Soekiman Wirjosandjojo, Jejak Panjang Pembela Agama dan Negara; Oleh M. Anwar Djaelani, penulis buku Ulama Kritis Berjejak Manis dan delapan judul lainnya
PWMU.CO – Tak mudah membuat ringkasan kisah hidup dan perjuangan Soekiman Wirjosandjojo. Nyaris setiap langkahnya, mulai awal 1920-an sampai wafat pada usia 76 tahun, bernilai strategis. Semuanya penting, sejak dia sebagai aktivis mahasiswa sampai menjadi Perdana Menteri. Juga, sebagai tokoh nasional.
Soekiman lahir di Kampung Beton Surakarta pada 19 Juli 1898. Ayah Soekiman seorang pengusaha sukses, dermawan, dan pergaulannya luas termasuk dengan tokoh agama dan pergerakan. Ibunya seorang pendakwah. Sejak kanak-kanak, Soekiman tumbuh-kembang di keluarga agamis.
Setelah lulus dari Europeesche Lagere School (ELS), sekolah dasar zaman Belanda, Soekiman melanjutkan ke STOVIA di Jakarta. Dari situ, dia raih predikat Dokter Pribumi. Saat di STOVIA dia tidak hanya berkuliah, tapi juga aktif di organisasi yaitu Jong Java (h.29-30).
Juli 1923 Soekiman menuju Belanda. Di sana, kecuali berhasil menyelesaikan studinya, Soekiman punya jejak kepejuangan yang heroik. Dengan kesadaran seorang patriot, Soekiman turut berjuang di lapangan politik dengan aktif di Indische Vereeniging atau Perhimpunan Hindia (h.35).
Perkembangan berjalan cepat. Pada 1925 di bawah pimpinan Soekiman Wirjosandjojo, nama organisasi diubah menjadi Idonesische Vereeniging atau Perhimpunan Indonesia (h.37).
Di bawah kepemimpinan Soekiman, Perhimpunan Indonesia mempertegas keterangan asasnya. Kolonialisme dikupas lebih lanjut secara lebih tajam. Penjajahan Belanda atas Indonesia ditelanjangi (h.38).
Aktif Menulis
Pada 1924 Perhimpunan Indonesia menerbitkan buku peringatan 15 tahun organisasi mahasiswa pribumi itu. Panitia penerbitan buku, dipimpin Soekiman. Hasilnya, terbit buku peringatan berjudul “Gedenkboek Indonesische Vereeniging 1908-1923” (Buku Peringatan Perhimpunan Indonesia 1908-1923). Isinya, 13 artikel yang ditulis oleh beberapa orang antara lain Mohammad Hatta, Ahmad Subardjo, dan Soekiman.
Atas buku itu, menurut Hatta, kehadirannya dikritik keras oleh pers Belanda. Ada yang mengatakan, bahwa mahasiswa-mahasiswa Bumiputera sudah dihinggapi oleh semangat revolusioner yang susah mengikisnya kembali (h.41). Memang, karangan-karangan di buku itu tajam mengupas sekaligus mengecam politik penjajahan.
Hal yang menarik, para penulis di buku itu tidak mencantumkan namanya kecuali satu yang mencantumkan nama samaran yaitu “Sakri Soenarto” (belakangan diketahui, itu adalah Soekiman). Apa isi tulisan Soekiman Wirjosandjojo?
Dia memulai tulisannya dengan membandingkan sejarah pergerakan kemerdekaan di negara-negara jajahan dengan sejarah rakyat Indonesia yang banyak persamaannya, terutama sikap pemudanya. Setelah menyampaikan uraian yang cukup, Soekiman menutup tulisannya dengan sebuah seruan. Bahwa, kata dia, perlu sebuah pendirian politik untuk tidak mengemis dan tidak ikut ambil bagian dalam karya hukum di badan-badan perwakilan rakyat yang semu. Dia yakin, di dalam diri sendiri terletak kemenangan. “Adalah amat indah apabila Indonesische Vereeneging bergabung dengan arus itu” (h.46).
Baca sambungan di halaman 2: Di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta