Partai Islam Indonesia
Di sisi lain, pada 4 Desember 1938 di Surakarta diumumkan berdirinya Partai Islam Indonesia (PII). Terpilih sebagai ketua, Raden Wiwoho Poerbohadidjojo. Adapun di antara wakil ketuanya, Soekiman Wirjosandjojo.
Tokoh-tokoh Muhammadiyah banyak berkiprah di partai ini. Juga, tokoh-tokoh Persatuan Islam (Persis). Di daerah Priangan, misalnya, untuk cabang Bandung partai ini diketuai oleh Mohammad Nasir, tokoh Persatuan Islam (h.79-81).
Di kongres pertama PII di Yogyakarta pada 1940, salah satu keputusannya adalah menuntut penghapusan Exorbitante Rechten. Peraturan yang disebut terakhir itu memungkinkan penguasa menggebuk (seperti mengkriminalisasi dan membuang) siapa saja yang tak disukai pemerintah tanpa proses pengadilan.
Banyak pemimpin pergerakan kemerdekaan yang telah merasakan pahitnya peraturan tersebut. Mereka antara lain adalah Ki Hadjar Dewantara, Tjipto Mangunkusumo, Soekarno, dan Hatta, (h.117).
Lewat media Islam Bergerak, Soekiman Wirjosandjojo menulis panjang tentang alasan menuntut pengahapusan Exorbitante Rechten. Kita, kata Soekiman, harus berani melawan perbuatan sewenang-wenang yang dilakukan pemerintahan. Peraturan di negeri kita, lanjut Soekiman, haruslah sedemikian rupa bentuknya sehingga sunyi dari segala aturan dan perbuatan yang dikatatoris (h.118).
Memperingati genap dua tahun usia PII, Soekiman menulis dengan judul “Partai Islam Indonesia Hajat kepada Zaman Baru”. Setelah melakukan otokritik terkait pengaruh Islam dalam pergerakan politik rakyat, Soekiman lalu menjelaskan posisi PII yang bentuk organisasi dan susunan pimpinannya memenuhi keperluan zaman. Kemudian, seperti tercantum dalam Anggaran Dasar pasal 2, PII bertujuan “Mempersiapkan rakyat Indonesia untuk mencapai sempurnanya kedudukan agama Islam dan derajat umatnya” (h.121-122).
Sayang, PII tak berumur panjang, karena perkembangan keadaan di luar. Tapi, sebagai Ketua Umum, Soekiman terus menulis, merumuskan pikiran dan sikap PII, dan mempublikasikannya terutama lewat Majalah Islam Bergerak yang terbit di Yogyakarta.
Di Persiapan Kemerdekaan
Waktu terus berjalan. Pada 29 April 1945 ada pembentukan “Badan untuk Menyelidiki Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan”. Ketuanya, K.R.T. Radjiman Wedyodiningrat. Sementara, Soekiman termasuk di antara 60 anggotanya (h.159).
Di Badan Penyelidik (di bagian Perancang Hukum Dasar), beberapa kali Soekiman berpidato. Di antaranya, berisi hal berikut ini. Kata Soekiman, “Kekuasaan yang terpokok ada pada rakyat, ialah kedaulatan rakyat” (h.168).
Di pidato yang lain, Soekiman bicara tentang bagaimana pelaksanaan kedaulatan rakyat. Bahwa, menilik tingkat kecerdasan rakyat, Soekiman berpendapat untuk sementara waktu kedaulatan rakyat harus diwujudkan, dijelmakan dalam sebuah badan saja yang dinamakan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang sedikitnya sekali dalam lima tahun bersidang untuk: a).Memilih Presiden dan Wakil Presiden. B).Menetapkan Undang-Undang Dasar dan Garis-garis Besar Haluan Negara (h.174).
Tak sampai tiga bulan setelah proklamasi kemerdekaan, yaitu pada 3 November 1945, pemerintah melalui Maklumat yang ditandatangani Mohammad Hatta, menganjurkan rakyat membentuk partai politik (h.201).
Apa kata Soekiman? “Pengumuman dan anjuran pemerintah mendirikan partai-partai akan berakibat terpecah-belahmya rakyat, kita sesalkan“ (h.201). Hal ini, kata Soekiman, karena waktu itu genting dan menghendaki persatuan rakyat lahir batin seteguh-teguhnya (h.197).
Meski begitu, kata Prawoto Mangkusasmito, realita politik menghendaki perjuangan umat Islam Indonesia hanya dapat dilakukan dengan sempurna lewat suatu badan perjuangan politik (h.202). Maka, pada 7-8 November 1945 di Gedung Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta diselenggarakan Kongres Umat Islam Indonesia (KUII). Saat-saat itu, “Umat Islam turut menulis sejarah,” kata Mohammad Natsir (h.202).
Kongres memutuskan membentuk partai politik Islam Indonesia yang diberi nama Masyumi. Tepatnya, Partai Islam Masyumi. Masyumi di sini sebagai nama, bukan singkatan dari Majelis Syuro Muslimin Indonesia seperti Masyumi di zaman Jepang (h.203-204) .
Di Partai Islam Masyumi, KH Hasyim Asy’ari terpilih sebagai Ketua Umum Majelis Syuro. Adapun Soekiman terpilih sebagai Ketua Pengurus Besar (h.205).
Seperti apa posisi Masyumi kala itu? Kata Soekiman, “Di waktu itu kedudukan umat Islam sedemikan kuatnya, sehingga pemerintah kita dalam banyak persoalan penting berkonsultasi dengan pimpinan Masyumi (h.209).
Perkembangan politik “di luar” berlangsung dinamis. Kabinet presidensil tak berumur panjang yaitu hanya berlangsung 2 September 1945 sampai 15 November 1945. Selanjutnya, karena perkembangan politik, berubah ke parlementer.
Di dalam hal ini, Masyumi ada pada posisi pendukung gigih kabinet presidensil. Bahkan, terkait ini, Soekarno telah meminta Soekiman untuk mempengaruhi Sjahrir agar tidak mengubah sistim kabinet itu. Tapi, usaha Soekiman tak berhasil (h.212).
Banyak peristiwa politik setelah itu. Kita cermati perkembangan setelah Perdana Menteri Amir Syarifuddin mengundurkan diri. Masyumi lalu turut mengisi Kabinet Hatta. Di antara tokoh Masyumi, masuk Soekiman sebagai Menteri Dalam Negeri. Sejak proklamasi kemerdekaan, inilah kali pertama Soekiman-Ketua Umum partai besar di masa itu-masuk kabinet (h.243-244).
Apa tugas mendesak Kabinet Hatta? Tugasnya, kata Soekiman, menghadapi meletusnya Pemberontakan PKI di Madiun 18 September 1948 (h.253).
Hal lain, jika terhadap Persetujuan Linggarjati dan Persetujuan Renville Masyumi menolak, tapi tidak dengan Konferensi Meja Bundar (KMB). Soekiman bahkan menjadi anggota delegasi Indonesia (h.262).
Baca sambungan di halaman 4: Kabinet Soekiman