi dinamika geopolitik di ekonomi global, pergeseran pusat gravitasi ekonomi, kebangkitan Asia Timur. Bagaimana kita menghadapi itu semua, kita berada di kawasan itu,” ujarnya.
Dia mengenang, dulu Bung Karno sudah masuk bahkan memimpin di pergaulan internasional. Prof Din lantas menyayangkan Indonesia kini mengalami kemunduran. “Bukan menjadi pemain kunci,” terangnya.
Sehingga menurutnya, Indonesia juga perlu pemimpin yang punya global outreach (mampu menjangkau global) walaupun merakyat secara domestik alias memperhatikan rakyat.
Pemimpin Otentik
Terakhir, menurut Prof Din, pemimpin Indonesia 2024 nanti harus bisa menjadi pemimpin sejati. Dia menekankan, “Kesejatian (otentisitas) sebagai pemimpin sangat diperlukan, maka integritas sangat penting!”
Akibat ketiadaan otentisitas itu, menurutnya, muncul perbedaan ucapan dan perilaku. “Apa yang dikatakan hari ini tidak sama dengan apa yang dikatakan besok. Ini akan mempengaruhi generasi penerus. Kita tidak memberi keteladanan hikmat kebijaksanaan. Akhirnya politik itu tidak bersifat edukatif (mendidik generasi penerus),” jelasnya.
Memandang ke depan, Prof Din berpendapat, setelah kebangkitan Asia Timur, rotasi kehidupan peradaban dunia akan bergerak ke Selatan dan Barat. “Indonesia harus menjadi kunci! Mungkin kurang dari seratus tahun yang akan datang,” lanjutnya memprediksi.
Dia pun bertanya retorik, “Bisakah pemimpin Indonesia punya visi yang sudah termaktub dan tersirat ataupun tersurat dalam pembukaan UUD 1945?” Hal lalu luar biasa inilah yang menurutnya sejauh ini tidak diterjemahkan, bahkan diselewengkan. (*)