Di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta
Pada 1927 Soekiman lulus dari Fakultas Kedokteran Universitas Amsterdam Belanda. Dia kembali di Indonesia dan diminta membantu Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta. Di sana dia menjadi direktur dari RS yang baru berdiri (h.53).
Dalam melaksanakan tugasnya, Soekiman sangat gesit termasuk bersedia mendatangi kediaman pasien bahkan sampai di luar kota Yogyakarta. Soekiman-pun dikenal sebagai dokter yang ramah dan pengobatannya mujarab (h.55).
Meski berpraktik sebagai dokter, perhatian utama Soekiman tetap kepada pergerakan nasional untuk merebut kemerdekaan. Sejak tiba di Indonesia, pada 1927, dia bergabung dengan Partai Sarekat Islam (PSI).
Dengan alasan aktif di pergerakan nasional itulah, pada 1930 Soekiman mengundurkan diri dari RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta. Namun, Soekiman tetap memberikan perhatian terhadap pengembangan RS itu. Tidak hanya dengan pikiran, Soekiman juga membantu dengan harta. Sikap dermawannya, mirip dengan sang ayah (h.56).
Pembela Islam
Di tengah konsolidasi kaum pergerakan kemerdekaan melawan penjajahan Belanda, surat kabar Soeara Oemoem (baca: Suara Umum) yang dipimpin dr Soetomo “menyerang” umat Islam yang berhaji ke Mekkah.
Lewat tulisan yang—bisa dibilang sambung-menyambung di Juni-Juli 1930—Soeara Oemoem menyoal manfaat perjalanan ibadah berhaji. Koran itu memperbandingkannya dengan pembuangan para pemimpin nasionalis ke Boven Digul, Papua. Mereka yang berhaji itu, “Menyingkirkan modal dari sini guna keuntungan lain,” demikian di antara kritik tak berdasar Soeara Oemoem (h.58-59).
Atas serangan itu, tentu berbagai komponen masyarakat Islam tak diam. Banyak tanggapan yang disampaikan oleh perorangan, media, dan organisasi. Soekiman termasuk yang tegas merespons, membela Islam (h.58-62).
Lewat majalah Pembela Islam, Soekiman menulis cukup panjang. Berikut ini, sekadar petikannya: “Berapa banyak haji-haji yang telah pergi ke Mekkah, juga sekarang ada di Digul?” Lalu Soekiman memberi contoh, yaitu Haji Misbach—seorang pejuang kemeredekaan—yang bahkan sampai meninggal di Manokwari (juga di Papua sebagaimana Boven Digul). Berkata demikian, Soekiman memberikan penegasan bahwa mereka yang islami pasti seorang nasionalis yang patriotis.
MIAI di Medan Juang Bangsa
Pada 21 September 1937 berdiri Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI). Di Anggaran Dasar-nya, ada lima tujuan, yang nomor satu adalah: Menggabungkan segala perhimpunan-perhimpunan umat Islam Indonesia untuk bekerja bersama-sama.
Sebelumnya, sebagai hasil Konferensi MIAI 14-15 September 1940, telah dibentuk kepemimpinan yang disebut Dewan Pimpinan MIAI. Terpilih sebagai ketua adalah KH Wahid Hasyim. Adapun Soekiman terpilih sebagai salah seorang anggota Dewan Pimpinan MIAI itu (h.103).
Menjelaskan posisi MIAI, pada 5 September 1940 Soekiman Wirjosandjojo menulis panjang di Majalah Islam Bergerak. Intinya, Soekiman bersyukur, bahwa komponen Islam yang sebelumya terpisah dan terpecah dalam organisasi sendiri-sendiri, kini telah ada perbaikan. “MIAI,” tulis Soekiman, “Nyatalah berarti correctie, perbaikan keadaan, karena pertikaian, percideraan, di dalam kalangan umat Islam. Sejak lahirnya MIAI, sekalipun belum seratus prosen, buat sebagian telah lenyap” (h.105-106).
Pada pertengahan 1941, pers nasional dikejutkan Siaran Pers Dewan Pimpinan MIAI. Isinya, tuntutan Indonesia Berparlemen. Lalu, memanfaatkan kunjungan dua menteri Belanda, MIAI mengajukan permohonan audiensi untuk menyampaikan hajat umat Islam terkait perubahan tata negara. Sikap itu mendatangkan kritik keras dari pers nasional dan PSII. Antara lain, sikap MIAI dianggap memecah-belah.
Atas kritik itu, Soekiman menjawab lewat Islam Bergerak, 5 Juni 1941. Kata dia, pertama-tama harus diakui lebih dulu bahwa tiap golongan, apalagi yang terbesar seperti umat Islam, mempunyai hak untuk mengemukakan dan menegaskan pendiriannya (h.108-109).
Soekiman terus bergerak, termasuk tak lelah menjelaskan posisi MIAI di Medan Juang Bangsa. Di Islam bergerak 5 Juli 1941, Soekiman menulis. Bahwa, kata dia, jika di masa lalu umat Islam seolah-olah menjauhkan diri dari peristiwa-peristiwa nyata, maka MIAI melalui Konferensi di Solo telah terbuka mata dan fikirannya dengan menerjunkan diri di medan perjuangan bangsa Indonesia untuk kemuliaan umat, dengan tidak lagi memilih-milih soal politik atau bukan politik (h.111).
Pada 1943, MIAI diubah menjadi Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi). Pada perkembangannya, dengan dalih menguatkan pertahanan di garis belakang, Masyumi usulkan ke Pemerintahan Jepang untuk membentuk pasukan semi militer, Hizbullah. Usul itu diterima. Maka, pada 14 Oktober 1944 Masyumi membentuk Barisan Hizbullah.
Soekiman menyambut hal ini sepenuh syukur. Kata dia, tidak ada kewajiban yang lebih utama selain dari membela agama, Tanah Air, dan bangsa. Dia-pun menyeru, agar para pemuda Islam memenuhi panggilan zaman dan perintah Allah dengan memperkuat Barisan Hizbullah (h.140).
Baca sambungan di halaman 3: Partai Islam Indonesia