Bukan hanya kaum Asy’ariyah dan Maturudiyah saja yang bersemangat mengaku ASWAJA, tetapi kaum salafi pun mengaku hal yang sama. Karena itu, kata KH Tolchan Hasan, buku itu dengan sadar ditulis untuk memaparkan ASWAJA versi NU dan bukan versi yang lain.
Tampaknya beliau menyadari banyak problem dalam mendefinisikan ASWAJA. Memang, selain soal sanad juga soal isi (matan). Muncul banyak pemahaman tentang golongan yang selamat (al-firqah al-najiyah) itu.
(Baca juga: Syafiq: Ini Sebabnya Kenapa Umat Islam Indonesia Tak Semuanya Muhammadiyah dan Syafiq: Ada yang Ingin Memutarbalikkan Fakta terhadap Muhammadiyah)
Saya tiba-tiba ingat teman saya, almarhum KH Abdul Fattah, yang pernah sama-sama belajar di Paciran dan Pesantren Persis Bangil; pernah dua kali menjabat ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Lamongan. Saya banyak belajar dari teman saya itu; tidak hanya kepemimpinanya yang tegas, arif dan tulus, tetapi juga pemikirannya yang menarik.
Salah satu pikiran almarhum KH Abdul Fattah adalah soal merek itu. Dia mengusulkan agar Muhammadiyah tidak gegabah mengambil merek Ahlussunnah wal Jama’ah. Lebih baik, katanya, mengambil merek Ahlul Qur’an was Sunnah (pengikut al-Qur’an dan Sunnah Nabi).
Ini pikiran yang cerdas karena sesuai dengan tema gerakan kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah (al-ruju’ ila al-Qur’an wa al-Sunnah). Kita tidak terbebani dengan stigma pertikaian antarmadzhab yang berlangsung sejak dahulu kala. Kita ciptakan idiom baru yang relatif ebih aman sekalipun tentu masih akan ada perdebatan.
Untuk meyakinkan orang akan kebenaran dirinya, kita tidak perlu mencari-cari pembenaran dengan menciptakan hadits seperti halnya Ahlussunnah. Menciptakan hadits untuk pembenaran suatu kelompok akan dihadapi oleh lawannya dengan hadits lain.
(Baca juga: Syafiq A Mughni: Nonmuslim pun Berterima Kasih pada Muhammadiyah)
Memang, konon Nabi Muhammad saw pernah bersabda, “umatku akan terpecah menjadi 73 golongan; semuanya masuk surga kecuali satu.” Mana yang benar-benar hadits, wallahu a’lam.
Yang jelas, merek apapun terserah, yang penting isinya. Merek penting, tetapi kita jangan tertipu olehnya. Daripada berebut merek, lebih baik bikin merek sendiri. (*)