Franchise Muhammadiyah, Dhimam Abror Djuraid
PWMU.CO – Ada dua peristiwa yang terjadi hampir bersamaan pekan ini. Muktamar Ke-48 Muhammadiyah dimulai di Solo, Jumat (18/11) dan proses pemilihan ketua sudah dimulai. Suasananya tenang dan teratur. Pada bagian lain, di Tulungagung Jawa Timur. Musyawarah Pimpinan Nasional (Muspimnas) Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) di UIN Tulungagung Kamis (17/11) diwarnai kericuhan dan aksi saling lempar kursi.
Dua peristiwa itu tidak ada hubungannya. Tapi, keduanya menjadi pengingat perbedaan tradisi antara dua organisasi besar di Indonesia, NU (Nahdlatul Ulama) dan Muhammadiyah. PMII adalah organisasi mahasiswa yang menjadi onderbauw NU. Apa yang terjadi di Tulungagung tidak mencerminkan keseluruhan ‘’tradisi NU’’. Insiden semacam itu bisa terjadi dimana saja, oleh siapa saja, dan kapan saja.
Tetapi dalam beberapa pelaksanaan muktamar dua organisasi besar itu dinamikanya memang berbeda. Hal itu membuat publik kepo untuk mengetahui apa perbedaan NU dan Muhammadiyah.
Wakil Presiden Ke-10 dan Ke-12 RI Muhammad Jusuf Kalla (JK) menganalogikan NU mirip waralaba atau franchise yang sistemmya dimiliki banyak orang. Pesantrennya dimiliki orang-orang NU, tetapi bukan milik NU.
Walaupun kepemilikan pesantren dimiliki orang-orang NU, namun sistemnya sudah terkontrol dan teruji. Sementara Muhammadiyah mirip holding company atau perusahaan induk yang menjadi payung bagi operasionalisasi semua aktivitas AUM (amal usaha Muhammadiyah) di seluruh Indonesia.
Pengelolaan holding company, seperti sekolah, rumah sakit, universitas, panti asuhan, dan aset-aset lain dalam bentuk property, dilakukan secara profesional dengan prinsip manajemen modern.
Dua organisasi itu sama-sama dilahirkan oleh tokoh-tokoh yang mempunyai latar belakang saudagar. NU lahir di Surabaya oleh K.H Hasyim Asy’ari pada 1926, dan Muhammadiyah lahir terlebih dahulu di Yogyakarta oleh K.H Ahmad Dahlan pada 1912. Dua tokoh ini sama-sama mencecap ilmu keagamaan dari Mekah dari guru-guru yang sama.
Perbedaan-perbedaan fiqhiyyah atau furu’iyah di masa lalu menjadi sumber perbedaan yang serius dan distinktif. NU membaca usholli sebelum shalat. Muhammadiyah tidak. NU membaca qunut ketika shalat subuh, Muhammadiyah tidak. Dalam pelaksaan jumatan di masjid NU ada tongkat dan ada bilal yang membaca ‘’anshitu’’, di Muhammadiyah tidak ada. Perbedaan-perbedaan itu trivial, alias dangkal, dan seharusnya neglectable, bisa diabaikan.
Sekarang sudah banyak masjid yang menjalankan tatacara ibadah hybrid, campuran NU dan Muhammadiyah. Perbedaan furu’iyah sudah semakin tipis terutama di kalangan masyarakat perkotaan. Di pedesaan perbedaan masih ada, tetapi sudah tidak menjadi sumber pesengetaan yang sengit seperti di masa lalu.
Sebagai gerakan politik Muhammadiyah dan NU pernah sama-sama mendirikan Majlis Islam A’la Indonesia (MIAI) pada 1937 dan berubah Masyumi (Majelis Syura Muslimin Indonesia) pada 1943.
Jepang ingin menjadikan Indonesia sebagai bagian dari Gerakan Asia Raya. Untuk mengambil hati rakyat Indonesia Jepang memperbolehkan umat Islam mendirikan organisasi. Awalnya Jepang bertindak sangat keras terhadap praktik Islam yang menolak melakukan ‘’seikerei’’ penghormatan dengan membungkuk ke arah matahari sekaligus sebagai penghormatan terhadap Kaisar Hirohito di Jepang yang diyakini sebagai titisan dewa matahari.
Tapi kemudian Jepang menyadari bahwa hal itu akan memunculkan permusuhan dan kebencian yang besar dari kalangan umat Islam. Seikeri pun ditiadakan. Bahkan, Jepang kemudian memberi hati kepada kaum muslim untuk mendapatkan dukungan. Jepang mengizinkan organisasi-organisasi Islam untuk muncul.
Maka organisasi dagang seperti Sarikat Islam dan organisasi keagamaan seperti NU, Muhammadiyah, Persis, dan beberapa organisasi lain kemudian diberi kebebasan.
MIAI yang sangat menentang kolonialisme kemudian dibubarkan penjajah Jepang pada 24 Oktober 1943. Oraganisasi ini kemudian diganti dengan Masyumi dengan harapan lembaga ini dapat mudah dikontrol oleh pemerintah kolonial.
Sebagaimana MIAI, ormas besar Islam yang menjadi pendukung utama Masyumi adalah Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama. Setelah kemerdekaan 1945 Wakil Presiden Mohammad Hatta mengeluarkan maklumat politik untuk memberi hak kepada masyarakat untuk mendirikan partai politik, maka berdirilah Partai Masyumi pada 1945. Partai ini menjadi semacam partai konfederasi yang menjadi payung semua kekuatan sosial-politik Islam. NU dan Muhammadiyah menjadi tulang punggung partai itu.
Tetapi kemudian dua kekuatan besar itu berpisah dan NU keluar dari Partai Masyumi dan mendirikan sendiri Partai NU. Pada pemilu 1955 PNI (Partai Nasional Indonesia) menjadi juara, lalu Masyumi dan NU berada di runner up dan juara ketiga. Seandainya Masyumi tidak pecah maka akan menjadi penjadi pemenang pemilu.
Kepentingan dan aspirasi politik yang berbeda akhirnya memisahkan dua kekuatan besar itu. Keduanya terpisah dan tidak bisa benar-benar dipertemukan lagi. Di masa kekuasaan Bung Karno politik Islam dianggap sebagai lawan yang berbahaya. Bung Karno menciptakan nasakom (nasional, agama, dan komunis) yang didukung NU. Masyumi menjadi oposisi Bung Karno dan akhirnya dibubarkan pada 1960.
Di masa kekuasaan Soeharto kekuatan Islam politik ditekan habis. Partai-partai Islam dipaksa untuk melakukan merger menjadi PPP (Partai Persatuan Pembangunan). Di bawah tekanan politik yang keras dari rezim Orde Baru Soeharto, kekuatan Islam tiarap dari aktivitas politik dan lebih konsen pada gerakan sosial-keagamaan. NU menyatakan kembali ke khittah pada muktamar di Situbondo 1984 dan melepaskan diri dari politik. Muhammadiyah berkonsentrasi pada aktivitas dakwah dan pendidikan.
Pada masa reformasi NU melahirkan PKB (Partai Kebangkitan Bangsa) dan Muhammadiyah melahirkan PAN (Partai Amanat Nasional). Dalam perjalanannya kedua partai itu bersaing, tapi juga berkoalisi, seperti yang sekarang terjadi di era Jokowi.
Menjelang suksesi 2024 yang krusial, NU dan Muhammadiyah menjaga jarak dari partai politik yang dibidaninya. Hubungan Muhammadiyah dengan PAN di bawah Zulkifli Hasan seperti hubungan anak pacaran backstreet, main belakang. Sedangkan hubungan NU di bawah K.H Yahya Staquf dengan PKB di bawah Muhaimin Iskandar seperti pacaran segi tiga memperebutkan gadis cantik yaitu konstituen NU.
Di bawah kepemimpinan generasi baru, NU sekarang menampilkan wajah baru yang lebih menginternasional. NU membuat forum R20 bersamaan dengan pelaksanaan KTT G20 di Bali. Forum ini dipakai NU sebagai sarana untuk goes international dengan mengundang tokoh-tokoh lintas-agama internasional.
Di bawah Yahya Staquf NU tidak mau dikooptasi oleh PKB sebagai sayap politiknya. NU ingin memainkan sendiri perannya sebagai organisasi Islam yang punya pengaruh politik besar. NU bertindak independen, tapi tetap dekat dengan rezim Jokowi.
Muhammadiyah harus menjawab manuver NU ini. Muhammadiyah pun melakukan gerakan internasional dengan membangun pusat pendidikan di Australia dan yang terbaru membeli gereja di Spanyol untuk diubah menjadi masjid.
Perbedaan ubudiyah NU vs Muhammadiyah sudah selesai. Usholli, qunut, dan tahlilan tidak lagi menjadi ladang persaingan yang sengit. Tapi, persaingan ‘’sibling rivalry’’ (memakai istilah Sekum Muhammadiyah Abdul Mu’ti) akan tetap terjadi. Persaingan diam-diam yang sengit tapi tetap disembunyikan.
NU dan Muhammadiyah menempuh jalannya sendiri-sendiri. Sebagai organisasi holding company, Muhammadiyah akan semakin besar, profesional, dan kokoh melalui berbagai aktivitas amal usahanya. Muhammadiyah semakin profesional dan menjadi semakin eksklusif. Jumlah anggota tidak banyak tapi berkualitas.
NU adalah franchise yang makin melebarkan waralabanya. Siapa saja boleh masuk. Orang-orang awam merasa nyaman mengaku sebagai NU. Anggotanya makin banyak, meskipun secara kualitas kalah dari Muhammadiyah.
Dua-duanya sudah punya takdir jalannya masing-masing. NU tidak bisa menjadi holding company karena tidak punya sumber daya manusia. Muhammadiyah tidak akan membuka waralaba, karena sudah punya standar operasi sendiri yan,g eksklusif dan tidak gampang dimasuki orang lain.
Dua organisasi besar itu tetap akan terlibat perang dingin persaingan berebut pengaruh politik dengan caranya masing-masing yang khas. NU lebih mesra dengan kekuasaan. Muhammadiyah menjaga jarak aman dari kekuasaan. ()