Pesan Khusus Letto di Balik Lagu–lagunya untuk Warga Muhammadiyah; Liputan Kontributor PWMU.CO Gresik Sayyidah Nuriyah Editor Mohammad Nurfatoni
PWMU.CO – Penampilan Letto di acara Malam Mangayubagyo Muktamar Ke-48 Muhammadiyah dan Aisyiyah memukau peserta, Jumat (18/11/22). Mereka membawakan 10 lagu. Menyambut Janji membuka penampilan malam itu.
“Kumenanti sang kekasih, dalam sunyi kubersuara lirih. Yang berganti hanya buih. Yang sejati tak akan berdalih. Lingkaran putih telah terpilih.Dan demi cinta kutepiskan semua keraguan jiwa dan kuganti dengan kepastian. Hatiku ini yang mulai mengerti dan berani tuk menyambut janji,” Begitu sepenggal lirik lagunya.
Usai menyanyikannya, Noe–sapaan akrab Sabrang Mowo Damar Panuluh BMath BSc, sang vokalis–mendoakan, “Semoga saudara-saudaraku semua dalam keadaan sehat, dalam keadaan waras, dan dalam keadaan barakah selalu.”
Sebelum lanjut ke lagu kedua, dia menerangkan, “Lagu pertama tadi berjudul ‘Menyambut Janji‘ karena saya menganggap segini banyak orang berkumpul tidak mungkin tanpa janji suci, janji putih, janji perjuangan. Lingkaran putih untuk membela umat manusia. Selamat Muktamar Ke-48!”
Begitulah pesan pertama yang putra sulung budayawan Emha Ainun Nadjib itu lontarkan. Tak sekadar menyanyi apik berkolaborasi dengan Gamelan Gayam 16 Yogyakarta dan Tantri ‘Kotak’, Noe juga menyelipkan ujaran-ujaran puitis saat berpindah dari menyanyi satu lagu ke lagu lainnya.
Sandaran Hati
Kemudian Noe menyanyikan salah satu lagu populer Letto yang naik daun usai menjadi soundtrack sinetron ‘Wulan’. Saat iringan musik mulai mengalun, Noe mengatakan, “Tidak ada perjalanan mudah. Semua perjalanan mengalami susah. Tapi ketika kita bersandar pada Yang Sejati, tidak ada yang bisa menghalangi.”
Barulah kemudian Alumnus University of Alberta, Kanada, itu mulai menyanyi Sandaran Hati berikut, “Dan ku tahu pasti, kau menemani. Dalam hidupku, kesendirianku, teringat ku teringat, pada janjiMu ku terikat. Hanya sekejap ku berdiri, ku lakukan sepenuh hati. Peduli ku peduli, siang dan malam yang berganti, sedihku ini tak ada arti bila Kaulah sandaran hati!”
Di tengah menyanyi lagu hits tersebut, Noe berujar, “Hidup cuma sekejap tapi diisi dengan kesungguhan sepenuh hati!”
Gamelan Gayam 16 Yogyakarta langsung menembang, kemudian Noe bernyanyi lagi. Inilah sepenggal liriknya, “Inikah yang Kau mau? Benarkah ini jalan-Mu? Hanyalah Engkau yang aku tuju. Pegang erat tanganku, bimbing langkah kakiku. Aku hilang arah tanpa hadir-Mu.”
Senyumanmu
“Untuk yang hatinya sedang butuh sandaran, untuk yang disandari, kadang-kadang secercah senyuman cukup untuk memberi kegembiraan,” ujar Noe sebelum mengungkap akan membawakan lagu Seyumanmu.
Noe yang malam itu bertopi itu lalu mengingatkan, “Karena kadang-kadang bedanya surga sama neraka itu setipis senyuman. Pulang ke rumah ibu (dengan) tersenyum, surga! Pulang ke rumah ibu (dengan) cemberut, bisa jadi neraka!”
Selain itu dia mengungkap senyuman murah dan indah. “Mari kita tersenyum satu sama lain karena semua orang punya fight (perangnya) dalam hidupnya. Satu senyuman bisa memberi kekuatan untuk saudara,” ajaknya.
Dia lantas mengaku sambil tersenyum, “Saya biasanya nggak bercerita makna lagu ini. Tapi sepertinya saya wajib ngomong itu di sini. Karena yang saya bicarakan di lagu itu ada kalimat begini, ‘Sinar matamu, lembut katamu mampu menggubah dunia’.”
Noe bertanya retorik, “Siapa yang bisa seperti itu? Hanya satu junjungan kita, Kanjeng Nabi Muhammad. Sekarang namanya dipakai di sini, Muhammadiyah. Seharusnya mampu menggubah dunia, aamiin.”
Lubang di Hati
Lagu berikutnya yang Letto tampilkan bercerita perjalanan manusia dari lahir, terbuka matanya, dalam hatinya ada lubang pengin mencari penutupnya. Apa, siapa, yang menutupnya? Apakah cinta? Apakah cita-cita? Ataukah sang Pencipta yang bisa mengisi hatinya?”
Menurutnya, semua perjalanan akan menemukan jawabannya pada waktunya. “Tapi kalau semua kumpul, kita bisa saling bantu satu sama lain mencerahkan peradaban,” imbuh pria kelahiran Yogyakarta, 19 Juni 1979 itu.
“Ku mengira hanya dialah obatnya. Tapi kusadari bukan itu yang kucari. Ku teruskan perjalanan panjang yang begitu melelahkan dan kuyakin Kau tak ingin aku berhenti,” demikian penggalan lagu ‘Lubang di Hati’ yang Noe lantunkan di atas panggung megah petang itu. “Ada cinta, ada cita, ada Pencipta,” tegas Noe di ujung lagu.
Permintaan Hati
Setiap perjalanan pasti punya permintaan dalam hatinya. Untuk itulah, kata Noe, Letto menciptakan lagu ‘Permintaan Hati’. “Setiap hati memiliki kesunyiannya. Setiap hati memiliki harapannya,” imbuhnya yang langsung bersambut permainan gamelan.
Noe menyanyi, “Terbuai aku hilang, terjatuh aku dalam keindahan penantian. Terucap keraguan hati yang bimbang, yang terhalang kepastian cinta. Aku hilang.”
Tantri yang tampil anggun dengan hijabnya langsung menyambung, “Tersabut kabut malam. Terbiasnya harapan yang tersimpan suci tak bertuan. Terasa kerinduan hati yang bimbang, yang terhempas, kepastian cinta.”
Para penonton pun kompak menyanyi, “Dengarkanlah permintaan hati yang teraniaya sunyi dan berikanlah arti pada hidupku yang terhempas, yang terlepas.”
Usai menyanyi, Noe menerangkan, “Manusia kadang lemah juga, punya minta-minta dalam hati. Yo nggak selalu gagah, tapi itu yang namanya manusia kayak gitu. Semoga diingatkan manusianya kita. Apapun topinya, apapun bajunya, apapun lambangnya, apapun identitasnya pada intinya adalah manusia!”
Manusia Manusiawi
Tantri lantas menyanyikan lagunya berjudul ‘Manusia Manusiawi’. Begini sepenggal liriknya, “Jangan menyiksa diri, jangan coba hakimi lagi. Yang terjadi, sudah terjadi. Salahmu telah berlalu. Keras tak harus benci. Lupa bisa saja terjadi. Padamkan api, dinginkan hati, hatimu, hatimu.”
“Manusia, manusiawi. Jatuh dan bangkit lagi. Maafkanlah, maafkan diri. Kau tak serendah ini. Manusia mengembarai langit. Manusia menyusuri cakrawala. Tidak untuk menguasainya melainkan untuk menguji dirinya apakah ia bertahan menjadi manusia. Tidak untuk hebat, kuasa, atau perkasa melainkan untuk setia sebagai manusia,” Begitu sebagian lirik yang sebenarnya Kotak terinspirasi dari Emha Ainun Nadjib.
Saking dahsyatnya, Noe memuji, “Satu lagu seperti meteor. Sekali lewat itu mencerahkan langit.” Dia lantas meminta Tantri menguak pesan ‘manusia’ yang ingin ia sampaikan lewat lagu Kotak itu.
Tantri mengungkap, waktu menulis penggalan liriknya, dia hanya bertutur melalui tulisan. Dia sendiri tak menduga bisa menulisnya begitu. “Pas tak baca lagi, ternyata memang saat itu saya merasa hakekat dan tugas manusia itu mencari jalan pulang. Carilah jalan pulang dengan caranya masing-masing!” tuturnya.
Fatwa Hati dan Ruang Rindu
Sebelum lanjut bernyanyi ‘Fatwa Hati’ Noe berujar, “Mungkin satu hal yang kita lupa. Terlahir sebagai manusia dan tidak pernah dilepas. Ada fatwa hati yang selalu berkata, mengingatkan, mengajarkan. Kadang kita terlalu tertutup sama dunia untuk lupa mendengarkan kalimat-kalimat fatwa hati.”
Usai menyanyikannya, pria berkaca mata itu bertutur, “Kadang kita merasa dekat sama Allah, kadang kita merasa jauh sama Allah. Ketika dekat Allah sedang mengajarkan kemesraan, ketika jauh Allah sedang mengajarkan kerinduan.”
Hal ini mengantarnya untuk menyanyi ‘Ruang Rindu’, “Kau datang dan pergi oh begitu saja. Semua kuterima apa adanya. Mata terpejam dan hati menggumam di ruang rindu kita bertemu.”
Sedikit mengingatkan, lanjut Noe berbicara, bukan rindu yang datang dari cinta. “Tapi semua cinta yang kita rasakan di dunia datang dari kerinduan kepada Yang Maha,” tambahnya.
Berikut penggalan liriknya, “Jalanku hampa dan kusentuh Dia. Terasa hangat oh di dalam hati. Ku pegang erat dan kuhalangi waktu, tak urung jua kulihat Dia pergi.”
Sampai Nanti sampai Mati
Noe mengatakan, “Karena sebelum kita mati, perjalanan belum selesai. Semua masih bisa dilakukan. Semua hidup pasti mati, tapi tidak semua hidup bisa memberikan arti. Mari isi hidup dengan penuh arti kepada yang lain! Tetap semangat apapun yang terjadi, sampai nanti sampai mati!”
Tim Gamelan Gayam 16 Yogyakarta pun kembali beraksi hingga Noe menyanyi, “Kalau kau pernah takut mati, sama. Kalau kau pernah patah hati, aku juga iya. Dan seringkali sial datang dan pergi tanpa permisi kepadamu, suasana hati. Tak peduli.”
“Kalau kau kejar mimpimu, salut! Kalau kau ingin berhenti ingat tuk mulai lagi! Tetap semangat dan teguran hati di setiap hari sampai nanti, sampai mati. Kadang memang cinta yang terbagi, kadang memang seringkali mimpi tak terpenuhi. Tetap melangkah dan tegapkan hati di setiap hari sampai nanti sampai mati.”
Sebelum Cahaya
Akhirnya, Noe mengucap terima kasih karena sudah menjadikan Letto sebagai bagian sejarah besar Muhammadiyah. Dia pun mengenalkan judul lagu terakhirnya, “Minaddhulumati ilannur, dari kegelapan menuju cahaya. Kalau judul Indonesianya ‘Sebelum Cahaya’,” ujarnya bersambut tepukan tangan riuh peserta dan penggembira Muktamar.
Sebelum menutup penampilannya, dia tiba-tiba mengajukan pertanyaan, “Siapa yang pernah makan buah salak?” Usai melihat penonton di hadapannya, Noe menyimpulkan semua pernah makan salak.
“Di sini siapa yang pernah menanam pohon salak? Jauh lebih sedikit daripada yang memakan. Tapi itulah yang namanya fastabiqul khairat, berlomba dalam kebaikan,” lanjutnya.
Dia mengajak penonton istikamah pada apa yang mereka lakukan. “Karena walau sedikit yang menanam, yang merasakan manfaatnya semua. Tadi ada yang memberi cahaya di tangannya, yang merasakan manfaatnya sekitarnya,” imbuhnya.
Bicara menuju cahaya, menurutnya, cahaya tidak akan datang sebelum manusia mau berusaha untuk memegang cahaya. Dia pun mengucap terima kasih kepada para penonton yang menyalakan ‘cahaya’ dari ponselnya. “Mungkin satu tangan cahayanya kecil, tapi ketika semua orang bersedia memegang cahaya di tangannya, niscaya masa depan akan terang-benderang! Mencerahkan peradaban!”
Di ujung lagu ‘Sebelum Cahaya’ itulah Noe menerjemahkan sepenggal nyanyiannya dalam bahasa Jawa, “Elingo sliramu marang embun enjang kang prasojo, kang ngganti sliramu tumekaning cahyo.” Artinya, ingatkah engkau kepada embun pagi bersahaja yang menemanimu sebelum cahaya.
Letto lantas menutup penampilannya dengan lagu Sebelum Cahaya. Noe mengakhiri dengan doa, “Ya Allah ya Tuhan kami, semoga Muhammadiyah, semoga saudara-saudaraku semua yang ada di sini selau dijaga martabatnya oleh Allah, dijaga manfaatnya oleh Allah, dijaga rezekinya oleh Allah.”
“Semoga bisa menjadi cahaya untuk masa depan Indonesia dan dunia. Amin yaa Rabbal alamin. Allah akan membelaimu, aamiin, cinta!” tutupnya seraya membungkukkan badan. Petikan gitar pun semakin memukau seiring gemuruh tepuk tangan peserta di Edutorium KH Ahmad Dahlan Universitas Muhammadiyah (UM) Surakarta malam itu. (*)