Krisis Identitas
Keempat, krisis identitas. Kurangnya militansi bermuhammadiyah di tengah gempuran kapitalisasi pendidikan banyak menimbulkan kegamangan para kader. Muhammadiyah belum memiliki identitas simbolik yang mudah dikenali.
Orang NU mudah dikenali dengan sarung dan kopiahnya. Orang salafi mudah dikenali dengan celana cingkrang, jidat hitam, dan jenggotnya. Orang Muhammadiyah susah dikenali. Personal branding penting sebagai identitas yang mudah dikenali, dan semestinya al-ihsan menjadi identitas warga Muhammadiyah. Pribadi yang santun, ramah, suka menolong, rajin beribadah, smart, menjadi teladan bagi yang lain di semua komunitas.
Identitas siswa sekolah Muhammadiyah juga belum menunjukkan identitas substantif, baru sebatas seragam. Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah masih bersifat umum. Perlu panduan lebih rinci untuk panduan pendidikan di lingkungan Muhammadiyah. Kalau di NU ada kitab Akhlaqul Banin dan Akhlaqul Banat yang membahas tentang adab sopan santun keseharian, maka Muhammadiyah juga perlu mengembangkan panduan yang senada.
Bagaimana adab murid terhadap guru, adab guru terhadap murid, adab memperlakukan buku-buku pelajaran bahkan al-Qur’an, adab meminta izin, mohon maaf, adab di rumah ketika ada tamu, adab berbicara dengan orangtua dan lain-lain.
Ini hal kecil yang semestinya menjadi identitas bagi bagi dunia pendidikan Muhammadiyah. Sehingga identitas siswa Muhammadiyah itu bukan hanya sehat, cerdas berprestasi, ceria, shalih, tetapi juga berakhlak mulia. Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah perlu dirinci sampai pada teknis yang aplikatif.
Di era suasana keberagamaan global yang cenderung bebas maka militansi dan identitas kader perlu diperkuat. Menurut Amin Abdullah, kader Muhammadiyah harus memperkuat ar-ru’yah al-ilahiah (nalar teologis), artinya bagaimana keimanan itu hadir dan menjiwai semua perbuatan.
Kader juga harus memiliki tradisi berpikir dalam semua keadaan, ar-ru’yah al-falsafiah (nalar filosofis) sehingga melahirkan kader-kader yang cerdas dalam membaca tantangan peradaban dan mengajukan solusi strategis.
Tidak kalah penting adalah membumikan al-qiyam al-asasiah (nalar etis), sebagai penyangga peradaban. Peradaban akan tegak jika nilai-nilai etis dijunjung tinggi dan akan runtuh jika nalar etis hilang dari komunitas.
Tiga nalar islam berkemajuan inilah yang akan melahirkan ar-ru’yah al-hadharah (visi peradaban) yang selalu dinamis, dialektis, dan tidak statis. Sehingga kader Muhammadiyah tidak terombang-ambing oleh dinamika zaman. Tidak terjebah pada fanatisme sempit, masuk pada paham takfiri dan radikalisme, apalagi masih bingung dengan ideologi yang dimiliki.
Baca sambungan di halaman 4: Jangan Jadi Daur Hidup