Membaca Anak Muda
Dalam pandangan Suko Widodo, era disruptif tidak hanya memunculkan kemudahan bermedia, melainkan juga etika baru yang harus diikuti. Anak muda memiliki cara sendiri dalam berkomunikasi yang sangat mungkin berbeda dengan usia gurunya saat ini.
“Cara membaca anak muda inilah yang harus ditangkap sebagai bagian dari strategi marketing,” kata Suko yang pernah menjadi Kepala Humas Unair.
Salah satu contoh, ketika Presiden Obama berkunjung ke Jakarta, maka tim advance sang presiden sudah terlebih dahulu mempelajari berbagai kultur orang Indonesia. Misalnya soal kuliner. Maka Obama dalam pidatonya sengaja memakai diksi-diksi dalam bahasa Indonesia yang sudah sangat dikenal seperti bakso, sate, dan pulang kampung.
“Andai Obama berkunjung ke Malang, mungkin akan menyebutkan ayam geprek,” canda Suko.
Ini berarti engagement harus mengenal lebih dekat dengan kultur publik. Keunikan pesan harus diciptakan dari berbagai angle yang paling dekat dengan pasar.
Para peserta antusias menyimak paparan kedua narasumber. Pada sesi tanya jawab, berbagai pertanyaan dilontarkan terutama menyangkut pengalaman mengelola pemasaran sekolah Muhammadiyah.
Salah satu pengalaman mereka adalah mencari keunikan sekolah yang ternyata sudah dimiliki oleh sekolah lain sehingga tidak unik lagi. Demikian pula sekolah Muhammadiyah yang menjadi satu atap dari TK sampai SMA, cenderung memiliki masalah kontinuitas karena alumni SD dan SMP Muhammadiyah setempat cenderung bosan dan tak ingin lanjut di SMA di sana.
Menjawab pertanyaan itu Suko mewanti-wanti jangan sampai membuat keunikan untuk branding malah kontraproduktif. “Misalnya membuat patung Bunda Maria untuk sekolah Muhammadiyah mungkin itu unik. Tapi kan pasti akan banyak diprotes. Itu pekok namanya,” tuturnya.
Nasrullah mencontohkan branding lewat tagline yang gagal agar tidak ditiru. Produk suplemen Irex yang memiliki tagline “Loh kok loyo” sangat viral di zamannya. Siapa tak kenal Irex. Namun secara marketing (pemasaran) dan selling (penjualan) teryata gagal.
“Apa sebab? Ini akibat dari kesalahan tagline tadi. Orang yang ke warung mau membeli Irex akan ditanya tukang warung, lagi loyo ya,” kelakarnya.
Jadi, kata Nasrullah, mem-branding sekolah jangan salah pilih tagline, logo, atau unsur brand yang lain. Alih-alih meningkatkan citra, branding yang salah kaprah bisa kontraproduktif kepada marketing. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni