PWMU.CO – Muhammadiyah Bukan Oposisi, tetapi Kritis pada Pemerintah. Pusat Studi Muhammadiyah Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (PSM-UMY) menggelar Expert Meeting bertema ‘Kepemimpinan Muhammadiyah 2022-2027: Refleksi dan Proyeksi untuk Transformasi di Tengah Tantangan Nasional, Regional, dan Global’. Pertemuan berlangsung di Ruang Sidang Pascasarjana Lantai 1 Gedung Kasman Singodimedjo Kampus Terpadu UMY, Ahad (13/11/2022).
Hadir tiga pembicara yakni Prof Dr M Din Syamsuddin, Prof Abdul Munir Mulkhan, dan Dr Zuly Qodir. Sebagai penanggap ada Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umroh Kemenag RI Prof Hilman Latief PhD, Ketua Komisi Yudisial Prof Mufti Fajar, Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PPM Prof Syamsul Anwar, dan Sekretaris Majelis Dikti PPM Muhammad Sayuti PhD.
Selain itu, hadir pula sebagai penanggap Ketua Umum PPNA Diyah Puspitarini, Wakil Rektor Universitas Ahmad Dahlan Dr Norma Sari, Wakil Ketua PWM DIY Arif Jamali Muis MPd, Anggota DPR RI dari PAN Ir Ibnu Mahmud Bilaluddin, Azaki Khoirudin SPdI MPd, dan sejumlah intelektual muda Muhammadiyah lainnya dengan moderator Ketua Pusat Studi Muhammadiyah UMY Bachtiar Dwi Kurniawan.
Rektor UMY Dr Gunawan Budiyanto menyambut baik ide darah segar yang mulanya dilontarkan Din Syamsuddin. “Darah segar oke, tetapi yang jauh lebih penting adalah pikiran segar,” tuturnya.
Menurut Gunawan gagasan segar penting untuk merekonstruksi dan mereformulasi Muhammadiyah sebagai gerakan yang elastis-adaptif sepanjang zaman. Di samping itu, bersandar pada Pak AR, menurutnya perlu ada peremajaan dan pembatasan. “Mengabdi di Muhammadiyah tidak harus menjadi ketua 13 atau ketua tambahan,” ujarnya.
Revitalisasi Kesekjenan
Ptof Abdul Munir Mulkhan yang pernah menjadi Sekretaris PP Muhammadiyah menyatakan setuju terkait pembatasan, tapi menurutnya harus ada jeda setelah menjabat dua kali periode. Artinya, setelah jeda, boleh mencalonkan lagi menjadi pimpinan.
Bagi Mulkhan rekrutmen PP pleno 13 dan tambahan 4-6 itu perlu ditinjau ulang. “Perlu diperhitungkan berapa jumlah anggota PP Muhammadiyah,” tuturnya.
Mulkhan juga mengklaim mustahil perempuan terpilih karena komposisi pemilih tidak berimbang antara laki-laki dan perempuan. Dia pun menekankan pengembangan struktur yang dinamis dan fungsional di jajaran PP Muhammadiyah dengan memasukkan kader-kader muda, termasuk dari unsur perempuan.
Selain soal kepemimpinan, Mulkhan juga menanggapi narasi ‘keluar-masuk istana’. “Bolehlah sekali-kali ke istana, Muhammadiyah itu bukan oposisi pemerintah, tetapi kritis,” ujarnya.
Selanjutnya, dia menilai Muhammadiyah terlalu inward looking. “Ribut di dalam, sepi di luar, sehingga persoalan di dalam sulit diakses media. Dampaknya ke politik. Rindu politik tetapi benci,” imbuhnya.
Adapun Prof Hilman Latief menekankan revitalisasi kesekjenan. “Sekretariat jenderal harus menjadi motor penggerak roda organisasi, dimulai dari pimpinan pusat kemudian menggerakkan lingkaran-lingkaran bawah,” terang cendekiawan yang pernah menjadi Wakil Rektor UMY itu. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni/SN