PWMU.CO – Risalah Islam Berkemajuan menjadi salah satu rumusan yang dihasilkan oleh Mukatamar Ke-48 Muhammadiyah yang diselenggarakan di Universitas Muhammadiyah Surakarta, Sukoharjo, Jawa Tengah, Sabtu-Ahad (19-20/11/2022).
Berikut naskah lengkap Risalah Islam Berkemajuan: Memajukan Indonesia Mencerahkan Semesta.
BAB I
Pendahuluan
Muhammadiyah adalah organisasi dan gerakan yang berdasarkan Islam. Sebagai agama yang diturunkan oleh Allah SWT melalui Nabi Muhammad SAW untuk kemaslahatan hamba-Nya, Islam telah diterjemahkan dalam bentuk pemahaman dan pengamalan yang berkembang terus-menerus sepanjang sejarah. Dalam proses sejarah yang panjang itu sering kali Islam yang ada di tangan umatnya telah kehilangan spirit kemajuan. Sejarah telah membuktikan bahwa pada kurun tertentu, umat Islam mengalami kejumudan dan bahkan kemunduran karena Islam yang dipahami dan diamalkan bukanlah agama yang membawa kemajuan. Muhammadiyah berkeyakinan bahwa Islam yang sesungguhnya adalah agama yang mendorong kemajuan dan karena itu ia harus menjadi kekuatan aktual yang menggerakan pemeluknya untuk memberi kesaksian atas keunggulan agama Islam.
Pemahaman dan pengamalan Islam yang sebenarnya tidaklah berimplikasi hanya pada Muhammadiyah dalam memajukan organisasi dan anggota-anggotanya, melainkan juga pada umat Islam, masyarakat Indonesia dan bahkan seluruh umat manusia. Keunggulan yang ditunjukkan oleh umat Islam selanjutnya harus bermakna bagi kemajuan bangsa dan seluruh umat manusia sebagai perwujudan risalah Nabi Muhammad SAW yang menjadi rahmat bagi seluruh alam. Islam Berkemajuan merupakan cara pandang bahwa Islam adalah agama universal yang mengajarkan kehidupan yang maju dan menuntut umatnya untuk mewujudkan kemajuan itu dalam semua aspek kehidupan pada tataran pribadi, masyarakat, umat, bangsa dan kemanusiaan universal.
Islam Berkemajuan telah menjadi ruh Muhammadiyah sejak periode awal. Kata-kata yang terbentuk dari “maju,” seperti “memajukan,” telah termaktub dalam Statuten Muhammadiyah (1912), yang menyatakan bahwa tujuan Muhammadiyah adalah “Memajukan hal igama kepada anggota-anggotanya.” Rumusan tersebut melengkapi tujuan pertama, yakni “menyebarkan pengajaran igama Kangjeng Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam kepada penduduk bumiputera di dalam residensi Yogyakarta.” Dua tahun kemudian (1914) rumusan “memajukan”, di samping tetap bertahan pada Statuten Muhammadiyah, juga ditambah dengan kata-kata “menggembirakan,” yang lengkapnya sebagai berikut, “1. Memajukan dan menggembirakan pengajaran dan pelajaran Igama di Hindia Nederland, dan 2. Memajukan dan menggembirakan kehidupan (cara hidup) sepanjang kemauan agama Islam kepada lid-lidnya,” yakni anggota- anggota Muhammadiyah.
Kesungguhan Muhammadiyah untuk mengajak kepada kemajuan juga diperlihatkan oleh Ahmad Dahlan melalui pesan yang disampaikan dalam sebuah pertemuan pengajaran di hadapan murid-murid perempuan dengan menggunakan Bahasa Jawa, “Dadiyo kyai sing kemajuan lan aja kesel-kesel anggonmu nyambutgawe kanggo Muhammadiyah.” Artinya, jadilah kyai yang berkemajuan dan jangan lelah dalam bekerja untuk Muhammadiyah. Pesan Ahmad Dahlan itu menyiratkan bahwa Islam Berkemajuan mengharuskan ikhtiar untuk menyalakan kembali api yang pada saat itu telah redup. Ide kemajuan itu digemakan kembali oleh Kiyai Mas Mansoer dalam pidatonya dalam Kongres Seperempat Abad Muhammadiyah pada tahun 1936 di Jakarta, ketika menyatakan bahwa Muhammadiyah senantiasa memajukan dan mempropagandakan Islam di Indonesia, dan kemajuan agama Islam dan ketinggian derajat pemeluknya menjadi pengharapan Muhammadiyah. Lebih dari itu, Keputusan Muktamar ke-37 (1968) menegaskan bahwa salah satu ciri dari Masyarakat Islam yang menjadi tujuan Muhammadiyah adalah “berkemajuan.” Dengan demikian, menyuburkan Islam Berkemajuan merupakan kesinambungan dari apa yang telah ditegaskan dan dilakukan oleh Persyarikatan Muhammadiyah pada masa lalu dan menjadi spirit perjuangan untuk masa mendatang. Risalah Islam Berkemajuan ini merupakan rumusan yang menguatkan kembali pikiran dan gerakan yang dilahirkan oleh Muhammadiyah sejak periode awal. Isi pokok risalah ini sejalan dengan apa yang sebelumnya telah dirumuskan secara resmi oleh Muhammadiyah, seperti Muqaddimah AD Muhammadiyah (1951) dan penjelasannya; Masalah Lima (1955); Khittah Palembang (1956); Kepribadian Muhammadiyah (1962); Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah (1969); Khittah Ponorogo (1969); Khittah Ujung Pandang (1971); Khittah Surabaya (1978); Manhaj Tarjih dan Metode Penetapan Hukum dalam Tarjih Muhammadiyah (1989); Manhaj Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam (2000); Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah (2000); Khittah Denpasar (2002); Dakwah Kultural Muhammadiyah (2004); Pernyataan Pikiran Muhammadiyah Jelang Satu Abad (2005); Pernyataan Pikiran Muhammadiyah Abad Kedua (2010); Negara Pancasila sebagai Dar al-‘Ahdi wa al-Syahadah (2015); Indonesia Berkemajuan: Rekonstruksi Kehidupan Kebangsaan yang Bermakna (2015); dan Risalah Pencerahan (2019).
BAB II
Konsep Dasar Islam Berkemajuan
Muhammadiyah adalah gerakan dakwah yang membawa misi Islam Berkemajuan, yang sesungguhnya sama dengan Islam itu sendiri.
Apabila dipahami dan diamalkan dengan benar, Islam akan melahirkan umat yang unggul dan peradaban yang maju. Islam berasal dari akar kata yang mengandung makna naik atau maju, sehingga Islam adalah sesungguhnya agama yang mempertinggi derajat dan memajukan kehidupan manusia, serta memerangi keterbelakangan, kemiskinan, kebodohan, dan kemerosotan akhlak.
Islam Berkemajuan meniscayakan tajdid (pembaharuan) karena dalam menjalankan ajaran agama umat Islam harus menjawab dinamika dan tantangan baru yang belum pernah muncul pada masa-masa sebelumnya. Tajdid berfungsi memberikan penyelesaian persoalan dan melahirkan gagasan-gagasan baru yang memajukan kehidupan. Dalam menghadapi tantangan dan dinamika tersebut, aneka sikap telah ditunjukkan oleh umat Islam sepanjang zaman. Sebagian menunjukkan sikap terbuka terhadap perkembangan dan meyakini perlunya penafsiran Islam agar tetap mampu menjawab tantangan zaman tanpa merubah ajaran-ajaran dasar agama. Sesungguhnya, pembaharuan bermakna menemukan kembali hakikat agama, dan bukan ancaman bagi otentisitas ajaran agama. Dengan Islam Berkemajuan, Muhammadiyah berusaha mengurai sikap yang membelenggu pemahaman Islam dalam satu pandangan sempit yang anti-perubahan.
Oleh karena itu, perlu dilakukan usaha dan proses untuk menanamkan kesadaran akan pentingnya memahami Islam sebagai agama yang senantiasa sesuai dalam memberikan kemaslahatan kepada manusia pada zaman yang terus berubah. Dalam setiap zaman selalu ada orang atau kelompok yang menyerukan perbaikan (ishlah) atau pembaharuan (tajdid) dalam kehidupan umat Islam. Muhammadiyah hadir untuk menjalankan misi tersebut. Dalam menjalankan misi itu, Muhammadiyah menempatkan Islam sebagai pijakan, tuntunan dan spirit dalam menapaki perubahan, yang diwujudkan oleh Muhammadiyah dalam bentuk pemikiran, gerakan dan perkhidmatan.
1.Karakteristik Islam Berkemajuan
Dalam menjalankan misi untuk mencapai cita-cita kejayaan Islam yang membawa kemaslahatan umat manusia, Muhammadiyah merumuskan beberapa ciri Islam Berkemajuan (al-Islam al-Taqaddumi). Karena Islam adalah agama yang menjadi kekuatan pendorong bagi kemajuan manusia, Muhammadiyah mengembangkan cara pandang yang berkemajuan atas Islam yang dirumuskan dalam Karakteristik Lima (al-Khasha’ishu al-Khamsu), yakni:
a. Berlandaskan pada Tauhid (al-Mabni ‘ala al- Tauhid). Tauhid adalah inti dari risalah yang dibawaoleh nabi-nabi dan titik sentral kehidupan umat, yang tidak hanya terdapat dalam keyakinan saja, melainkan juga dalam perbuatan nyata. Tauhid sesungguhnya merupakan keyakinan bahwa Allah adalah Tuhan yang Esa, yang menciptakan dan memelihara alam semesta, dan bahwa hanya Allah yang patut disembah. Tauhid yang murni memiliki makna pembebasan manusia dari paham kemusyrikan, percampuran dan kenisbian agama.
Tauhid juga merupakan keyakinan bahwa semua manusia pada hakikatnya adalah satu makhluk yang mulia, dan karena itu harus dimuliakan dan dicerahkan. Tauhid yang murni memiliki makna pembebasan manusia dari belenggu ketidakadilan dan penghisapan antarmanusia. Bertauhid berarti berjuang untuk menyemaikan benih- benih kebenaran dan kebaikan, seperti perdamaian, keadilan, kemaslahatan, dan kesejahteraan. Selain itu, tauhid akan membawa kepada sikap kritis saat melihat ketimpangan, ketidakwajaran dan ketidakadilan dalam masyarakat, sebuah perwujudan dari kemurnian akidah. Tauhid yang murni menghadirkan ketulusan, dan membuang jauh-jauh kesombongan dan penggunaan segala cara untuk mengejar kekuasaan dan kekayaan yang hanya berjangka pendek dalam topeng kesalehan.
b. Bersumber pada al-Qur’an dan al-Sunnah (al-Ruju’ ila al-Qur’an wa al-Sunnah). Al-Qur’an adalah sumber utama untuk memahami dan mengamalkan Islam. Al-Qur’an menjadi sumber keyakinan, pengetahuan, hukum, norma, moral dan inspirasi sepanjang zaman. Sunnah Rasul adalah sumber kedua setelah al-Qur’an, yang menggambarkan diri Nabi Muhammad SAW sebagai teladan yang harus dicontoh. Kehidupan Nabi Muhammad SAW merupakan contoh jelas dari isi al-Qur’an dalam kehidupan nyata. Dalam memahami dua sumber tersebut, diperlukan pemahaman terhadap teks- teks, pemikiran yang maju, dan ilmu pengetahuan yang luas. Semakin tinggi akal dan luas ilmu pengetahuan yang digunakan, akan semakin kaya makna yang dapat diambil dari dua sumber tersebut. Islam yang bersumber pada al- Qur’an dan al-Sunnah merupakan agama yang mengajarkan kebenaran (al-haqq) dan juga kebajikan (al-birr) sehingga setiap persoalan perlu dilihat dari sudut benar atau salah, dan juga dari sisi baik atau buruk.
c. Menghidupkan Ijtihad dan Tajdid (Ihya’ al- Ijtihad wa al-Tajdid). Ijtihad (mengerahkan pikiran) merupakan upaya yang sungguh-sungguh untuk memahami atau memaknai al-Qur’an dan al-Sunnah. Ijtihad dihidupkan melalui pemanfaatan akal dan ilmu pengetahuan yang dilakukan secara terus-menerus agar melahirkan pemahaman yang sesuai dengan tujuan agama dan dengan problem-problem yang dihadapi oleh umat manusia. Ijtihad tidak berhenti pada tataran pemikiran bagaimana memahami agama tetapi juga berlanjut pada bagaimana mewujudkan ajaran agama dalam semua lapangan kehidupan, baik individu, masyarakat, umat, bangsa maupun kemanusiaan universal. Ijtihad merupakan bagian yang sangat penting dalam pelaksanaan tajdid, yang bermakna pembaharuan baik dalam bentuk pemurnian maupun dinamisasi dalam pemahaman dan pengamalan agama. Pemurnian diterapkan pada bidang akidah dan ibadah, sementara dinamisasi (dalam makna peningkatan, pengembangan, modernisasi dan yang semakna dengannya) diterapkan pada bidang akhlak dan muamalah dunyawiyah. Tajdid diperlukan karena pemahaman agama selalu menghadapi tantangan zaman dan situasi masyarakat yang terus berubah. Tajdid adalah upaya dalam mewujudkan cita-cita kemajuan dalam semua segi kehidupan, seperti pemikiran, politik, ekonomi, sosial, pendidikan dan kebudayaan.
d. Mengembangkan Wasathiyah (Tanmiyat al- Wasathiyah). Al-Qur’an menyatakan bahwa umat Islam adalah ummatan wasathan (umat tengahan), yang mengandung makna unggul dan tegak. Islam itu sendiri sesungguhnya adalah agama wasathiyah (tengahan), yang menolak ekstremisme dalam beragama baik dalam bentuk sikap berlebihan (ghuluww) maupun sikap pengabaian (tafrith). Wasathiyah juga bermakna posisi tengah di antara dua kutub, yakni ultra-konservatisme dan ultra- liberalisme dalam beragama. Selaras dengan itu, wasathiyah menuntut sikap seimbang (tawazun) antara kehidupan individu dan masyarakat, lahir dan batin, serta duniawi dan ukhrawi. Wasathiyah tidak mengarah pada toleransi terhadap sekularisme politik dan permisivisme moral. Karena Islam adalah agama wasathiyah, maka ia harus menjadi ciri yang menonjol dalam berpikir dan bersikap umat Islam. Wasathiyah diwujudkan dalam sikap sosial (1) tegas dalam pendirian, luas dalam wawasan, dan luwes dalam sikap; (2) menghargai perbedaan pandangan atau pendapat; (3) menolak pengkafiran terhadap sesama muslim; (4) memajukan dan menggembirakan masyarakat; (5) memahami realitas dan prioritas; (6) menghindari fanatisme berlebihan terhadap kelompok atau paham keagamaan tertentu; dan (7) memudahkan pelaksanaan ajaran agama.
e. Mewujudkan Rahmat bagi Seluruh Alam (Tahqiq al-Rahmah li al-‘Alamin). Islam adalah rahmat bagi semesta alam. Karena itu, setiap muslim berkewajiban untuk mewujudkan kerahmatan itu dalam kehidupan nyata. Di tengah-tengah maraknya pertentangan dan permusuhan di dunia ini, Islam harus dihadirkan sebagai pendorong bagi terciptanya perdamaian dan kerukunan, dan di tengah-tengah situasi ketidakadilan, maka ia harus ditampilkan sebagai agama yang mewujudkan keadilan dan menghilangkan kezaliman. Islam harus dihadirkan sebagai kekuatan yang membawa kesejahteraan, pencerahan, dan kemajuan universal. Misi kerahmatan itu bukan saja penting bagi kemaslahatan umat manusia, tetapi juga bagi kemaslahatan seluruh makhluk ciptaan Allah di muka bumi ini, seperti hewan, tumbuh-tumbuhan, lingkungan dan sumber daya alam.
2. Manhaj Islam Berkemajuan
Sebuah manhaj (cara) diperlukan untuk memahami dan memaknai ajaran agama, dan mengembangkan pemikiran keagamaan secara benar. Manhaj Islam Berkemajuan (al-Islam al-Taqaddumi) ini digunakan agar pemahaman dan pemaknaan atas nash dan pengembangan pemikiran yang diperoleh dari al-Qur’an dan al-Sunnah dapat dipertanggungjawabkan atas prinsip-prinsip agama dan akal pikiran.
a. Sumber Ajaran Islam
Al-Qur’an dan al-Sunnah adalah sumber utama ajaran Islam. Prinsip “Kembali kepada al-Qur’an dan al- Sunnah” merupakan penegasan tentang kedudukan dua sumber utama itu dalam merumuskan pandangan dan mengembangkan pemikiran keagamaan. Penggalian terhadap makna dari dua sumber itu dilakukan dengan memanfaatkan akal, warisan intelektual, dan ilmu pengetahuan tanpa terikat pada mazhab tertentu dari sekian banyak mazhab atau pendapat yang telah berkembang. Ayat-ayat Al-Qur’an dan al-Sunnah dipahami dan dijelaskan dengan metode bayani, yakni penafsiran atau uraian yang berlandasan pada teks dengan menggunakan kaidah-kaidah kebahasaan, atau metode ta’lili, yakni pemahaman dengan penalaran atau pengqiyasan suatu kasus tertentu dengan kasus lain yang ada dalam nash berdasarkan kesamaan ‘illat, atau metode istishlahi, yakni perumusan ajaran Islam yang didasarkan atas pertimbangan kemaslahatan. Prinsip-prinsip yang terkandung di dalam al-Qur’an dan al-Sunnah dijadikan sebagai pijakan dasar yang tetap (tsawabit), sementara pemahaman, pelaksanaan dan perwujudan atas prinsip- prinsip tersebut terbuka kemungkinan untuk berubah (imkan al-taghayur).
Al-Sunnah yang menjadi sumber ajaran Islam adalah sunnah maqbulah (yang diterima), yang diyakini secara ilmiah berasal dari Nabi Muhammad SAW. Sunnah maqbulah tersebut dapat berupa hadis shahih lidzatihi (sahih dengan sendirinya), shahih lighairihi (menjadi sahih karena diperkuat dengan bukti lain), hadis hasan lidzatihi (hasan dengan sendirinya), atau hasan lighairihi (menjadi hasan karena diperkuat dengan bukti lain). Istilah sunnah maqbulah menjadi penegasan atas penerimaan hadis-hadis yang diyakini benar berasal dari Nabi Muhammad SAW.
b. Dimensi Ajaran Islam
Islam adalah agama yang berkaitan dengan seluruh segi kehidupan manusia. Ajaran Islam terdiri dari dimensi akidah, ibadah, akhlak dan muamalah dunyawiyah. Ajaran akidah menyangkut keyakinan dasar agama yang wajib dipercayai oleh umat Islam. Akidah bersumber dari wahyu, dan karena itu harus bersih dari syirik, takhayul, dan khurafat, bentuk keyakinan yang tidak ditemukan landasannya dalam al-Qur’an atau al-Sunnah. Pendekatan akal terhadap akidah yang tercermin dalam tradisi kalam adalah upaya yang mungkin terus dilakukan sepanjang tidak menyimpang dari tauhid. Ibadah adalah perwujudan dari ketertundukan seorang muslim terhadap Allah, dan harus dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Al-Qur’an atau al-Sunnah, dan bersih dari bid’ah. Pemahaman terhadap ketentuan itu tercermin dalam perkembangan fikih ibadah yang memungkinkan terjadinya perbedaan pendapat. Ajaran tentang akhlak berkaitan dengan prinsip-prinsip normatif yang menegaskan dan membedakan antara perbuatan yang mulia (al-karimah) dan yang rendah (al- radzilah) dalam hubungan manusia dengan Allah, manusia dengan manusia, manusia dengan hewan, dan manusia dengan alam. Ajaran tentang muamalah dunyawiyah menyangkut ketentuan bagaimana mengelola dunia ini dengan sebaik-baiknya dan menggerakkan kehidupan masyarakat sesuai dengan prinsip-prinsip agama. Dalam hal ajaran tentang akhlak dan muamalah ini terbuka kemungkinan yang luas untuk pengembangan sesuai dengan tuntutan perubahan zaman dan tempat atas dasar kemaslahatan.
Pelaksanaan keempat dimensi ajaran tersebut bila dilakukan secara sungguh-sungguh dengan harapan penuh adanya bimbingan Allah SWT akan menghasilkan kekuatan yang melimpah yang diperlukan untuk mewujudkan cita- cita Islam Berkemajuan.
c. Tiga Pendekatan
Dalam memahami ajaran agama, digunakan tiga pendekatan, yakni bayani (menggunakan teks), burhani (menggunakan akal) dan ‘irfani (menggunakan hati). Pendekatan bayani digunakan untuk memahami agama yang didasarkan atas petunjuk teks atau bahasa dari al- Qur’an dan al-Sunnah, dan merupakan pendekatan paling dasar dalam memahami agama. Rujukan pertama untuk memahami ajaran agama berasal dari wahyu, dan kemudian akal menghubungkan persoalan baru dengan ketentuan yang sudah ditetapkan oleh teks-teks keagamaan. Pendekatan burhani menggunakan rasio, argumen, penelitian ilmiah, ilmu pengetahuan, dan pengalaman empiris untuk memahami ajaran agama dan menghubungkannya dengan persoalan baru yang belum dijelaskan dalam al-Qur’an dan al-Sunnah. Pendekatan ‘irfani menekankan kedalaman spiritual, kepekaan nurani, serta ketajaman intuisi dan cita kearifan. Dalam tradisi Islam, pengalaman batin itu disebut dengan dzauq (rasa), bashirah (mata batin), wijdan (gerak batin), dan sirr (rahasia). Pendekatan ‘irfani lebih menekankan kedalaman spiritual, kepedulian sosial, kearifan untuk mempertahankan kemaslahatan, dan menghindari kemudaratan, serta untuk menghindari hal-hal yang meragukan (syubhat) dan yang jelas dilarang (haram).
Pendekatan bayani, burhani dan ‘irfani digunakan secara bersamaan dalam memahami ajaran Islam sehingga dapat terlihat aneka persoalan melalui pandangan yang utuh, mendalam dan komprehensif. Penggunaan tiga pendekatan itu dapat dilihat dalam berbagai dokumen pemikiran Muhammadiyah, seperti Teologi Lingkungan, Fikih Kebencanaan, Fikih Kesejahteraan Sosial, Fikih Tata Kelola, Fikih Zakat Kontemporer, Fikih Air, Fikih Difabel, Risalah Akhlak Islami, dan Tafsir al-Tanwir.
d. Ijtihad Berkelanjutan
Salah satu syarat dari kemajuan berpikir dalam Islam adalah sikap positif pada ijtihad. Sikap ini dilandasi oleh beberapa prinsip, yakni (a) berorientasi pada universalitas agama Islam, (b) tidak berorientasi pada mazhab-mazhab di kalangan umat Islam, (c) terbuka dan toleran terhadap perbedaan pemikiran.
Berijtihad adalah sebuah keharusan karena peristiwa- peristiwa baru dalam kehidupan manusia senantiasa berkembang, yang sebagiannya tidak memiliki preseden dalam sejarah Islam. Sementara pada saat yang sama, teks-teks keagamaan (ayat qauliyah) sebagai landasan dasar beragama telah berhenti dengan wafatnya Nabi Muhammad SAW. Para ulama pada masa lalu telah berijtihad dalam konteks ruang dan waktu tertentu, maka tidak ada jalan lain sekarang ini kecuali menghidupkan ijtihad sesuai tuntutan perkembangan kehidupan manusia dan ilmu pengetahuan (ayat kauniyah) yang semakin maju dalam berbagai bidang.
Sejalan dengan perkembangan zaman dan dinamika kehidupan manusia, ijtihad tidak hanya bermakna menghidupkan konsep ijtihad itu sendiri, tetapi juga mengembangkan pendekatan baru dalam ijtihad, seperti ijtihad jama’i (ijtihad kolektif), yang melibatkan pakar dari berbagai bidang keahlian. Para ahli baik lelaki maupun perempuan dalam berbagai bidang keahlian berhimpun
untuk memecahkan persoalan-persoalan keagamaan yang rumit dalam kehidupan manusia. Pemanfaatan satu ilmu tertentu semata tidak akan memadai untuk mengatasi persoalan-persoalan baru yang muncul. Ijtihad juga bermakna memberikan pilihan terbaik di tengah-tengah perbedaan paham keagamaan, dan membedakan antara hal-hal yang bersifat prinsipil dan tidak berubah (tsawabit), dan hal-hal yang mungkin berubah (imkan al-taghayyur) yang berkaitan erat dengan ruang dan waktu tertentu.
e. Akal dan Ilmu Pengetahuan
Akal merupakan anugerah Allah SWT kepada manusia yang harus dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk memahami wahyu (ayat qauliyah) dan gejala alam semesta (ayat kauniyah). Akal merupakan wahana yang sangat penting dalam memahami ajaran, dan karena itu pemahaman agama tanpa melibatkan akal akan melahirkan dogmatisme yang memperkecil keunggulan ajaran agama. Penggunaan akal akan melahirkan ilmu pengetahuan yang logis dan sistematis yang menjadi kekayaan umat manusia. Upaya pemanfaatan ilmu pengetahuan melahirkan teknologi yang sangat berguna bagi peningkatan kualitas hidup manusia dan kemajuan peradaban dunia.
Ilmu pengetahuan dan teknologi mempunyai peran pokok dalam hidup berkemajuan dan merupakan keutamaan manusia yang wajib diusahakan. Pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan pelaksanaan tugas kekhalifahan manusia dalam membangun peradaban di muka bumi (Q.S. Hud [11]: 61). Ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan capaian manusia yang harus dimanfaatkan dalam memahami dan mengamalkan ajaran agama. Sejalan dengan prinsip ini, sesungguhnya ilmu pengetahuan tidak perlu dipertentangkan dengan agama. Bahkan sebaliknya, beragama yang tidak melibatkan ilmu merupakan keberagamaan yang terbelakang. Peran penting ilmu pengetahuan itu juga dapat diletakkan dalam pemahaman terhadap sumber-sumber ajaran Islam. Ilmu pengetahuan memiliki peran dalam memahami ajaran Islam yang begitu luas dan kaya inspirasi, sehingga semakin luas ilmu pengetahuan, semakin terbuka peluang untuk memahami kekayaan dan keunggulan ajaran Islam. Sebaliknya, semakin miskin ilmu pengetahuan, semakin sempit wawasan dalam memahami dan mengamalkan Islam.
Penggabungan ilmu agama dan ilmu pengetahuan dapat dilihat, misalnya, pada penggunaan Ilmu Hisab (perhitungan astronomis) dalam menentukan kalender Islam. Ilmu memiliki fungsi penting dalam memahami ajaran agama yang seringkali menimbulkan perselisihan. Dalam rangka mengurangi dan bahkan menyelesaikan perselisihan itu, pendekatan ilmu pengetahuan memiliki peran yang sangat penting. Dalam prinsip Islam, agama adalah sumber nilai. Pengembangan ilmu pengetahuan yang manusiawi dan memanusiakan memerlukan basis nilai yang memberikan landasan dan arah perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Nilai-nilai tauhid, ibadah, khilafah dan ilmu, misalnya, menjadi penting sebagai landasan ontologis dan epistemologis pengembangan ilmu pengetahuan, sementara nilai ishlah (transformasi sosial) menjadi penting bagi landasan aksiologis yang produk lahirnya adalah masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Fungsi ilmu pengetahuan dalam kehidupan secara umum maupun dalam kehidupan beragama secara khusus dapat dirumuskan sebagai berikut: (a) ilmu pengetahuan membantu manusia memahami persoalan-persoalan, baik yang kasat mata maupun tidak, untuk menentukan langkah-langkah kehidupan yang lebih maju; (b) ilmu pengetahuan berperan membantu manusia beragama lebih baik, khususnya ketika teks keagamaan tidak menyebutkan setiap persoalan secara eksplisit; (c) ilmu pengetahuan berperan dalam membangun jembatan antara akal dan wahyu; (d) ilmu pengetahuan berperan sebagai penyelesai ketegangan dan perselisihan di kalangan umat beragama; (e) ilmu pengetahuan membantu meningkatkan mutu hidup umat Islam dan umat manusia seluruhnya.
f. Mazhab Keagamaan
Dalam perjalanan kehidupan umat Islam, telah lahir berbagai mazhab yang merupakan hasil ijtihad para ulama untuk memahami ajaran Islam, khususnya dalam bidang fikih, akidah dan tasawuf. Perkembangan mazhab-mazhab tersebut merupakan kekayaan yang sangat berharga untuk dikaji, dipertimbangkan dan diambil manfaatnya. Memilih salah satu pendapat dari mazhab apa pun yang dipandang paling benar, melahirkan fatwa baru yang belum pernah ada, atau bahkan mengubah fatwa yang pernah dikeluarkan, semuanya merupakan kemungkinan yang tetap terbuka. Keterbukaan ini bermakna pembebasan diri dari sikap sektarian dan fanatik terhadap mazhab tertentu.
Dalam menyikapi mazhab atau pendapat yang berbeda-beda, jalan tarjih (mengambil yang lebih kuat) digunakan dengan memilih dalil yang kuat di antara dalil- dalil yang berbeda atau bertentangan, mencari pendapat yang lebih kuat, dan menggunakan prinsip kemaslahatan. Bersamaan dengan itu, meyakini sesuatu pendapat yang dianut dan menghormati pendapat lain adalah sikap yang paling baik. Perbedaan mazhab atau pendapat dalam memahami dan mengamalkan ajaran Islam harus disikapi dengan semangat ukhuwah.
Sejalan dengan sikap tidak terikat pada mazhab tertentu ini, dalam bidang tasawuf telah dibangun pandangan tersendiri. Bentuk tasawuf yang berkemajuan adalah tasawuf akhlaqi (moral), ihsani (etos), dan ijtima’i (sosial). Ini bermakna bahwa dalam mengamalkan tasawuf seorang muslim tidak harus mengikatkan diri kepada satu aliran atau tarekat sufi tertentu, melainkan membawa sikap tasawuf dalam kehidupan sehari-hari yang tidak terbatas pada persoalan ibadah. Tasawuf akhlaqi, ihsani dan ijtima’i diwujudkan dalam bentuk-bentuk kesalehan individual dan sosial. Semangat kedermawanan dan kesederhanaan yang berkembang di kalangan masyarakat muslim adalah perwujudan dari tasawuf semacam itu. Dengan demikian, pemahaman dan pelaksanaan tasawuf menjadi lebih sesuai dengan keadaan dan bersifat luwes, dan lebih dari itu membawa tasawuf menjadi lebih hidup, berkembang, bersenyawa, dan menyatu dalam kehidupan duniawi. Ini merupakan pandangan berkemajuan atas tasawuf yang selama ini dilekatkan dengan kehidupan yang menyendiri dan asosial. Tasawuf merupakan unsur yang hadir dan menyatu dalam setiap tindakan manusia dalam semua bidang kehidupan. Kegiatan duniawi, seperti sosial, hukum, ekonomi, atau politik, semuanya harus mengandung makna spiritual.
g. Kemuliaan Manusia
Di tengah-tengah keragaman suku bangsa, budaya dan agama, setiap orang berhak untuk menerima pemuliaan. Manusia adalah makhluk yang dimuliakan dan diciptakan oleh Allah SWT dengan struktur terbaik, dan karena itu menyandang mandat untuk menjadi hamba (‘abd) dan wakil (khalifah) Allah di muka bumi (Q.S. al-Isra’[17]: 70; Q.S. al-Tin [95]: 4; Q.S. al-Ahzab [33]: 72). Semua manusia diciptakan dengan fitrah yang sama dan lahir dalam keadaan setara, dan kemudian perjalanan hidup merekalah yang akan menentukan apakah mereka tetap berada dalam fitrahnya atau sebaliknya. Islam adalah agama yang memuliakan manusia, dan karena itu memahami ajaran agama haruslah diletakkan pada prinsip meninggikan derajat, martabat dan marwah manusia. Ajaran agama tentang pentingnya pengetahuan, akhlak mulia, kesejahteraan, keadilan, kedamaian, dan penghargaan terhadap kemanusiaan, menjadi aspek-aspek yang sangat penting dalam merumuskan pandangan agama yang memuliakan manusia. Islam mengajarkan bahwa nilai seseorang tidak tergantung pada jenis kelaminnya atau kebangsaannya. Lelaki dan perempuan dari bangsa apapun memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi manusia mulia dan memberikan perkhidmatannya dalam semua lapangan kehidupan. Nilai seseorang di hadapan Allah ditentukan atas dasar ketakwaannya.
BAB III
Gerakan Islam Berkemajuan
Konsep Dasar Islam Berkemajuan menjadi landasan bagi bangunan pemikiran, organisasi, gerakan dan perkhidmatan untuk memajukan kehidupan umat, masyarakat, bangsa, kemanusiaan, dan kehidupan global. Konsep dasar tersebut telah dan akan diimplementasikan oleh Persyarikatan Muhammadiyah dalam gerakanyang menyentuh seluruh aspek kehidupan manusia dan menjadi penuntun dasar bagi gerakan berkemajuan. Karena dikembangkan atas dasar-dasar agama yang otentik, Islam Berkemajuan sesungguhnya merupakan kebutuhan semua umat Islam untuk meraih keunggulan.
1.Gerakan Dahwah
Nabi Muhammad SAW diutus ke dunia ini dengan membawa misi dakwah untuk mengeluarkan manusia dari alam kegelapan menuju alam terang benderang (Q.S. Ibrahim [14]:1). Umat Islam memiliki kewajiban untuk melanjutkan misi tersebut sepanjang sejarah karena merupakan bagian dari amanah yang diberikan oleh Allah SWT kepada manusia yang harus ditunaikan untuk membangun kehidupan yang maju sesuai dengan prinsip- prinsip ajaran agama.
a. Mandat Manusia
Dakwah adalah usaha transformasi kehidupan, yang merupakan mandat dari Allah SWT kepada manusia (Q.S. al-Ahzab [33]: 72). Mandat tersebut lahir dari posisi manusia sebagai hamba (‘abd) yang patuh, menyembah dan berserah diri kepada Allah SWT, dan wakil (khalifah) untuk mengatur kehidupan, menjaga dan memakmurkan bumi ini agar menjadi lingkungan yang layak untuk kehidupan semua makhluk. Dunia ini adalah ladang yang luas bagi manusia untuk melaksanakan mandat tersebut dengan berdakwah dan berjuang untuk mewujudkan kehidupan yang maju. Perjuangan Nabi Muhammad SAW menggambarkan mandat tersebut, yang terpadu dalam risalah yang mencerahkan dunia ini agar keluar dari alam kegelapan (zhulumat) menuju alam terang benderang (nur). Setelah hijrah ke Yatsrib, Nabi Muhammad berdakwah untuk membangun tata kehidupan yang mencerminkan keadilan, persaudaraan, dan kesamaan derajat, yang memancar dari tauhid, dan karena itu kota tersebut kemudian disebut dengan al-Madinah al-Munawwarah (kota yang tercerahkan). Meneladani perjuangan Nabi Muhammad SAW tersebut, umat Islam memiliki tanggung jawab untuk mengemban misi dakwah sepanjang zaman. Misi dakwah pencerahan tersebut dilakukan dalam semua lapangan kehidupan untuk mengajak manusia menuju jalan Allah. Dalam pandangan ini, seluruh denyut nadi manusia muslim seharusnya mengemban misi dakwah. Semua persoalan kehidupan manusia, seperti ketidakadilan, permusuhan, kemiskinan, dan kebodohan, adalah tantangan bagi gerakan dakwah pencerahan yang harus dihadapi untuk menegakkan masyarakat yang adil, damai, sejahtera, dan berilmu.
b. Dakwah, Amar Ma’ruf, Nahi Munkar
Dakwah sesungguhnya merupakan upaya pencerahan untuk mengubah kehidupan manusia menjadi lebih baik. Dakwah memiliki dua sasaran, yakni ummat al-ijabah (telah menerima) dan ummat al-da’wah (diajak). Sasaran pertama merujuk pada mereka yang telah memenuhi panggilan Islam, sehingga tujuan dakwah adalah mempertinggi mutu keberagamaan. Sementara itu, sasaran kedua adalah mereka yang masih diperkenalkan dengan agama Islam, dan dengan demikian dakwah berguna untuk menciptakan situasi bagi lahirnya hidayah sehingga mereka mengetahui keunggulan dan kebenaran Islam. Dalam keranga pencerahan ini, dakwah harus dilaksanakan secara manusiawi dan persuasif, tanpa pemaksaan dan permusuhan. Mereka yang menolak ajakan kebenaran harus tetap dihargai, sebuah sikap untuk menjamin kebebasan beragama.
Dakwah pencerahan dalam praktiknya dilakukan dalam bentuk ajakan kepada kebajikan (al-da’wah ila al- khayr), bentuk dorongan untuk melaksanakan amal kebaikan (al-amr bi al-ma’ruf), dan bentuk pencegahan kemungkaran (al-nahy ‘an al-munkar). Dakwah semacam ini mengandung ajakan dan seruan agar semua orang melaksanakan kewajiban-kewajiban dan amal-amal kebajikan sesuai tuntunan agama, dan mencegah terjadinya kemungkaran. Semua bentuk dakwah ini merupakan tanggung jawab suci seluruh umat Islam (khaira ummah) pada umumnya (Q.S. Ali ‘Imran [3]:110) dan kelompok terpilih (ummatun yad’una)) pada khususnya dengan janji Allah bahwa mereka inilah yang akan memperoleh kejayaan (Q.S. Ali ‘Imran [3]: 104).
c. Dakwah Berbasis Budaya
Dalam upaya mencerahkan umat manusia, Muhammadiyah menempuh jalan dakwah berbasis budaya. Dakwah tersebut dimaksudkan untuk menjawab tantangan zaman, dan memberikan apresiasi terhadap budaya yang berkembang, serta menerima dan menciptakan budaya baru yang lebih baik sesuai dengan pesan Islam sebagai rahmatan li al-alamin. Muhammadiyah mengembangkan bentuk dakwah dengan memanfaatkan seluruh potensi manusia sehingga dakwah itu menjadi lebih hidup, segar dan menggembirakan. Dakwah semacam ini sesungguhnya telah dilaksanakan oleh Nabi Muhammad, sehingga mengundang simpati terhadap Islam.
Dakwah berbasis budaya menggambarkan bahwa beragama dengan baik tidak berarti menjauhkan hidup ini dari kesenian. Jika beragama Islam merupakan fitrah manusia, maka berkesenian pun sesungguhnya adalah naluri manusia. Berpijak pada fitrah kemanusiaan yang cenderung kepada kebenaran, kebajikan dan keindahan, maka sesungguhnya berkesenian itu menggambarkan keindahan yang mengantarkan manusia kepada nilai- nilai kebenaran dan kebajikan. Seni yang menghasilkan keindahan adalah gambaran keindahan (jamaliyah) Tuhan yang Maha Indah, dan karena itu kekayaan budaya harus dimanfaatkan sebagai media dakwah pencerahan selama tidak membawa umat kepada kemudaratan dan kemaksiatan.
Dakwah berbasis budaya mengedepankan hubungan timbal balik antara agama dan kebudayaan yang menempatkan perubahan sosial sebagai tahapan panjang. Melalui jalan dialog tersebut akan lahir cara hidup yang lebih masuk akal yang secara alami mengikis kemaksiatan, syirik, takhayul dan khurafat. Dakwah kebudayaan adalah dakwah tanpa menempatkan budaya lokal sebagai sasaran langsung melainkan sebagai dampak dari pengembangan kebudayaan yang berlangsung lebih hidup dan menyeluruh. Dakwah kebudayaan ditujukan pada peningkatan mutu manusia dalam kehidupan sosialnya, sehingga memenuhi syarat untuk memperoleh hidayah Allah SWT.
d. Dakwah di Tengah Keragaman
Dakwah pencerahan menghadapi kenyataan sosial- keagamaan yang rumit dan beragam. Selain berhadapan dengan agama, paham keagamaan, dan budaya yang beragam, dakwah juga menemui kenyataan ras dan suku bangsa yang begitu majemuk. Keragaman tersebut membutuhkan pengelolaan yang positif agar tidak menjadi sumber pertentangan yang berkepanjangan. Kewajiban berdakwah yang mencerahkan harus tetap dilakukan oleh umat Islam, dan pada saat yang sama bersedia untuk hidup berdampingan dengan kelompok lain yang memiliki agama, suku, dan adat istiadat yang berbeda-beda. Islam itu sendiri sangat menghargai perbedaan, maka saling mengenal dan bertenggang rasa di antara mereka menjadi sangat penting. Ketidaksiapan untuk hidup bersama di tengah keragaman akan menimbulkan ketegangan dan permusuhan, suatu situasi yang tidak dikehendaki oleh Islam. Karena itu, Muhammadiyah terus merajut keberagaman tersebut secara positif dan bijaksana dan mengajak pemeluk semua agama yang hidup di Indonesia untuk mengajarkan perdamaian, keadilan, persamaan, dan penghargaan terhadap semua manusia. Kegiatan dakwah harus menjadi wahana pencerahan, yang mendorong dan menjadi contoh kehidupan yang serasi di tengah keragaman tanpa diskriminasi terhadap kelompok mana pun di masyarakat.
Kehidupan bersama memerlukan keluasan wawasan, pengetahuan, pengalaman dan kearifan, yang terbangun di atas nilai-nilai penghargaan, persaudaraan, persatuan dan perdamaian. Dalam kehidupan bersama, Islam melarang dengan tegas sikap permusuhan, pertengkaran, pertikaian dan diskriminasi. Islam memberikan landasan akhlak yang unggul, dan karena itu perbedaan harus dikelola dengan keunggulan moral agar menjadi kekuatan yang mendorong kepada kemajuan.
e. Hubungan Antarumat Beragama
Kemajemukan agama menjadi realitas dalam kehidupan sebagai lapangan dakwah. Allah SWT mengutus banyak nabi dan rasul, yang sebagiannya dikisahkan dalam al-Qur’an. Dalam bahasa al-Qur’an, agama yang diturunkan kepada nabi-nabi tersebut adalah Islam. Namun demikian, kenyataan sejarah menunjukkan terjadinya polarisasi agama yang sebagiannya menjadi agama dunia. Islam adalah agama yang hak dan sempurna, yang dapat menyelamatkan dan membahagiakan kehidupan di dunia dan akhirat. Muhammad SAW adalah nabi dan rasul terakhir yang melanjutkan dan menyempurnakan ajaran nabi-nabi sebelumnya.
Sekalipun terdapat perbedaan dalam hal keyakinan dan peribadatan di antara agama-agama, dakwah mengandung pesan penghormatan terhadap perbedaan itu tanpa terperangkap dalam sekularisme politik, relativisme agama maupun sinkretisme akidah. Dalam kehidupan sosial bersama penganut agama yang berbeda-beda, umat Islam didorong untuk mengembangkan nilai-nilai kearifan tentang kemanusiaan dan kebersamaan. Atas dasar nilai- nilai itulah, dalam menjalankan dakwah umat Islam dapat bekerja sama dalam lapangan sosial dengan pemeluk agama yang berbeda-beda untuk menegakkan keadilan dan membangun kedamaian, dua syarat yang dibutuhkan untuk kemajuan masyarakat.
Sikap al-Qur’an terhadap keragaman agama ditegaskan dengan pernyataan “lakum dinukum waliyadin” (Q.S. al-Kafirun [109]: 6), yang menunjukkan pengakuan adanya agama-agama selain Islam. Secara teologis, Allah secara tegas menyatakan tidak berkehendak menjadikan semua manusia itu satu umat atau penganut suatu agama tertentu (Q.S. Yunus [10]: 99). Sedangkan secara sosiologis, pengakuan atas keyakinan agama-agama itu diwujudkan dengan sikap mengedepankan titik temu ajaran dalam mengemban misi sosial dan kemanusiaan (Q.S. al-Baqarah [2]: 259).
f. Kerja Sama dalam Kebajikan dan Takwa
Dalam melaksanakan dakwah, kerjasama dibangun untuk mewujudkan kebajikan dan ketakwaan. Kerjasama ini dikembangkan pada usaha-usaha memperbaiki keyakinan, peribadatan, akhlak, dan muamalah atau pengelolaan kehidupan bersama. Kerja sama yang dibangun dengan berbagai kalangan baik individu maupun lembaga memiliki cakupan yang luas di atas landasan dan di dalam semangat kemajuan bersama. Semangat yang dimaksud adalah nilai-nilai kebajikan (al-birr) dan ketakwaan (al-taqwa), bukan penyimpangan (al-itsm) dan permusuhan (al-‘udwan).
Kerja sama yang dibangun dalam dakwah pencerahan dilakukan untuk mewujudkan kemaslahatan bersama, yakni perbaikan (ishlah) dalam semua lapangan kehidupan. Atas prinsip memperbanyak kawan, maka berdakwah membutuhkan sikap lapang dada dan luas pandangan. Kerja sama dilakukan di kalangan umat Islam untuk menyiarkan dan mengamalkan agama serta membela kepentingannya. Kerja sama dengan pemerintah dan golongan lain dijalin untuk memelihara dan membangun negara agar mencapai masyarakat adil dan makmur yang diridai Allah SWT. Kerja sama itu dibangun dengan individu, masyarakat dan lembaga-lembaga di tingkat lokal, nasional dan internasional, dan dilakukan dengan semangat keadilan, ketulusan, kesetaraan dan kebersamaan.
2. Gerakan Tajdid
Tajdid adalah upaya pembaharuan dalam memahami dan melaksanakan ajaran Islam seiring dengan tantangan dan kebutuhan zaman. Para ulama pada masa-masa yang lalu telah melakukan tajdid untuk mengatasi kebekuan umat Islam dan menjalankan agenda pembaharuan untuk menjawab tantangan zaman, agar misi Islam sebagai rahmat bagi semuanya tetap benar-benar terwujud. Para ulama itu telah melakukan tajdid atas pemikiran-pemikiran dan lembaga-lembaga di berbagai bidang keagamaan. Dalam sejarah gerakan keagamaan, telah muncul beberapa bentuk pembaharuan yang dinisbatkan kepada gerakan Islam, misalnya puritanisme, reformisme, dan modernisme, yang sering kali diartikan secara berbeda dalam konteks yang berbeda. Di antara gerakan-gerakan tersebut terdapat perbedaan satu sama lain, tetapi terdapat ruh yang sama, yakni menjadikan ajaran Islam lebih bermakna terhadap perbaikan situasi sezaman. Bersamaan dengan itu, oleh Muhammadiyah istilah tajdid lebih diutamakan sebagai sebuah jati diri gerakan yang berlaku sepanjang zaman dan merupakan khazanah Islam yang memiliki landasan normatif maupun historis.
Gerakan tajdid diwujudkan dalam usaha terus-menerus mengkaji ajaran Islam, mengembangkan pemahaman dan pemikiran, serta melakukan purifikasi akidah dan dinamisasi muamalah, dengan merujuk kepada al-Qur’an dan al-Sunnah. Pelaksanaan tajdid juga ditunjukkan dalam usaha mentransformasi pemikiran-pemikiran maju ke dalam bentuk lembaga, misalnya Majelis Tarjih dan Tajdid, yang kegiatannya menggambarkan proses ijtihad dalam memproduksi fatwa-fatwa dan mengembangkan pemikiran-pemikiran keagamaan dalam arti yang luas. Dalam praksisnya, tajdid juga diwujudkan dalam usaha memajukan lembaga-lembaga amal, seperti pendidikan, kesehatan, pelayanan sosial, dan ekonomi, agar mampu menjawab tantangan zaman dan menjadikan umat Islam semakin maju pada masa depan. Secara umum, tajdid bertujuan untuk memperbaharui cara berpikir dan kehidupan umat agar lepas dari kondisi keterbelakangan dan kelemahan akibat kemiskinan ilmu, kemunduran budaya, dan kemerosotan akhlak.
3. Gerakan Ilmu
Salah satu bagian dari perwujudan Islam Berkemajuan adalah gerakan ilmu. Islam itu sendiri sangat menghargai ilmu dan memandang bahwa orang-orang yang berilmu lebih unggul dari mereka yang tidak berilmu (Q.S. al- Zumar [39]: 9). Mereka yang beriman dan berilmu diangkat derajatnya oleh Allah SWT (Q.S. al-Mujadalah [58]: 11). Islam Berkemajuan memandang bahwa ilmu itu sangat diperlukan dalam setiap segi kehidupan, berpikir, bersikap dan bergerak, untuk mewujudkan ajaran-ajarannya dalam kehidupan nyata. Dengan ilmu, umat Islam dapat menangkap pesan-pesan agama secara lebih tepat, mengembangkan tata kehidupannya secara lebih baik, dan menciptakan hal-hal baru untuk memajukan tingkat peradaban manusia.
Islam Berkemajuan meniscayakan gerakan ilmu yang berfungsi untuk memerangi kebodohan dan keterbelakangan. Gerakan itu diwujudkan dalam bentuk pengembangan lembaga-lembaga pendidikan, dari prasekolah sampai pendidikan tinggi, forum- forum pencerahan, pusat-pusat riset dan inovasi, dan pertemuan-pertemuan untuk mempercepat peningkatan capaian ilmiah. Pada tingkat individu, setiap mukmin harus senantiasa mempertinggi ilmunya dan pada tingkat lembaga, setiap kegiatannya harus mencerminkan misi keilmuan. Islam Berkemajuan menyebarluaskan ilmu dan mendorong seluruh umat manusia untuk menguasai dan menggunakan ilmu untuk mewujudkan cita-cita kemajuan. Kemajuan ilmu dan teknologi dapat dicapai dengan memaksimalkan riset dan inovasi. Cara berpikir berkemajuan membuka pintu luas bagi penelitian- penelitian yang mengantarkan pada penemuan-penemuan baru, dan sebaliknya semua penelitian dan penemuan baru itu akan mendorong kemajuan cara berpikir. Al- Qur’an mendorong manusia untuk mempelajari alam raya seisinya sehingga berkembanglah ilmu sebagai rahmat Allah SWT. Karena itu, membangun “Gerakan ilmu dalam Muhammadiyah,” dan menjadikan “Muhammadiyah sebagai gerakan ilmu” harus diperkokoh untuk dapat menghadapi tantangan zaman dan mempertinggi mutu kehidupan. Islam Berkemajuan menempatkan ilmu, teknologi dan juga seni sebagai jalan serentak dari dialog wahyu dengan kenyataan alami dan kehidupan manusia yang terus bergerak dalam memahami dan menghampiri kehendak Tuhan bagi kesejahteraan umat manusia secara universal.
4. Gerakan Amal
Islam adalah din al-amal (agama perbuatan), yang menekankan pentingnya amal sebagai implementasi dari iman yang merupakan cahaya bagi kehidupan, kekuatan yang menggerakkan, dan kerangka pandangan dunia. Dalam merumuskan pemahaman dan pengamalan agama, aspek amal menjadi pertimbangan yang sangat penting. Pandangan tersebut mengantarkan pada sebuah keyakinan akan pentingnya pelembagaan amal saleh yang berorientasi pada pemecahan problem-problem kehidupan, seperti lembaga-lembaga kedermawanan, kesejahteraan, pemberdayaan, pendidikan, dan kesehatan. Dengan pelembagaan itu, amal saleh bukan lagi semata- mata dilakukan secara individual melainkan dalam bentuk gerakan yang terorganisasi.
Sejalan dengan prinsip ini, keikhlasan, kesungguhan dan ketertiban dalam beramal merupakan implikasi dari keimanan yang menekankan rida Allah sebagai tujuan. Keikhlasan itu harus dibarengi dengan bekerja sungguh- sungguh, dengan cara yang sebaik-baiknya sesuai dengan prinsip-prinsip agama dan ilmu pengetahuan, agar memberikan manfaat yang seluas-luasnya.
BAB IV
Perkhidmatan Islam Berkemajuan
Sebagai organisasi yang menekankan pentingnya amal saleh, maka Muhammadiyah berkhidmat untuk kepentingan keumatan, kebangsaan, kemanusiaan, dunia internasional, dan kemaslahatan masa depan umat manusia. Perkhidmatan ini dilakukan atas dasar keikhlasan untuk mencari ridla Allah SWT dan memberikan kemanfatan seluas-luasnya.
1.Perkhidmatan Keumatan
Sebagai bagian dari gerakan Islam, Muhammadiyah berkhidmat untuk mengembangkan kehidupan umat dengan menjunjung tinggi ukhuwah Islamiyah. Perkhidmatan ini merupakan tanggung jawab untuk memajukan bersama-sama seluruh umat Islam guna memberikan sumbangannya bagi persaudaraan yang lebih luas. Perkhidmatan juga diberikan oleh Muhammadiyah dalam meningkatkan kualitas umat sehingga terwujud cita-cita menjadi umat yang unggul bukan hanya pada sisi ajaran tetapi juga dalam sisi realitas kehidupan.
a. Peneguhan Ukhuwah
Dalam kehidupan keumatan, ukhuwah (persaudaraan) merupakan ajaran yang sangat mulia untuk membangun kekuatan dan menghindarkan umat dari keretakan dalam hidup bermasyarakat. Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu bersaudara, dan jika terjadi perselisihan, maka usaha untuk mendamaikan adalah suatu kewajiban yang luhur (Q.S. al-Hujurat [49]:10). Setiap muslim seyogianya memiliki kesadaran akan ukhuwah itu karena diikat oleh kesamaan keyakinan. Umat Islam dipersatukan oleh keyakinan bahwa Allah adalah Tuhan yang Esa, al- Qur’an adalah kitab suci yang menjadi rujukan utama dalam menjalani kehidupan, dan Muhammad adalah nabi dan rasul terakhir yang membawa ajaran kebenaran dan kebaikan, yang mengantarkan manusia kepada kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Dengan ukhuwah tersebut, umat Islam menyatukan hati dan pikiran sehingga menjadi kekuatan untuk mewujudkan Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam.
Umat Islam merupakan mayoritas penduduk Indonesia, dan karena itu memiliki tanggung jawab yang besar untuk memajukannya. Kenyataannya menunjukkan bahwa umat Islam di Indonesia bukanlah wujud yang tunggal karena telah terhubung ke dalam berbagai lembaga, seperti kesukuan, adat istiadat, organisasi, dan aliran pemikiran, yang masing-masing memberikan identitas dan sekaligus menuntut kesetiaan dari setiap penganutnya. Kenyataan itu sesungguhnya harus dipandang sebagai kekayaan budaya umat dan bukan sebagai faktor yang menyebabkan perpecahan dan permusuhan yang menghambat kemajuan umat. Islam Berkemajuan mengajak semua muslim untuk mengatasi perbedaan-perbedaan itu dan secara bersama-sama berkhidmat dalam memajukan umat, dan dengan demikian bermakna memajukan bangsa Indonesia. Umat Islam harus menjadi kekuatan yang memperkokoh keberadaan dan keberlangsungan negara Indonesia. Ukhuwah akan terbangun kokoh di kalangan umat jika bersama-sama menjauhkan diri dari sikap saling merendahkan dan berprasangka buruk terhadap sesama muslim. Islam Berkemajuan mengajak semua umat Islam terlibat secara aktif dalam menjaga ukhuwah.
Perkhidmatan untuk membangun ukhuwah tidak cukup hanya bersifat nasional, melainkan juga bersifat global sesuai dengan penyebaran umat di dunia ini. Kecintaan terhadap bangsa sendiri tidak serta-merta berarti mengabaikan sesama umat yang terdiri dari berbagai bangsa. Silaturahim dalam berbagai bentuknya harus terjaga baik pada tingkat individu, masyarakat, maupun lembaga. Silaturrahim tersebut bukan semata-mata bersifat fisik tetapi lebih dari itu bersifat sosial, budaya dan intelektual. Jaringan global semacam itu menjadi wahana penting untuk mengembangkan semangat solidaritas, mengarusutamakan wasathiyah, dan mewujudkan Islam sebagai rahmat bagi dunia. Ukhuwah Islamiyah adalah modal utama untuk mengembangkan ukhuwah dalam pergaulan yang lebih luas, melintasi perbedaan agama dan bangsa. Peran internasional umat Islam Indonesia harus diperkuat untuk mewujudkan dunia Islam yang damai dan maju.
Perbedaan paham keagamaan di kalangan umat Islam telah menjadi kenyataan, dan tidak ada jalan terbaik kecuali menjadikannya sebagai sumber kekuatan. Perbedaan itu mungkin berkaitan dengan persoalan ushuliyah (pokok), yang tidak mungkin diakomodasi dalam ranah keimanan. Tetapi, pada ranah sosial toleransi terhadap perbedaan itu merupakan kepentingan bersama yang harus ditanamkan pada setiap muslim. Perbedaan mengenai persoalan- persoalan yang bersifat furu’iyah (cabang) adalah wilayah yang sangat memerlukan toleransi agar persatuan umat dapat terjaga dan tidak terganggu oleh kekerasan yang diakibatkan oleh fanatisme (ashabiyah) terhadap paham keagamaan tertentu. Perbedaan dalam hal ushuliyah maupun furu’iyah tidak akan menyebabkan kekerasan dan konflik sosial di ranah keumatan, kebangsaan dan kemanusiaan, sepanjang bersih dari fanatisme buta dan kepentingan hawa nafsu.
b. Perbaikan Kualitas Umat
Secara global pemeluk Islam adalah umat yang tumbuh sangat cepat. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor, di antaranya angka kelahiran yang tinggi dan perpindahan agama. Kenyataan ini melahirkan kebanggaan sebagaimana dikatakan oleh Nabi Muhammad SAW bahwa akan berbangga dengan jumlah umat yang banyak. Di luar itu, keprihatinan muncul jika jumlah yang banyak itu tidak diimbangi dengan mutu sumber daya insani yang unggul. Untuk meningkatkan mutu tersebut diperlukan perkhidmatan yang sungguh-sungguh dalam meningkatkan pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan umat. Pada saat yang sama diperlukan perkhidmatan dalam membentengi umat dari gerakan pendangkalan akidah. Keunggulan mutu haruslah menjadi pilihan utama perkhidmatan karena besar kecilnya peran ditentukan oleh mutu. Keunggulan jumlah yang tidak disertai dengan keunggulan mutu akan memperburuk citra umat, dan akan menjadi bagian dari permasalahan yang menghambat kemajuan. Dengan pengarusutamaan konsep wasathiyah dan misi kerahmatan global, Islam Berkemajuan mengarahkan perhatiannya pada usaha memajukan kehidupan umat Islam secara keseluruhan, dan pada usaha mengatasi berbagai macam tantangan, seperti ketakutan terhadap Islam (Islamophobia), ketidakadilan (injustice), diskriminasi (discrimination), rasisme (racism), dan pemisahan sosial (social segregation).
2. Perkhidmatan Kebangsaan
Islam Berkemajuan mengandung makna keharusan setiap warga negara untuk berkhidmat dalam membangun bangsa dan negara. Kewajiban itu sesungguhnya merupakan perwujudan dari pandangan bahwa Indonesia adalah Dar al-‘Ahdi wa al-Syahadah (negara perjanjian dan kesaksian). Rumusan tersebut adalah fiqh al-siyasah (fikih politik) yang dirumuskan oleh Muhammadiyah dalam Muktamar Ke-47 di Makassar pada 2015. Tetapi, dalam sejarahnya yang panjang, Muhammadiyah telah membuktikan perkhidmatannya melalui peran penting tokoh-tokoh dan organisasi dalam mentransformasi kesadaran kesukuan menjadi kesadaran kebangsaan, mencerdaskan kehidupan masyarakat, meletakkan landasan negara, dan dalam memajukan bangsa dan negara. Perkhidmatan itu terus berlanjut dan diperkokoh dengan suatu pernyataan kebangsaaan “Negara Pancasila sebagai Dar al-‘Ahdi wa al-Syahadah,” yang merupakan fikih politik baru yang membawa penyelesaian terhadap perdebatan atau kesangsian yang mungkin ada mengenai hubungan antara Islam dan negara Indonesia.
Dar al-‘Ahdi wa al-Syahadah merupakan wawasan kebangsaan yang mendorong perkhidmatan secara nyata bagi kemajuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Perkhidmatan tersebut dilakukan dalam segala bidang kehidupan, seperti politik, ekonomi, hukum dan kebudayaan. Indonesia yang berdasar Pancasila sebagai dar al-‘ahdi bermakna bahwa negara itu lahir atas perjanjian atau kesepakatan seluruh komponen bangsa yang harus tetap dipegang teguh, dan sebagai dar al-syahadah, ia menjadi tempat persaksian dan pembuktian dalam bentuk perjuangan untuk mempertahankan dan memajukan negara.
Perumusan negara Indonesia yang berdasar Pancasila sebagai Dar al-‘Ahdi wa al-Syahadah didasarkan atas pandangan bahwa sila-sila di dalamnya mengandung nilai-nilai yang bersumber dari ajaran Islam. “Ketuhanan yang Maha Esa” merupakan ajaran ketauhidan yang utuh dan murni. “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab” adalah ajaran penghormatan terhadap harkat dan martabat manusia. “Persatuan Indonesia” adalah ajaran persaudaraan yang penuh cinta dan kasih sayang. “Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan” adalah ajaran tentang musyawarah, keumatan dan kerakyatan, yang bijaksana dan senantiasa mengedepankan kemaslahatan serta penyelesaian masalah bersama. Sementara itu, “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia” adalah ajaran tentang kesetaraan, keseimbangan, kesejahteraan dan keadilan yang melampaui batas-batas identitas kesukuan atau wilayah. Sementara itu, nilai-nilai Islam yang mulia dan bersifat universal juga secara normatif telah dimasukkan dalam konstitusi Republik Indonesia. Perdebatan mengenai bentuk negara telah menjadi bagian dari perjalanan sejarah masa lalu yang kemudian telah mencapai kesepakatan bersama.
Gagasan tersebut memiliki konsekuensi untuk secara terus-menerus mengajak semua anak bangsa dalam menggerakkan dan mengawal perjalanan bangsa menuju cita-cita luhur, yang dalam al-Qur’an digambarkan sebagai baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur (negara yang baik yang penuh ampunan Tuhan). Dengan semangat yang sama, cita-cita itu dirumuskan dalam dokumen negara sebagai masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila, atau dalam dokumen Muhammadiyah disebut masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Rumusan-rumusan tentang tujuan itu tidaklah bertentangan, melainkan mengandung nilai-nilai yang sama sebagai landasan memaksimalkan peran seluruh komponen anak bangsa menuju masyarakat, bangsa dan negara yang dicita-citakan. Rumusan Dar al- ‘Ahdi wa al-Syahadah yang dilahirkan oleh Muhammadiyah memberikan jalan terang bagi partisipasi positif umat Islam dalam memajukan kehidupan berbangsa dan bernegara.
a. Pemajuan Demokrasi
Implementasi Islam Berkemajuan berkaitan erat dengan persoalan demokrasi dalam sistem kenegaraan. Demokrasi sesungguhnya bukan sekadar sarana untuk menyelenggarakan negara atau proses-proses politik, namun merupakan sarana untuk meningkatkan mutu hidup masyarakat. Demokrasi sesungguhnya memiliki nilai-nilai yang terkandung dalam Islam, dan karena itu usaha peningkatan kualitas demokrasi dipandang sebagai bagian dari perwujudan konsep Dar al-’Ahdi wa al-Syahadah. Dengan itu, maka NKRI akan menjadi negara yang memiliki dasar pijak yang paling sempurna, yang dapat mencegah perjalanan NKRI menjadi negara otoritarian, liberal, atau sekuler. Dalam konteks pelaksanaan, demokrasi di Indonesia perlu dikembangkan menuju demokrasi yang substansial yang menjunjung tinggi amanah dan meritokrasi dengan tujuan mewujudkan kehidupan masyarakat yang merdeka, adil, sejahtera dan berkeadaban. Islam Berkemajuan memandang bahwa persoalan politik sangat penting dalam rangka memperbaiki negara, dan karena itu secara cerdas dan bersama-sama mendorong keterlibatan mereka yang layak mengemban amanah dalam politik untuk melakukan berbagai peran strategis dalam kerangka demokrasi atas dasar akhlak mulia dan idealisme kokoh. Keterlibatan dalam politik itu dilakukan sebagai upaya mewujudkan cita-citanya, “Menjunjung tinggi ajaran agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.” Dengan cara itu pula, Islam Berkemajuan mengembangkan nilai-nilai universal dan konsep-konsep umum yang harus diterjemahkan dalam bentuk kebijakan umum. Melakukan politik transaksional, berpikir serba duniawi dan berjangka pendek semata, dan mengabaikan nilai-nilai etis agama dan prinsip meritokrasi adalah tantangan bagi demokrasi dan sekaligus tantangan besar bagi Islam Berkemajuan.
Kondisi kemunduran demokrasi global pada saat ini menuntut pemberian perhatian penting terhadap bidang politik. Salah satu indikator utama kegagalan demokrasi adalah keengganan elit nasional dan global dalam memperhatikan kepentingan rakyat setulus-tulusnya. Indonesia memerlukan semakin banyak elit politik yang jujur dalam menjalankan fungsinya baik di legislatif, eksekutif maupun yudikatif. Demokrasi kesejahteraan sesungguhnya merupakan model ideal karena sangat memperhatikan kepentingan rakyat dan para elit benar- benar meresapi fungsinya sebagai pemegang amanah. Demokrasi yang maju menjadikan negara sebagai pelayan bagi kesejahteraan seluruh warga negara sekalipun mungkin dengan beban tinggi yang harus dipikul oleh orang-orang kaya sebagai bagian dari demokratisasi ekonomi yang bermuara pada kesejahteraan rakyat yang seluas-luasnya.
b. Peningkatan Ekonomi
Di samping urusan politik dan demokrasi, bidang lain yang menjadi perhatian Islam Berkemajuan dalam hal kebangsaan adalah bidang ekonomi. Ekonomi yang dikehendaki oleh Islam Berkemajuan adalah ekonomi Pancasila yang mengedepankan prinsip-prinsip kerakyatan, keadilan dan kemanusiaan. Muhammadiyah terlibat secara langsung dalam pemberdayaan masyarakat, terutama mereka yang tergolong sebagai masyarakat lemah (dhu’afa’ wa mustadh’afin), sebagai bagian dari upaya mewujudkan keadilan ekonomi untuk seluruh anak bangsa. Keadilan ekonomi itu diwujudkan dalam bentuk kebijakan dan aksi pemerataan untuk menghilangkan ketimpangan sosial, dan terpusatnya kekayaan di tangan sekelompok tertentu. Perjuangan untuk meningkatkan ekonomi rakyat dilakukan oleh Muhammadiyah melalui berbagai amal usahanya. Muhammadiyah memberikan bantuan yang memungkinkan mendorong kelompok-kelompok rentan dan terpinggirkan mampu meraih kehidupan yang layak secara berkelanjutan. Dalam hal ini, Muhammadiyah menempuh tiga jalan penting: penyadaran akan pentingnya spirit berkemajuan, pembekalan keterampilan yang dibutuhkan agar berdaya secara ekonomi, dan dukungan modal untuk membangun kewirausahaan bagi mereka yang miskin.
Kendati demikian, mewujudkan ekonomi Pancasila yang pro-rakyat tidak dapat ditempuh semata-mata melalui pengendalian kebijakan publik, maupun pemberdayaan ekonomi masyarakat secara langsung. Literasi ekonomi bagi seluruh anak bangsa penting sekali menjadi bagian dari misi Dar al-’Ahdi wa al-Syahadah. Literasi ekonomi ini selaras dengan semangat Teologi al-Ma’un yang secara sejarah membangun budaya kedermawanan dan pemberdayaan kaum yang lemah.
Literasi ekonomi Muhammadiyah adalah upaya untuk membangkitkan kesadaran seluruh anak bangsa bahwa perjuangan membangun ekonomi merupakan salah satu bentuk ibadah, yang dimaknai sebagai kegiatan mendekatkan diri kepada Allah. Maka, keadilan dan kebangkitan ekonomi (kemandirian, ketangguhan dan daya saing ekonomi) merupakan jalan penting dalam mendekatkan diri kepada Allah. Melalui kebangkitan tersebut, anak bangsa harus menjauhkan diri dari jalan kekufuran oleh sebab kemiskinan yang didera. Dalam makna yang lebih luas, literasi ekonomi ini juga berlaku bagi para pemegang kekuasaan untuk melaksanakan kebijakan strategis yang berorientasi pada pengentasan kemiskinan. Literasi yang menekankan pentingnya kesadaran untuk bangkit secara ekonomi dapat dimaknai sebagai upaya untuk mendorong Indonesia menjadi sebuah bangsa dan negara yang tidak terjajah oleh bangsa lain.
Kedigdayaan suatu negara di dunia sesungguhnya bukan sekadar diukur dari kekuatan politik dan militer yang dimiliki, namun juga dari kekuatan ekonomi, sains dan teknologinya. Indonesia harus tumbuh menjadi sebuah negara yang mampu bersaing dengan negara-negara lain. Karena itulah, sekali lagi, Muhammadiyah berdakwah kepada para pemegang kebijakan strategis nasional, agar mengambil langkah-langkah yang tepat dan cerdas, yang mengarah kepada penempaan kemandirian ekonomi kita sendiri tanpa harus mengabaikan kerja sama bilateral atau multilateral dengan negara-negara lainnya di dunia.
c. Pengembangan Hukum
Pada dasarnya hukum bertujuan untuk menciptakan ketertiban, keadilan dan kemanfaatan, dan karena itu hukum harus dibangun selaras dengan tujuan tersebut. Hukum dan perundang-undangan yang dikembangkan haruslah sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar, yang merupakan norma dasar negara dan sekaligus cita hukum. Sila Pertama dan Kedua Pancasila, yang merepresentasikan nilai-nilai agama dan moralitas luhur bangsa, dan yang memiliki akar kuat dalam kehidupan masyarakat Indonesia, harus menjadi pertimbangan penting dalam pengembangan hukum nasional. Hukum yang bertentangan dengan nilai-nilai agama dan moralitas luhur bangsa Indonesia sesungguhnya bertentangan dengan Pancasila.
Untuk mencapai tujuan bernegara, sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yaitu mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur, maka substansi hukum nasional dan kebijakan publik harus dirancang dalam rangka mewujudkan tujuan negara. Sebagai negara hukum dan bukan negara kekuasaan, hukum harus mampu menjamin ketertiban, keadilan dan kemanfaatan. Semua orang diperlakukan sama di hadapan hukum, dan penegakan harus dilakukan tanpa diskriminasi berbasis apapun. Hukum nasional dalam bentuk berbagai peraturan perundang-undangan, dan kebijakan publik harus dikembangkan tidak hanya untuk melindungi hak-hak dan kepentingan rakyat, tetapi juga harus mendorong tercapainya kesejahteraan untuk semua tanpa kecuali.
Hukum adalah alat pembaharuan dalam masyarakat, sehingga hukum harus menjadi landasan bagi proses pembaharuan dan kemajuan peradaban suatu bangsa. Karena itu, hukum harus mampu mengubah nilai- nilai, kebiasaan dan karakter masyarakat yang kurang mendukung terwujudnya kemajuan peradaban yang mulia dan berkeadilan. Sistem, model dan materi hukum yang tidak menggambarkan nilai-nilai dan semangat kemajuan, serta tidak sesuai dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar harus segera direformasi.
Muhammadiyah, secara langsung maupun tidak langsung, telah memberikan andil besar dalam proses penyusunan dasar negara (Pancasila) dan konstitusi, dan karena itu, Muhammadiyah turut bertanggung jawab atas pengembangan hukum nasional dan peraturan perundang-undangan yang mendukung tercapainya tujuan bernegara. Semua pihak harus didorong untuk memainkan perannya agar dasar negara dan konstitusi benar-benar menjadi landasan bagi pengembangan dan transformasi hukum nasional, yang melindungi segenap bangsa Indonesia, terutama pemenuhan hak-hak fundamental (konstitusional) warga negara.
Hukum yang berkeadilan adalah prasyarat bagi kemakmuran dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat. Namun, banyak sekali ditemukan hukum yang bertentangan dengan konstitusi dan belum merepresentasi nilai-nilai keadilan, sehingga hukum yang demikian tidak memberikan kemaslahatan dan kemanfaatan. Hukum yang seperti itu harus segera dievaluasi, dikoreksi, direvisi dan bahkan jika perlu direformasi melalui mekanisme yang konstitusional. Sebagai salah satu kekuatan masyarakat sipil di Indonesia, dengan komitmen perjuangan demi tegaknya kebenaran dan keadilan, serta didorong oleh semangat keagamaan yang kuat, Muhammadiyah melakukan jihad konstitusi agar hukum merepresentasi keadilan, tidak bertentangan dengan konstitusi, dan menghilangkan kerancuan, multitafsir dan ketidakjelasan hukum. Muhammadiyah, bersama elemen-elemen bangsa lainnya, melakukan jihad konstitusi ini agar keadilan hukum yang pro-kepentingan rakyat dapat segera terwujud.
Persoalan hukum terdapat bukan saja pada materi dan substansi hukumnya, tetapi juga pada penegakannya.
Dalam konteks ini, persoalan terjadi ketika hukum mengabaikan tujuan pro-justitia. Bentuk-bentuk kejahatan yang sering kali muncul, seperti jual-beli hukum, mafia kasus, dan kriminalisasi, harus menjadi musuh bersama. Di samping itu, lemahnya penegakan hukum yang berarti hilangnya jaminan keadilan adalah cermin dari lemahnya komitmen penegak hukum dalam membangun Indonesia yang maju dan beradab. Penegakan hukum seringkali menjadi terkendala akibat adanya kekuatan politik maupun ekonomi yang mencampuri proses-proses hukum untuk mengamankan kepentingan-kepentingan tertentu.
Berpijak pada semangat mewujudkan Islam Berkemajuan, Muhammadiyah juga terus-menerus mengembangkan edukasi pro-keadilan dan mengambil langkah strategis dan tegas untuk melakukan perubahan. Penegakan hukum dan keadilan tidak boleh menoleransi segala tindakan politik dan kekuasaan yang merusak, karena hal itu akan menyebabkan kerusakan yang lebih besar. Tindakan merusak itu memberikan kesan bahwa negara ini bukan negara hukum, tetapi negara kekuasaan. Sementara itu, terhadap persoalan yang menimpa masyarakat secara langsung, terutama kelompok yang terpinggirkan, dan kelompok yang secara ekonomi tidak beruntung, Muhammadiyah melakukan advokasi bagi mereka agar mendapatkan akses keadilan di hadapan hukum, dan mendapatkan hak-haknya sesuai dengan hukum.
d. Pembangunan Kebudayaan
Perjuangan Muhammadiyah untuk memajukan kehidupan ini mengharuskan pembangunan di bidang kebudayaan. Membangun budaya sejatinya adalah membangun watak anak bangsa yang berwawasan keislaman, keindonesiaan dan kemanusiaan universal. Tujuan dari perjuangan itu adalah berkembangnya kebudayaan Indonesia yang Islami, unggul dan berdaya saing. Pembangunan ini memerlukan kerja-kerja kebudayaan yang menyeluruh. Hal ini tidak dapat dilakukan secara sempit dan sektoral oleh lembaga kebudayaan semata karena kebudayaan yang dimaksud memiliki makna yang luas, yakni keseluruhan cara berpikir dan sikap manusia dalam kehidupan.
Pembangunan kebudayaan adalah tanggung jawab semua anak bangsa. Dalam konteks Indonesia secara umum, setiap anak bangsa berkewajiban untuk membangun karakter unggul, menempa rasa cinta tanah air atau patriotisme, serta berpihak pada kepentingan kemanusiaan. Pada saat yang bersamaan, Muhammadiyah menjadi pelopor dalam memperjuangkan kebudayaan bangsa Indonesia yang unggul, bermartabat dan beradab. Muhammadiyah mengembangkan lingkungan yang penuh dengan nilai-nilai kemajuan, seperti kebhinekaan, toleransi, gotong-royong, kesetaraan, keadilan, dan kerja keras, yang terjalin erat dengan nilai-nilai qur’ani dan karakter kenabian.
Kebudayaan dengan nilai-nilai yang penuh dengan kebajikan ini perlu diperjuangkan, dipraktikkan sebagai teladan mulia, dan juga diajarkan baik secara formal maupun informal, struktural maupun kultural. Perjuangan mengenai kebudayaan ini dimulai dari pembiasaan yang berkelanjutan yang pada akhirnya menjadi kebiasaan yang baik. Ketika kebiasaan yang baik terus-menerus diturunkan dari generasi ke generasi, disampaikan secara inspiratif dan mencerahkan, dan dikontestasikan secara bijaksana, maka akan menjadi tradisi yang berkemajuan. Tradisi ini merupakan bahan baku utama pembangunan kebudayaan, dan kebudayaan adalah dasar adanya peradaban.
3. Perkhidmatan Kemanusiaan
Muhammadiyah adalah organisasi Islam yang memberikan perhatian kuat terhadap berbagai persoalan kemanusiaan. Pilihan gerakan kemanusiaan Muhammadiyah didasarkan pada al-Qur’an dan al-Sunnah yang memerintahkan setiap muslim peduli terhadap orang- orang yang lemah (dhu’afa), seperti para fakir dan miskin. Islam Berkemajuan adalah sumber utama gerakan sosial- budaya yang menempatkan pemberdayaan manusia lintas bangsa dan kesukuan berbasis paradigma welas asih sebagai cara utama peningkatan mutu hidup manusia melalui kerja sama kedermawanan amal saleh dari semua warga. Warga yang kuat dan berkecukupan membantu warga yang lemah dan terpinggirkan dengan menempatkan Muhammadiyah sebagai wahana pemberdayaan kemanusiaan universal. Dengan teologi al-Ma’un, Muhammadiyah memandang mereka sebagai kelompok yang mengalami derita hidup bukan saja atas kesalahan mereka secara individu, tetapi juga diakibatkan oleh struktur ekonomi, politik, hukum dan sistem pengelolaan pendidikan yang tidak berpihak kepada mereka.
Sejak berdirinya pada tahun1912, Muhammadiyah berjihad meningkatkan kerja-kerja kemanusiaan melalui bidang pendidikan, kesehatan, pertolongan kemanusiaan dan pemberdayaan masyarakat. Kiai Dahlan adalah seorang perintis, ideolog dan sekaligus penggerak kemanusiaan. Tidak sekadar berbicara tentang konsep- konsep kemanusiaan, Kiai Dahlan telah melakukan transformasi sosial umat Islam secara mendasar yang bertujuan mengentaskan mereka dari belenggu kemiskinan dan kebodohan. Melalui Muhammadiyah, Kiai Dahlan mempertegas gerakannya untuk melaksanakan reformasi sosial dan kemanusiaan.
Islam Berkemajuan telah mendorong Muhammadiyah untuk melakukan reformasi sosial dan kemanusiaan dengan melahirkan gerakan dakwah untuk memperkuat amal saleh, seperti kepedulian sosial, penolongan, pemberdayaan, solidaritas dan persamaan kemanusiaan, serta mengecam mereka yang mengabaikan orang-orang yang lemah sebagai pendusta agama (Q.S. al-Ma’un [107]: 1-7, Q.S. al-‘Ashr [103]: 1-3, dan Q.S. Ali ‘Imran [3]: 104 dan 110). Ajaran tersebut telah menjadi dasar bagi bentuk gerakan sosial praksis Muhammadiyah karena memuat ajaran ketauhidan yang mewujud dalam gerakan amal saleh. Gerakan Muhammadiyah senantiasa berwatak mentransformasikan doktrin agama ke dalam sikap empati terhadap persoalan kemanusiaan universal.
Akibat watak pembaharuan yang menyertainya, kepedulian sosial itu diorganisasi oleh Muhammadiyah secara baik melalui penerapan kedermawanan Islam secara kelembagaan. Di kemudian hari, kedermawanan Islam itu terbagi-bagi ke dalam bentuk amal usaha sosial yang nyata dalam wujud pendidikan (schooling), kesehatan (healing), santunan (feeding), dan pemberdayaan (empowering). Kedermawanan Islam modern yang dipraktikkan oleh Muhammadiyah bukan semata penggalangan dana, melainkan juga pemanfaatannya untuk kemanusiaan melalui proyek-proyek kesejahteraan sosial, seperti panti sosial untuk anak-anak yatim piatu, anak-anak telantar, korban trafficking, dan orang-orang lanjut usia.
Muhammadiyah mengategorikan orang-orang yang mengalami kesulitan dalam mengakses pendidikan yang layak dan dalam mendapatkan perlindungan hukum, orang-orang yang mengalami diskriminasi, ketidakadilan, marginalisasi, pelemahan, penghinaan dan persekusi karena perbedaan keyakinan atau politik, ke dalam kelompok neo-mustadh’afin (kaum lemah baru). Kendati santunan berupa uang, makanan atau pakaian itu penting, namun Muhammadiyah memandang bahwa kelompok tersebut patut mendapatkan bantuan dan penguatan secara politik dan hukum untuk mengentaskan mereka dari ketidakberdayaan.
a. Pengentasan Kemiskinan
Muhammadiyah memandang bahwa persoalan kemiskinan bukan sekadar problem kesulitan ekonomi yang dapat diatasi dengan santunan, melainkan problem yang sangat kompleks, dan karena itu penanganannya membutuhkan gerakan sosial yang menyeluruh, yang meliputi pemberian akses politik dan perlindungan hukum. Muhammadiyah melihat akar persoalan kemiskinan sesungguhnya tidak hanya bersifat individual tetapi juga struktural. Muhammadiyah memandang bahwa bila masyarakat mendapatkan akses permodalan, pendidikan yang layak, jaminan hukum, dan partisipasi politik, maka kesulitan ekonomi akan berkurang. Karena itu, kebijakan negara yang berpihak kepada kaum miskin menjadi sangat penting, dan kesadaran seluruh lapisan masyarakat untuk membantu mereka juga sangat diperlukan. Gerakan sosial tersebut merupakan upaya nyata untuk membebaskan mereka dari jerat dehumanisasi dan membangun komunitas tangguh demi terwujudnya keadilan sosial.
Kemiskinan dewasa ini telah berkembang menjadi gejala global karena rendahnya kesungguhan kapitalisme global untuk pengurangan kemiskinan. Dalam konteks ini Muhammadiyah terus-menerus menggelorakan seluruh elemen bangsa agar segera mengambil tindakan untuk mengatasi kemiskinan. Karena selama kemiskinan belum terhapuskan, kemampuan bangsa dalam membangun Indonesia berkemajuan akan terhambat. Kenyataan bahwa sementara ini mayoritas tenaga kerja didominasi oleh lulusan pendidikan rendah dan hanya sekelompok kecil yang lulusan pendidikan tinggi menunjukkan kondisi lemahnya sumber daya manusia Indonesia. Salah satu penyebabnya adalah ketidakmampuan mayoritas warga melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi karena terbelenggu antara lain oleh kemiskinan.
b. Penguatan Masyarakat
Salah satu bentuk perkhidmatan Muhammadiyah adalah menolong kesengsaraan umum. Semangat ini didasarkan pada teologi al-Ma’un yang bertujuan untuk memajukan dan penguatan masyarakat yang teraplikasi ke dalam lima gerakan, yaitu amal usaha kesehatan, pelayanan sosial, gerakan pemberdayaan masyarakat, penanggulangan bencana, serta gerakan lembaga amil zakat infak dan sedekah.
Dalam hal penguatan masyarakat, Muhammadiyah memberikan perhatian besar terhadap masyarakat petani, nelayan, buruh tani, buruh pabrik, dan masyarakat lain yang mengalami peminggiran di perdesaan maupun perkotaan. Muhammadiyah hadir di tengah mereka untuk memberikan pelatihan keterampilan dan memfasilitasi pengembangan potensi individual, kemitraan dan jejaring sosial, pengetahuan, dan ketrampilan, serta sikap dan kepribadian agar mereka menjadi berdaya, sejahtera dan berkeadaban. Berbagai program penguatan masyarakat diarahkan pada pengembangan masyarakat berbasiskan pertanian, perikanan, dan peternakan terpadu dengan pendekatan desa utama (qaryah thayyibah) dan pendidikan penyadaran. Muhammadiyah juga memusatkan aksi pemberdayaan untuk menjangkau masyarakat di daerah tertinggal, terpencil, dan terluar melalui kegiatan pelayanan pelatihan keterampilan dan kewirausahaan mandiri. Dalam ranah pemberdayaan ini, Muhammadiyah berperan sebagai motivator, koordinator, inspirator dan sekaligus mediator yang berorientasi pada pemberdayaan sosial- ekonomi masyarakat marginal.
c. Pemberdayaan Perempuan
Muhammadiyah berkhidmat tidak hanya dalam bidang pendidikan, pemberdayaan sosial dan kesehatan, melainkan juga dalam bidang kemajuan kaum perempuan. Dalam hal ini, tokoh-tokoh dan organisasi Aisyiyah bahkan sebelum kemerdekaan telah menjadi pelopor bagi kebangunan kaum perempuan untuk memperoleh harkat, kemandirian dan kemuliaan. Ketika tradisi lokal masih membelenggu keterlibatan perempuan di wilayah publik, Muhammadiyah telah membentuk perkumpulan Sopo Tresno (sekarang ‘Aisyiyah), pada 1917, dan Siswo Proyo Wanito (sekarang Nasyiatul ‘Aisyiyah) pada 1919 sebagai ruang aktualisasi kaum perempuan untuk mendapatkan akses pendidikan dan keterampilan berorganisasi, berpidato dan aktivitas pendidikan lainnya. Muhammadiyah juga telah memberikan ruang yang luas bagi perempuan untuk berkiprah di wilayah publik, termasuk menjadi bagian dari kepemimpinan organisasi, lembaga fatwa dan pengkajian keagamaan. Muhammadiyah meyakini bahwa kaum perempuan dan laki-laki memiliki potensi yang sama untuk berpikir maju dan meraih pencapaian, bahkan dapat lebih baik jika berusaha secara lebih keras dan tekun.
Komitmen Muhammadiyah terhadap pemberdayaan perempuan merupakan hasil pemahaman terhadap firman Allah (Q.S. al-Nahl [16]: 97) yang menyatakan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Karena itu, perempuan memiliki hak yang sama seperti halnya laki- laki dalam mengakses pendidikan, memenuhi kebutuhan ekonomi, dan bekerja di wilayah publik, bahkan menjadi pemimpin. Muhammadiyah juga memandang peran publik perempuan dalam urusan tata kelola negara sama pentingnya dengan peran laki-laki. Pandangan Muhammadiyah yang berkemajuan ini menganggap bahwa urusan negara merupakan urusan bersama yang tidak boleh mengabaikan suara dari elemen apa pun karena persoalan gender. Argumen yang sama juga berlaku bagi peran perempuan dalam bidang hukum, pendidikan, budaya dan aspek kenegaraan lainnya.
Sementara itu, Muhammadiyah memandang bahwa pemahaman misoginis (merendahkan perempuan) terhadap ayat dan hadis yang membatasi gerak kaum perempuan tidak lagi sesuai dengan perkembangan zaman. Bagi Muhammadiyah, situasi sosial sekarang sangatlah berbeda dengan zaman sebelum dan awal sejarah Islam, sehingga diskriminasi gender bukan lagi hal yang relevan, dan karena itu tidak perlu pembatasan bagi siapapun untuk beraktivitas di wilayah publik.
d. Perlindungan Anak
Dalam hal perlindungan anak, Muhammadiyah memberikan perhatian sungguh-sungguh terhadap masalah ini. Muhammadiyah memandang bahwa anak adalah amanah dari Allah SWT. Mereka adalah generasi penerus yang akan melanjutkan pencapaian cita-cita bangsa, negara dan agama pada masa yang akan datang. Dengan menganggap mereka sebagai amanah, maka anak-anak harus diberikan kesempatan untuk tumbuh dan berkembang seluas-luasnya baik secara fisik, psikis maupun sosial. Muhammadiyah juga memasukkan anak-anak, termasuk anak yatim, sebagai kelompok rentan, sehingga keberadaan mereka harus dilindungi karena sangat rentan terhadap tindak kekerasan seksual, kejahatan, eksploitasi dan perundungan.
Muhammadiyah menekankan pentingnya pengasuhan bagi anak yang tidak beruntung, seperti anak-anak telantar dan yatim piatu, baik melalui kebijakan pengasuhan anak oleh keluarga sendiri atau keluarga lain dengan memenuhi kebutuhan kasih sayang terhadap anak. Hal itu dilakukan untuk memastikan terpenuhinya hak-hak anak.
e. Penanggulangan Bencana
Secara geografis, Indonesia adalah negara yang terletak di wilayah cincin api (ring of fire) yang sekaligus menjadi tiga pertemuan lempeng besar, yaitu Lempeng Eurasia, Lempeng Indo-Australia dan Lempeng Pasifik, sehingga gempa bumi, tsunami atau bencana alam lainnya kerap terjadi. Kemudian, secara sosial dan kebudayaan, bangsa ini merupakan bangsa yang majemuk. Terdiri dari berbagai ragam suku, ras, agama dan golongan, kondisi Indonesia memungkinkan terjadinya gesekan karena perbedaan tersebut yang jika tidak dikelola secara baik akan mendatangkan bencana dalam bentuk yang lain. Bencana dengan beragam bentuknya selalu menimbulkan penderitaan akibat kematian, luka-luka, kerusakan infrastruktur, kehilangan harta benda, mata pencaharian, bahkan keluarga dan teman terdekat.
Muhammadiyah memberikan cara pandang yang konstruktif untuk mengatasi bencana. Hal ini sangat penting karena sebagian umat Islam menganggap bencana dalam berbagai bentuknya itu semata-mata takdir dan bentuk amarah Tuhan karena manusia yang lalai dalam ibadah terhadap-Nya. Mereka tidak berpikir secara kritis faktor-faktor yang menyebabkan sebuah bencana atau konflik itu dapat terjadi. Kemudian, untuk mengatasinya perlu ditumbuhkan tindakan positif untuk memotivasi korban bencana agar cepat bangkit dan menyikapinya dengan memenuhi hak-hak korban bencana.
Dalam menyikapi terjadinya bencana, Muhammadiyah memandang bencana itu sesungguhnya dapat merupakan wujud kasih sayang (rahmah), kebaikan atau keadilan Allah SWT kepada manusia (Q.S. al-An’am [6]: 54 dan Q.S. al- Nahl [16]: 30; Q.S. Ali ‘Imran [3]: 18, Q.S. al-A’raf [7]: 29, Q.S. al-Nahl [16]: 29, dan Q.S. al-Syu’ara’ [26]: 17), dan bencana sebagai peringatan Allah, yang semuanya mendorong ke arah perenungan, introspeksi dan optimisme dalam kehidupan. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abu Sa’id dan Abu Hurairah, disebutkan bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Tidaklah menimpa seorang mukmin rasa sakit, kelelahan, penyakit, kesedihan, hingga kegundahan yang dirasakannya kecuali Allah akan menghapus kesalahannya” (H.R. Muslim).
Muhammadiyah memandang bencana bukanlah bentuk ketidakadilan Allah kepada manusia. Justru sebaliknya, bencana adalah bentuk peringatan atas dasar kasih sayang Allah kepada seluruh manusia. Bagi Muhammadiyah, bencana dapat menjadi media introspeksi atas kelalaian manusia menjaga alam atau fitrah atas dirinya sebagai makhluk ciptaan Allah. Dalam menghadapi bencana, Muhammadiyah secara aktif menyikapinya dengan berupaya melakukan mitigasi (pengurangan), mengelola risiko bencana, mengelola kerentanan, memberikan kepada korban hak untuk mendapatkan bantuan darurat, hak rehabilitasi dan rekonstruksi, hak melaksanakan sistem penanggulangan bencana, dan hak tangguh.
Respons terhadap bencana alam dan konflik merupakan tindakan kemanusiaan universal, sehingga Muhammadiyah menjalankannya untuk korban siapa saja tanpa melihat latar belakangnya. Muhammadiyah juga merespons bencana akibat konflik dengan memfungsikan diri sebagai pembangun perdamaian dan penengah konflik dengan menyediakan layanan kesehatan dan psiko-sosial, media rekonsiliasi serta berbagai strategi pengurangan risiko bencana lainnya. Agama mendorong semua manusia untuk saling mengenal (lita’arafu) antar kelompok (Q.S. al-Hujurat [49]: 13). Tetapi, perintah ini tidak hanya dapat dimaknai sebagai mengenal secara pasif, melainkan juga secara aktif, yaitu menjalin relasi saling menolong (ta’awanu) untuk tujuan kebaikan bersama (Q.S. al-Maidah [5]: 5).
Muhammadiyah memandang bahwa pemerintah memiliki tanggung jawab dalam penanggulangan bencana. Pemerintah memiliki otoritas untuk menyikapi terjadinya bencana, baik bencana alam maupun yang disebabkan oleh segregasi sosial akibat perbedaan agama, suku atau kelompok. Pemerintah mengemban amanah rakyat dan menjamin hajat hidupnya supaya aman, tentram dan terhindar dari mara bahaya. Selain itu, pemerintah tentunya mempunyai potensi, sumber daya, dan wewenang yang diperlukan untuk penanganan bencana. Namun demikian, pemerintah tidak mungkin dibiarkan sendiri untuk melakukan itu, maka masyarakat mau tidak mau harus terlibat langsung baik pada tahap mitigasi, respons, rehabilitasi maupun rekonstruksi. Perkhidmatan Muhammadiyah dalam aksi penanggulangan bencana ini tidak hanya bersifat nasional melainkan juga bersifat internasional.
f. Pendidikan untuk Semua
Muhammadiyah terus bekerja mencerahkan bangsa melalui pendirian lembaga-lembaga pendidikan mulai dari prasekolah sampai pendidikan tinggi yang tersebar di seluruh daerah di Indonesia dan mancanegara. Tersebarnya lembaga pendidikan tersebut dimaksudkan untuk mencapai tujuan pendidikan, yakni menguatkan iman, takwa dan akhlak mulia, serta memberikan dampak positif bagi kemajuan intelektual, literasi keberagamaan, serta kemajuan ekonomi, sosial, budaya dan politik di seluruh penjuru tanah air. Dengan demikian, amal usaha pendidikan Muhammadiyah menjangkau semua peserta didik dari beragam suku bangsa, ras, dan agama. Sikap inklusif (merangkul) tersebut merujuk pada filsafat pendidikan Muhammadiyah yang mengedepankan pluralitas, keterbukaan ilmu pengetahuan, dan rasionalitas. Dengan semangat Islam Berkemajuan, sistem pendidikan Muhammadiyah mengajak umat Islam untuk secara positif menyikapi kemajemukan suku bangsa, ras, golongan dan kebudayaan umat manusia.
Konsep pendidikan Muhammadiyah adalah pelayanan untuk semua. Karena itu, pendidikan Muhammadiyah senantiasa bersifat terbuka dan menjadi wadah bagi kerja sama dan saling mengenal bagi komunitas agama atau kelompok lain untuk mencapai kemajuan dan keunggulan secara bersama. Muhammadiyah memandang bahwa pendidikan yang terbuka memungkinkan terjadinya dialog kebudayaan dan tumbuhnya nilai-nilai keragaman di dalamnya. Melalui sikap keterbukaan Muhammadiyah di bidang pendidikan inilah, peserta didik dari latar belakang yang beragam dapat saling memberikan sumbangan bagi terciptanya kerukunan di antara mereka.
Muhammadiyah semakin mengokohkan diri sebagai gerakan pendidikan inklusif dengan mengembangkan nilai-nilai demokrasi, toleransi, keadilan, dan kemanusiaan universal. Model pendidikan ini dirumuskan karena Muhammadiyah meyakini bahwa tajdid pendidikan harus dilakukan dengan tujuan membawa masyarakat keluar dari krisis kemanusiaan.
g. Pelayanan Kesehatan
Dalam bidang pelayanan kesehatan, Muhammadiyah berperan besar melalui ribuan tenaga kesehatan, lembaga pelayanan kesehatan, dan pendidikan kesehatan. Layanan kesehatan Muhammadiyah menjangkau daerah-daerah terluar, terdepan, dan tertinggal di Indonesia. Bahkan, Muhammadiyah telah dan sedang merealisasikan pembangunan fasilitas kesehatan yang terfokus di daerah- daerah yang memerlukan. Muhammadiyah bersikap terbuka dalam pelayanan kesehatan kepada masyarakat tanpa memandang latar belakang dan status sosial-ekonomi warga. Komitmen ini menjadi bentuk implementasi amal sosial Muhammadiyah yang bersumberkan teologi al- Ma’un.
Model pelayanan kesehatan yang inklusif tersebut juga telah sesuai dengan tujuan gerakan sosial Muhammadiyah yang menginginkan berkembangnya fungsi pelayanan kesehatan dan kesejahteraan yang unggul berbasis Penolong Kesengsaraan Umum (PKU), sebuah spirit membantu orang-orang yang berada dalam kesulitan. Kesehatan untuk semua ini bertujuan meningkatkan kualitas dan kemajuan hidup masyarakat, termasuk kaum dhu’afa yang sangat memerlukan pelayanan kesehatan yang memadai.
4. Perkhidmatan Global
Sebagai organisasi berkemajuan, Muhammadiyah semakin dituntut untuk memainkan perannya bukan saja pada tingkat nasional tetapi juga pada tingkat global. Muhammadiyah memiliki tanggung jawab besar untuk membangun tata kehidupan global yang adil, damai dan sejahtera. Muhammadiyah harus hadir untuk menampilkan wajah Islam yang benar-benar menjadi rahmat bagi seluruh alam (rahmatan li al-alamin). Prinsip kerahmatan itu menyebar secara luas tanpa memandang perbedaan kebangsaan. Dalam mengemban misi tersebut, Muhammadiyah memperluas jejaring bersama organisasi- organisasi saudara (sister organizations) yang memiliki kesamaan pandangan dan gerakan di berbagai negara, pelembagaan cabang-cabang Muhammadiyah di seluruh dunia, partnership dengan lembaga-lembaga internasional, partisipasi Muhammadiyah dalam peneguhan perdamaian dan penyelesaian konflik, semuanya adalah bentuk dari internasionalisasi Muhammadiyah. Berbagai bentuk peran internasional lain juga dilakukan, misalnya dialog antaragama dan antarperadaban, respons bencana alam (natural disaster) maupun bencana akibat perbuatan manusia (social disaster), pemberian beasiswa untuk para pelajar, dan pendirian lembaga-lembaga pendidikan dan dakwah di luar negeri. Perluasan sayap gerakan Muhammadiyah itu dilakukan karena keyakinan bahwa Islam Berkemajuan sangat dibutuhkan oleh masyarakat Islam khususnya dan dunia pada umumnya, dan internasionalisasi itu menjadi bentuk dakwah untuk memberikan manfaat bagi kemajuan umat manusia.
Internasionalisasi peran sesungguhnya telah diisyaratkan sejak awal perkembangan Muhammadiyah. Kiai Dahlan memiliki perhatian terhadap pentingnya kesatuan umat manusia secara global. Dalam pidatonya pada tahun1922, Kiai Dahlan menyampaikan bahwa umat manusia harus bersatu dalam membangun dunia yang maju. Ahmad Dahlan menekankan (1) pentingnya kesatuan hidup manusia seluruhnya untuk bersatu hati, karena sesungguhnya nenek moyang mereka adalah satu, yaitu Nabi Adam dan Hawa; (2) Dengan bersatu hati itu manusia dapat hidup sejahtera secara bersama di dunia; (3) Apabila manusia mengabaikan prinsip kesatuan tersebut, maka mereka akan menjadi hancur dan menghancurkan. Kehancuran itu disebabkan oleh para pemimpin yang belum bersatu hati, yang satu mengabaikan yang lain, saling bertentangan pendapat dan pengetahuan; (4) Kekurangan pengetahuan menjadikan seseorang berpikiran sempit; (5) Sesungguhnya para pemimpin itu seolah masih meraba-raba dalam kegelapan yang mengakibatkan terjadinya perdebatan di antara mereka yang menyebabkan timbulnya kerusakan; (6) Para pemimpin belum memimpin dengan satunya kata dan perbuatan, akan tetapi kebanyakan mereka hanya dengan berbicara; (6) Kesatuan hati manusia harus diwujudkan, dan ini harus dimulai oleh para pemimpin itu terlebih dahulu.
a. Penegakan Keadilan
Islam Berkemajuan menuntut perkhidmatan dalam menegakkan keadilan bagi seluruh umat manusia. Kemurnian tauhid meniscayakan penghambaan hanya kepada Allah, dan memandang semua manusia setara. Memperlakukan manusia dengan adil merupakan kewajiban agama yang sangat mendasar karena keadilan itu mengantarkan manusia kepada takwa (Q.S. al- Ma’idah [5]: 8). Keadilan adalah kebutuhan bagi semua orang, maka keadilan itu harus ditegakkan baik dalam hubungan antarindividu, antarmasyarakat, maupun antarbangsa. Keadilan akan menghadirkan kedamaian dan kesejahteraan, dan karena itu menentang segala bentuk kezaliman, seperti eksploitasi, penjajahan, dan liberalisasi perdagangan dunia yang tidak adil sehingga menyebabkan kesenjangan semakin lebar antara satu bangsa dengan bangsa lainnya.
Perbedaan adalah alamiah, dan dengan prinsip tauhid, perbedaan itu tidak boleh menjadi alasan untuk menjauhkan keadilan. Islam adalah rahmat yang berfungsi menghapus segala bentuk ketidakadilan akibat perbedaan. Jazirah Arab sebelum datangnya ajaran Islam dan dakwah Rasulullah identik dengan zaman jahiliyah, yang salah satu cirinya adalah kezaliman dalam bentuk fanatisme kesukuan, perbudakan dan penghisapan ekonomi (riba). Kedatangan Islam dan Nabi Muhammad SAW mengubah sistem sosial kala itu dengan membawa ajaran kesetaraan dan keadilan. Perbudakan dimanusiawikan, yang mengarah pada penghapusan, budaya musyawarah dibangun, fanatisme kabilah dilebur melalui Piagam Madinah yang mengikat hubungan antarsuku, antargolongan, dan antaragama. Piagam itu berhasil mendamaikan suku-suku yang bertikai, menyatukan kelompok pendatang (muhajirin) dan pribumi (anshar), di atas prinsip keadilan sehingga menumbuhkan harmoni di antara semua penduduk Kota Madinah.
Piagam Madinah menunjukkan bahwa masyarakat maju adalah masyarakat yang dapat menerima dan mengelola perbedaan menjadi peradaban yang berkeadilan. Dalam prinsip Islam, peradaban itu tak lahir begitu saja melainkan melalui pengamalan doktrin tauhid secara terus-menerus yang menunjukkan keesaan Tuhan sekaligus kesetaraan manusia di hadapan-Nya. Karena itulah, manusia dituntut untuk bersikap adil terhadap sesamanya, sebab keadilan dapat melahirkan persatuan, sebaliknya ketidakadilan dapat menyebabkan perpecahan.
Tauhid sebagai doktrin keesaan Tuhan yang menekankan kesatuan manusia menuntut sikap adil dan anti penindasan, dan dalam kerangka itu solidaritas internasional dalam menegakkan tata dunia yang berkeadilan menjadi kewajiban bagi semua kaum beriman.
b. Pemenuhan Hak-Hak Manusia
Kehadiran Muhammadiyah untuk memberi manfaat bagi peradaban dunia tidak lepas dari maksud dakwah Islam yang mengajak kepada kebajikan (al-da’wah ila al- khayr), menyuruh kebaikan (al-amr bi al-ma’ruf), dan mencegah kemungkaran (al-nahy ‘an al-munkar). Dakwah tersebut ditujukan kepada individu dan masyarakat. Dakwah Islam dilakukan dengan penuh kebijaksanaan (hikmah) dan pelajaran yang baik (mau’izhah hasanah), dialog yang terbaik (mujadalah hasanah), di antaranya untuk memberikan penghormatan terhadap hak asasi manusia (human rights). Dakwah Islam harus senantiasa sejalan dengan pemenuhan dan pengawalan hak-hak itu melalui prinsip amar ma’ruf, dan pencegahan terhadap segala bentuk pelanggaran melalui prinsip nahi munkar tanpa batas ruang dan waktu.
Dalam pandangan Islam, menjunjung tinggi HAM (Hak-Hak Asasi Manusia) merupakan kewajiban universal, karena manusia tercipta dengan kemuliaan (Q.S. al-Isra’ [17]: 70). Kemuliaan manusia harus dihormati oleh semua orang. Karena dari hal tersebutlah manusia memiliki hak dan kewajiban. Pemenuhan HAM merupakan bagian dari perwujudan nilai-nilai kemanusiaan, keadilan dan kesetaraan, yang menjadi modal utama bagi terciptanya kemajuan dan keadaban masyarakat global. Penegakan HAM sesungguhnya berakar pada doktrin Islam perihal lima elemen pokok hak-hak manusia, yang disebut dengan al-dharuriyat al-khams. Lima hal pokok itu memuat kewajiban manusia untuk menghormati hak-hak manusia lain melalui pemenuhan hak beragama (hifzhu al-din), hak hidup (hifzhu al-nafs), hak akal sehat (hifzhu al-‘aql), hak memperoleh keturunan (hifzhu al-nasl), dan hak perlindungan harta (hifzhu al-mal). Dengan demikian, ajaran Islam menjamin setiap manusia untuk memperoleh hak-hak dasar tersebut, dan sekaligus menegaskan kewajiban setiap orang untuk menghormati hak-hak orang lain. Artinya, menjaga hak- hak diri sendiri harus berjalan beriringan dengan menjaga hak-hak orang lain. Dengan cara pandang tersebut, maka menjunjung tinggi HAM adalah bagian dari pengamalan ajaran Islam untuk kepentingan kehidupan yang lebih baik. Kepedulian Muhammadiyah dalam menjunjung tinggi HAM tidak sekadar bersifat konseptual, advokasi atau kebijakan, tetapi juga bersifat empiris dan praktis di lapangan, melalui program-program yang memenuhi kebutuhan hidup manusia. Di samping itu, Muhammadiyah terlibat aktif dalam menyuarakan kritik dan sekaligus memberikan solusi atas segala kebijakan yang tak sejalan dengan prinsip keadilan dan penegakan HAM. Dalam tataran praksis, Muhammadiyah konsisten mendampingi masyarakat korban pelanggaran HAM serta mengedukasi mereka agar menyadari pentingnya menjaga hak-hak sipil dan politik. Pada ranah global, Muhammadiyah juga tiada henti untuk bersuara atas pelanggaran HAM yang terjadi di berbagai negara, termasuk pelanggaran hak-hak sipil dan politik terhadap kelompok minoritas.
c. Perwujudan Perdamaian
Perkhidmatan Muhammadiyah dalam mewujudkan perdamaian global ditunjukkan dengan berbagai kebijakan, pernyataan sikap, keterlibatan dalam dialog, mediasi, pemberdayaan dan penyelesaian konflik. Peran-peran tersebut dijalankan oleh Muhammadiyah dengan landasan firman Allah yang mewajibkan usaha pendamaian ketika terjadi konflik (Q.S. al-Hujurat [49]: 10). Posisi mediator tersebut dilaksanakan sejalan dengan ajaran tentang ummatan wasathan dan wasathiyah Islam, yang menjadi spirit dalam melakukan negosiasi dan rekonsiliasi demi terwujudnya perdamaian global. Dalam menjalankan posisi itu, karena ketidakadilan adalah sumber konflik, perjuangan untuk mewujudkan perdamaian sejati harus dilakukan dengan penegakan keadilan.
Muhammadiyah sebagai organisasi moderat menjadi model yang sangat baik untuk memberikan citra Islam yang damai di mata dunia. Terlebih, Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia. Suara Islam Indonesia, termasuk Muhammadiyah, dapat menjadi bagian dari diplomasi perdamaian dunia. Kiprah Muhammadiyah dalam perdamaian global tidak hanya berhenti pada partisipasi di forum-forum internasional, namun juga terlibat langsung dalam penyelesaian konflik di berbagai kawasan, seperti Filipina, dan penanganan masalah kemanusiaan internasional, seperti, di Filipina, Thailand, Nepal, Palestina, dan Myanmar. Berbagai kiprah tersebut tidak lepas dari prinsip Muhammadiyah untuk senantiasa bergerak bagi terwujudnya Islam sebagai rahmat bagi semesta alam melalui perjuangan untuk menciptakan perdamaian global.
d. Pelestarian Lingkungan
Globalisasi peran Muhammadiyah ditunjukkan dalam menyikapi kasus-kasus kerusakan lingkungan yang bukan saja menjadi ancaman bagi suatu negara tertentu tetapi juga bagi masyarakat dunia. Kerusakan lingkungan, seperti banjir, tanah longsor, pendangkalan sungai dan danau, kelangkaan air, polusi air dan udara, pemanasan global, penurunan keanekaragaman hayati, wabah penyakit hewan dan manusia, serta kelangkaan pangan mengalami peningkatan sebagai dampak dari ketidakseimbangan dan kerusakan lingkungan fisik maupun non-fisik di permukaan bumi. Semua itu tidak hanya merupakan dampak dari siklus perubahan alam, tetapi juga akibat perbuatan dan rekayasa tangan manusia (Q.S. al-Rum [21]: 41).
Salah satu tantangan yang dihadapi manusia terkait persoalan lingkungan adalah perubahan iklim yang terjadi dalam skala global. Perilaku manusia yang boros terhadap energi dan semena-mena terhadap lingkungan telah menyebabkan peningkatan panas dan perubahan yang cepat di lapisan atmosfer, laut dan daratan. Sebagai dampaknya, perubahan iklim global semakin cepat terjadi yang ditandai dengan peningkatan suhu global. Dampak tersebut telah dan akan berakibat buruk terhadap kelangsungan hidup manusia dan alam hayati lainnya, di antaranya angin puyuh, kebakaran hebat, bencana banjir, dan hantaman gelombang panas di berbagai kawasan. Pemanasan global yang terus berlanjut tanpa kendali akan mencapai tingkat suhu tertentu yang mengakibatkan punahnya kehidupan di muka bumi.
Muhammadiyah berupaya secara sungguh-sungguh mengajak masyarakat dunia untuk menyerukan dan mengawal berbagai regulasi yang dapat membahayakan lingkungan dan menyebabkan perubahan iklim. Pada aspek praktis, warga Muhammadiyah di berbagai lapisan telah dan akan tetap terlibat aktif dalam gerakan pelestarian lingkungan, baik secara individu melalui gaya hidup yang pro-ekologis, maupun secara kolektif dengan, misalnya, implementasi sekolah dan kampus hijau, sedekah sampah, sekolah kader lingkungan (daratan, sungai, dan laut), pembangunan kawasan penyejuk bumi, gerakan audit lingkungan mandiri, dan pengembangan energi baru dan terbarukan. Melalui pelestarian lingkungan dan pengendalian perubahan iklim, Muhammadiyah turut berkiprah bagi terwujudnya masyarakat dunia yang lebih tenteram dan beradab.
e. Pembangunan Peradaban
Islam adalah agama peradaban (din al-hadharah), yang menjadi landasan dan dorongan bagi kemajuan umat manusia. Dalam artinya yang luas peradaban bermakna pencapaian manusia dalam membangun alam pikiran, cara hidup, ilmu pengetahuan dan teknologi, yang terwujud dalam bangunan-bangunan material maupun non-material. Dalam pengertian ini, Islam telah memberikan sumbangan yang sangat berharga bagi bangunan peradaban umat manusia. Umat Islam selanjutnya memikul tanggung jawab untuk terus-menerus mengembangkan peradaban yang mencerminkan nilai-nilai unggul Islam sebagai agama yang maju dan mendorong kemajuan.
Membangun peradaban adalah pekerjaan jangka panjang yang tiada akhir, yang harus dimulai dari hal- hal yang kecil yang pada waktunya memiliki dampak besar. Membangun peradaban berarti upaya agar nilai- nilai keadaban dapat terwujudkan dalam perilaku dan kehidupan individu, masyarakat, bangsa, dan dunia.
Secara individu, dalam kehidupan sehari-hari, membangun peradaban berarti menegaskan peran sebagai warga dunia yang berkeadaban. Peran dan tanggung jawab sebagai warga yang berkeadaban itu selanjutnya menyebar, seperti halnya dakwah, sehingga turut berpengaruh dan bermanfaat dalam skala yang lebih besar, yakni terwujudnya bangsa, negara dan masyarakat global yang berkeadaban. Posisi Rasulullah sebagai pribadi yang memiliki karakter uswatun hasanah memberi pengaruh dan memancarkan sinar terang bagi peradaban dunia. Pribadi Rasulullah itu kemudian berhasil membangun akar-akar peradaban di Madinah al-Munawwarah (kota yang tercerahkan), dan kemudian membawa pencerahan itu ke seluruh dunia. Pencerahan yang dilakukan oleh Rasulullah menjadi perwujudan Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam.
Ikhtiar Muhammadiyah dalam membangun peradaban merupakan pergulatan dinamis antara konsep dan praksis. Hal itu sejalan dengan karakteristik Kiai Dahlan sebagai seorang pemikir dan sekaligus penggerak, sehingga sebuah pemikiran akan menjadi selalu berguna (ilmu amaliah) dan sebuah tindakan senantiasa bermakna (amal ilmiah). Konsep teologis Muhammadiyah dalam membangun peradaban, di antaranya, berdasarkan pada prinsip teologi al-Ma’un dan teologi al-‘Ashr. Teologi al-Ma’un memuat spirit keadilan, pemerataan, dan pemihakan terhadap orang-orang yang terpinggirkan, sementara teologi al-‘Ashr menekankan pentingnya landasan spiritual, amal saleh, dan tanggung jawab sosial dengan penuh kedisiplinan. Atas dasar itu, peradaban dunia yang dicita-citakan haruslah mencerminkan keadilan, pemerataan, pemihakan, spiritualitas, amal saleh, kesetaraan, dan tanggung jawab bersama.
Islam sebagai din al-hadharah (agama peradaban) memiliki pandangan dunia (wijhah) yang dibangun atas landasan teologis yang kokoh sekaligus relevan dengan situasi sezaman. Islam Berkemajuan memandang perlunya pembangunan peradaban dunia yang tidak hanya bertumpu pada kemajuan ekonomi, ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi juga pada nilai-nilai spiritual dan moral yang unggul. Peradaban yang dibangun atas landasan serba duniawi akan rapuh dan bahkan mendatangkan malapetaka, dan karena itu nilai-nilai agama harus dijadikan sebagai landasan dan ruh dari peradaban itu agar mengantarkan manusia kepada kesejahteraan lahir dan batin. Perwujudan Islam Berkemajuan, dengan demikian, merupakan perjalanan panjang dan tiada henti untuk menggapai terciptanya peradaban global yang maju dan menciptakan tata dunia yang damai dan berkeadilan. Upaya Muhammadiyah mendorong perdamaian, keadilan, dan kesejahteraan warga dunia merupakan bagian tak terpisahkan dari kelanjutan misi Nabi Muhammad dalam menyebarkan rahmat ke seluruh dunia.
4. Perkhidmatan Masa Depan
Islam Berkemajuan menegaskan pentingnya berjuang pada masa sekarang untuk mewujudkan masa depan kehidupan yang lebih baik. Allah mewajibkan setiap orang beriman untuk berpikir dan berbuat tidak hanya untuk kepentingan hari ini tetapi juga untuk masa mendatang (Q.S. al-Hasyr [59]: 18). Allah melarang sikap mengikuti hawa nafsu (ittakhaza ilahahu hawah), berperilaku boros (tabdzir), berlebih-lebihan (israf), dan merusak (ifsad) kehidupan, yang semuanya mengakibatkan malapetaka bagi masa depan. Allah mengecam orang-orang yang meninggalkan malapetaka bagi mereka yang hidup kemudian. Allah mengecam mereka yang berorientasi serba dunia (jangka pendek) dan melupakan orientasi akhirat (jangka panjang).
Mempersiapkan masa depan kehidupan yang lebih baik harus dilakukan dengan mempersiapkan generasi yang akan datang dengan wawasan, moral, ilmu pengetahuan, teknologi dan keterampilan hidup yang baik agar mampu menghadapi tantangan pada zamannya. Ilmu pengetahuan dewasa ini semakin menentukan kehidupan manusia dengan berbagai terobosan yang ditemukan. Perkembangan kontemporer menyadarkan betapa teknologi komunikasi digital telah berkembang jauh lebih cepat dari yang diperkirakan sebelumnya. Revolusi teknologi harus dimanfaatkan sebagai instrumen bagi peningkatan dan pemerataan kesejahteraan manusia.
Pentingnya pengembangan kemampuan sains dan teknologi untuk menghadapi masa depan dapat dilihat dari kenyataan bahwa kemajuan ekonomi, politik dan sosial dewasa ini ditentukan oleh kemampuan dalam mengembangkan sains dan teknologi. Teknologi telepon seluler telah mencapai tingkat perkembangan yang memungkinkan penggunaannya pada bidang-bidang keamanan dan kesehatan. Perkembangan teknologi akan semakin cepat dan akan memiliki fungsi yang menerobos semua aspek kehidupan manusia.
Mempersiapkan masa depan merupakan bagian penting dari kewajiban keagamaan. Islam mengajarkan bahwa kehidupan di dunia ini adalah ladang untuk beramal yang buahnya dapat dirasakan mungkin di dunia ini atau di akhirat nanti. Islam mengecam mereka yang hanya berpikir jangka pendek dan melupakan jangka panjang. Dalam konteks kehidupan global, setiap orang memiliki kewajiban untuk menjaga kelestarian dan keseimbangan alam agar bumi tetap menjadi tempat hidup yang layak pada masa mendatang. Dalam kontkes kehidupan bernegara, Islam Berkemajuan mengharuskan perjuangan untuk mewariskan Indonesia dalam keadaan tetap utuh, bersatu, berdaulat, dan maju. Negara yang telah diletakkan fondasinya oleh para pendiri harus dirawat dan dikembangkan dengan baik sehingga menjadi kokoh dalam menghadapi tantangan zaman. Dalam konteks kehidupan umat, kondisi yang positif, seperti ukhuwah dan toleransi, harus senantiasa dikembangkan agar tidak mewariskan kondisi umat yang tidak sehat kepada generasi mendatang.
Ajaran Islam menekankan pentingnya bercermin ke belakang dan berorientasi ke depan. Al-Qur’an dan al-Sunnah adalah sumber ajaran Islam, yang kemudian ditafsirkan, diberi makna dan diimplementasikan oleh generasi pasca Nabi Muhammad SAW. Di tangan beberapa generasi awal setelah Nabi itulah peradaban Islam dengan kekayaan material dan immaterial yang sangat berharga diwariskan kepada generasi kemudian. Kekayaan masa lalu itu haruslah menjadi kaca untuk bercermin dan mengambil hikmah agar lebih siap dalam menghadapi tantangan masa kini dan masa mendatang. Pencapaian mereka pada masa lalu menjadi inspirasi sehingga memungkinkan umat yang hidup sekarang berijtihad untuk mengembangkan tajdid dalam bentuk pikiran dan perjuangan baru dalam kehidupan yang terus berubah agar mampu memainkan peran sebagai hamba Allah, khalifah Allah, dan umat terbaik di muka bumi ini.
BAB V
Penutup
Islam Berkemajuan dikembangkan atas dasar keyakinan bahwa Islam adalah agama yang mengajarkan kemajuan dalam semua aspek kehidupan. Sebagai organisasi yang berdasarkan Islam, Muhammadiyah dan seluruh warganya, terutama para pemimpin, memiliki tanggung jawab untuk senantiasa menguatkan nilai-nilai kemajuan itu dalam pemahaman agama dan perwujudannya dalam kehidupan pribadi, berorganisasi, bermasyarakat, berbangsa, dan berkemanusiaan universal. Warga Muhammadiyah juga memikul tanggung jawab untuk mendakwahkan konsep dasar Islam Berkemajuan agar menjadi kesadaran bagi umat Islam untuk meraih keunggulan, dan pemahaman bagi masyarakat global untuk menciptakan tata dunia yang ramah, adil dan damai demi kemaslahatan umat manusia pada khususnya dan seluruh ciptaan Allah SWT di muka bumi ini pada umumnya. Semua lembaga di dalam Persyarikatan Muhammadiyah berkewajiban untuk mengaktualisasikan konsep dasar Islam Berkemajuan dalam semua gerak dan langkahnya sebagai perkhidmatan kepada umat Islam, bangsa Indonesia, dan seluruh umat manusia. Tanggung jawab tersebut merupakan konsekuensi bagi setiap warga Muhammadiyah yang secara sadar dan sukarela memilih Muhammadiyah yang berkepribadian dakwah dan tajdid ini sebagai wadah untuk beramal dan berkhidmat untuk mencapai ridla Allah SWT. Dalam rangka mencapai tujuan itu, Muhammadiyah mengembangkan kerja sama dengan semua kalangan atas prinsip kebajikan dan ketakwaan. (*)
Diambil dari buku Risalah Islam Berkemajuan: Memajukan Indonesia Mencerahkan Semesta.
Tim Penyusun Syafiq A Mughni, Abd Mu’ti, Syamsul Arifin, Bambang Cipto, Tobroni, Najib Burhani, Pradana Boy ZTF, Subhan Setowara, Hasnan Bachtiar, dan Nafik Muthohirin; Diterbitkan oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah; Dicetak Oleh PT Gramasurya (Percetakan Muhammadiyah) Cetakan Pertama, Juli 2022.
Risalah Islam Berkemajuan dsampaikan pada Muktamar Ke-48 Muhammadiyahdi Surakarta, 23-25 Rabiul Akhir 1444/18-20 November 2022