Wajah Islam Lamongan dalam Bingkai Desa Balun oleh Sholikh Al Huda, Peneliti Pusat Pengkajian Pengembangan Masyarakat Islam Pascasarjana UM Surabaya.
PWMU.CO– Desa Balun Kecamatan Turi Kabupaten Lamongan terbilang cukup unik dibandingkan desa lainnya. Di sini heterogenitas masyarakatnya menonjol dari segi keagamaan.
Ada tiga agama. Islam, Kristen, Hindu, yang dianut warga desa. Tapi tak pernah terjadi gesekan antar agama. Islam memang mayoritas. Bisa menghargai yang minoritas.
Menurut data BPS Kabupaten Lamongan tahun 2018, jumlah penduduk Desa Balun 4.744 orang, Jumlah KK 1.138. Dari jumlah itu warga muslim sebanyak 3.498 orang (75 persen), Kristen 857 orang (18 persen), Hindu 289 orang (7 persen).
Mayoritas pekerjaan petani dan petambak. Ada juga guru, pegawai negeri, dan pedagang. Mereka hidup rukun berdampingan saling mendukung dalam kegiatan sosial, budaya dan kemanusiaan.
Simbol kerukunan itu juga ditunjukkan dari tiga tempat ibadah berada pada satu lokasi. Masjid Miftahul Huda letaknya bersebelahan dengan Pura Sweta Maha Suci. Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW) berada di sebelah timur masjid.
Di acara sosial keagamaan semua warga hadir. Misal, saat ada kegiatan selamatan kematian, kenduri, perayaan Natal, pawai ogoh-ogoh, kerja bakti bersama.
Potret masyarakat Balun itu mewakili wajah Islam moderat di Lamongan. Di tempat lain kabupaten ini gambarannya kurang lebih sama. Keberagamaan yang harmoni. Sikap toleransi, inklusif, dan saling menghargai di tengah pluralistas sosial, agama, politik, golongan, dan budaya.
Kehidupan masyarakat terbangun dalam relasi sosial keberagamaan antara mayoritas muslim dengan minoritas Kristen dan Hindu. Harmoni tanpa ada hegemoni dan diskriminasi mayoritas terhadap minoritas.
Fakta sosiologis ini menepis opini seolah-olah wajah Islam masyarakat Lamongan itu keras, radikal, dan intoleran gara-gara kasus Bom Bali 12 Oktober 2002.
Pelaku Bom Bali seperti Amrozi, Ali Gufron, Ali Imron yang warga Solokuro Lamongan tidak bisa di-gebyah uyah menjadi watak muslim Lamongan seluruhnya. Apalagi dalam kasus itu ada Imam Samudra yang berasal dari Serang, Banten, yang tak juga mewakili etnis setempat.
Watak keislaman Amrozi dkk yang dinilai keras, radikal, militan itu lebih banyak faktor pengaruh pergaulan dari luar negeri. Mereka pernah berjihad di Afghanistan saat melawan Uni Sovyet tahun 1990-an. Juga pernah ke Moro Filipina. Jihad model itu yang ingin dipraktikkan oleh mereka di dalam negeri sehingga menimbulkan konflik besar.
Fakta Sosiologis
Riset saya di Desa Balun menunjukkan fakta sosiologis terkait pola keislaman masyarakat Lamongan yang menggambarkan wajah moderat. Kedamaian dan saling toleran. Islam sebagai agama mayoritas, bisa menjadi pengayom bagi minoritas.
Mayoritas Islam tidak menjadi alasan untuk menghegemoni apalagi bullying, diskriminasi terhadap warga minoritas Hindu-Kristen.
Riset saya bertema Praksis Moderasi Keagamaan Berbasis Kearifan Lokal Antar Umat Beragama (Islam-Hindu-Kristen) di Desa Balun Kecamatan Turi Kabupaten Lamongan dilakukan tahun 2021-2022. Riset ini didanai oleh LPDP Kemendikbudristekdikti.
Fakta sosiologi yang ditemukan dalam riset itu, pertama, masyarakat Lamongan yang majemuk dapat hidup secara damai tanpa harus menegasikan karena perbedaan agama.
Kedua, wajah Islam moderat yang damai terpotret dari pola pemakaman masyarakat Desa Balun yang dijadikan satu kompleks tanpa blok berdasar agama. Inilah Kuburan Multikultural.
Ini potret sikap toleransi masyarakat muslim Lamongan. Walaupun mayoritas tetapi memberi ruang untuk pemakaman warga minoritas yang berbeda agama.
Ketiga, harmoni beragama diwakili dari tiga tempat ibadah, Islam-Kristen-Hindu berdampingan dalam satu lokasi. Warga bisa menyesuaikan kegiatan ibadah sehingga tidak mengganggu.
Warga muslim yang mayoritas memberikan ruang yang sama kepada agama minoritas untuk mengamalkan ajaran agamanya di tempat ibadah masing-masing. Sementara di wilayah lain masih sering menyaksikan pelarangan pendirian tempat ibadah.
Dari potret di atas yang menjadi pertanyaan adalah mengapa masyarakat muslim Lamongan dapat menampilkan ekspresi keislaman moderat di tengah pluralitas keagamaan Islam-Hindu-Kristen?
Sementara di tempat lain pluralitas keagamaan dan mayoritas sering dijadikan alat untuk perpecahan, permusuhan, konflik.
Jawabannya, masyarakat muslim Lamongan seperti di Desa Balun dapat mengendalikan ego fanatisme keagamaan, saling mengalah dalam membangun relasi sosial keagamaan. Bisa membangun kohesi antara nilai moderasi dengan kearifan lokal yang berkembang di masyarakat.
Hal itu dapat dijadikan pembelajaran bagi bangsa Indonesia yang majemuk secara suku, agama, ras, dan golongan dalam membangun kehidupan sosial keagamaan yang harmoni.
Editor Sugeng Purwanto