Kebanggaan yang Berlebihan
Kedua, kebanggaan yang berlebihan. Wajar jika Muhammadiyah bangga dengan capaian amal usaha Muhammadiyah (AUM) yang lahir dari jerih payahnya sendiri. Namun terlalu berbangga juga sering melenakan jika sebatas bangga.
AUM selama ini bukan saja lahan perjuangan namun juga telah menjadi naungan bagi mereka yang membutuhkan pekerjaan dan memberi kontribusi yang luar biasa terhadap masyarakat luas. Hal ini diiringi oleh sikap pragmatis banyak karyawan yang hanya memburu ma’isyah minus komitmen ideologi Muhammadiyah.
Jika dibiarkan maka secara ideologis AUM hanya akan menjadi koorporasi yang tidak ada bedanya dengan koorporasi lain meskipun memberi sumbangan finansial terhadap persyarikatan. Pekerjaan rumah yang besar adalah, apakah semua karyawan AUM mau menjadi kader penggerak dakwah Muhammadiyah?
Ketiga, berpikir besar melupakan yang kecil. Pikiran Muhammadiyah pada abad ke dua dalam konsep Islam berkemajuan memang luar biasa menunjukkan bagaimana organisasi ini responsif terhadap masa depan. Terinspirasi surat al-Ashr, pilar Islam berkemajuan dibentuk berdasarkan paradigma tauhid, menegakkan kebaikan dalam kerja-kerja peradaban, penguasaan dan pengembangan iptek, juga penguatan moral, etika dan akhlak. Sebuah konsep bernas yang luar biasa.
Berpikir mendunia memang penting, tidak ada yang membantah, namun berpikir yang kecil dan sederhana juga penting. Prinsip act locally and think globally (bertindak dan berbuatlah di lingkungan masyarakat sendiri menurut aturan-aturan dan norma-norma tradisi lokal serta berpikir, berhubungan dan berkomunikasi dengan kelompok lain menurut cita rasa dan standar aturan etika global) adalah sama-sama benar.
Perlu selalu diingat bahwa ujung tombak gerakan Muhammadiyah adalah ranting. Kondisi secara umum masjid dan mushala Muhammadiyah di kampung-kampung sepi dari keriuhan anak-anak yang mengaji, baik taman pendidikan al-Qur’an maupun sorogan, bahkan sudah jarang suara adzan dari anak-anak, yang ada hanya orang-orang lanjut usia.
Kegiatan keagamaan juga sporadis dan tidak kontinyu. Pengajian rutin banyak didominasi para manula. Para kader lebih suka berkegiatan sosial dibanding kajian agama. Para tokoh banyak yang tidak menurunkan DNA Muhammadiyah pada anak-anaknya.
Sekolah-sekolah Muhammadiyah belum mampu menelorkan para pejuang yang militan, semua terseret pada pragmatisme dan kapitalisasi pendidikan global. Dalam bahasa Renald Kasali, pendidikan sekarang hanya mendidik manusia-manusia terampil namun lemah. Lemah secara mental ideologis dan rapuh jiwanya.
Baca sambungan di halaman 3: Krisis Identitas