Hal Tak Lazim di Muktamar Muhammadiyah oleh Sugeng Purwanto, Ketua Lembaga Informasi dan Komunikasi PWM Jatim.
PWMU.CO– Isu darah segar menyembur menjelang Muktamar ke 48 Muhammadiyah Aisyiyah di Surakarta. Ketika pemilihan 13 anggota pimpinan pusat berlangsung ternyata hanya empat orang baru yang bisa menembus benteng muktamar.
Artinya hanya 30 persen darah segar yang mengalir mengisi pimpinan pusat. Padahal isu darah segar menginginkan separo pimpinan lama tergantikan. Ternyata sebanyak 9 tokoh-tokoh lama (70 persen) masih bertahan.
Sepertinya isu darah segar yang ramai dan hangat di luar muktamar tak berpengaruh banyak bagi muktamirin yang menentukan suara memilih pimpinan. Jumlah anggota muktamar 2.558 orang. Yang menggunakan hak suara 2.519 orang.
Empat tokoh baru di PP Muhammadiyah periode 2022-2027 adalah Prof Dr Syamsul Anwar (1494 suara), Prof Dr Hilman Latief (1675), Dr M Saad Ibrahim (1333 suara), Prof Dr Irwan Akib (1001 suara).
Sedangkan sembilan tokoh lama yang masih terpilih Prof Dr Haedar Nashir (2203 suara), Abdul Mu’ti (2159 suara), Dr Anwar Abbas (1820 suara), Dr M Busyro Muqoddas (1778 suara), Prof Dr Muhadjir Effendy (1598 suara), Dr Agung Danarto (1489 suara), Prof Dr Syafiq A. Mughni (1152 suara), Prof Dr Dadang Kahmad (1119 suara), Ahmad Dahlan Rais MHum (1080 suara).
Jumlah Dukungan
Melihat 13 tokoh-tokoh yang terpilih sepertinya ada hal tak lazim terjadi di Muktamar Muhammadiyah. Lazimnya calon pimpinan terpilih bisa dilihat dari jumlah pendukung di belakangnya.
Tokoh-tokoh dari Jawa Tengah dan Jawa Timur wajar terpilih karena jumlah utusan muktamirin paling banyak. Di atas 300 orang. Tinggal berkoalisi saling mendukung dengan PWM lain maka jagonya lolos.
Tapi hal tak lazim di muktamar terjadi. Ada calon PWM dengan jumlah utusan kecil namun mendapat suara banyak. Misal, Agung Danarto. Dia calon dari PWM Yogyakarta yang jumlah utusannya 50 orang. Namun dia memperoleh 1489 suara.
Kenapa anggota muktamar dari PWM lain memberikan suara kepada dia? Muktamirin tidak hanya memperhitungkan darimana dia berasal namun melihat apa yang telah dilakukan. Agung Danarto bisa dipastikan tetap menduduki posisi sekretaris. Sebab muktamirin memilih untuk jabatan itu. Ini pilihan rasional.
Beda dengan nama Anwar Abbas dan Busyro Muqoddas. Keduanya tetap terpilih karena populer. Sering berkomentar keras di media massa. Kritis mengomentari kebijakan pemerintah.
Anwar Abbas itu dari PWM Sumatra Barat. PWM dari Sumatra mendukungnya. Sedangkan Busyro dari PWM Yogya meski jumlah utusannya sedikit tapi dia terkenal. Pernah menjadi Komisioner KPK (Komisi Pemberantas Korupsi) yang garang.
Ternyata muktamirin menyukai pimpinan yang kritis, militan, dan radikal. Ini diperlukan untuk memelihara militansi warga Muhammadiyah. Walaupun ada yang mengkritik Anwar Abbas besar karena kevokalannya saja tak dimasalahkan muktamirin.
Anwar Abbas sendiri mengakui di Muhammadiyah dia yang membidangi wirausaha dan ekonomi sebenarnya tidak pas. Sebab latar belakangnya bukan pengusaha. Dia dosen agama dan ekonomi Islam di UIN Jakarta.
Karakter Pemilih
Keberadaan Abbas dan Busyro untuk mengimbangi gaya kepemimpinan Haedar Nashir yang kalem dan tenang. Supaya Muhammadiyah tidak lembek seperti bubur yang gampang dikunyah.
Ibaratnya Anwar Abbas dan Busyro Muqoddas main tancap gas, Haedar Nashir yang pegang rem.
Komposisi peran pimpinan ini bisa juga seperti permainan orkestra. Sang dirijen yang mengatur kapan suara melandai, meninggi, menghentak, rancak, atau mendayu-dayu kayak orkes melayu.
Ditambah gaya penampilan Sekretaris Umum Abdul Mu’ti yang paling lucu di antara 13 pimpinan itu gampang mencairkan suasana. Dia kalau di permainan bola bisa menjadi playmaker. Lincah berpindah posisi. Bisa mengoper bola ke teman, kadang mengumpan bola ke gawang. Sesekali menyerang seperti striker.
Jika di permainan karambol, gaya sindiran kocak Abdul Mu’ti itu seperti main ribbon. Menyentil sasaran di depan dengan cara menyodokkan gaco lewat samping. Sasarannya kena. Banyak yang berharap Mu’ti tampil menjadi ketua umum supaya Muhammadiyah lebih segar dan penuh tawa.
Haedar dan Mu’ti terpilih lebih besar karena faktor posisinya sebagai ketua umum dan sekretaris umum yang dinilai berhasil. Setidaknya diukur dari Laporan Pertanggungjawabannya diterima aklamasi. Tak ada yang mempersoalkan.
Abdul Mu’ti berasal dari Kudus menjadi kebanggaan warga Muhammadiyah Jawa Tengah yang utusan muktamirinnya paling banyak. Sedangkan Haedar Nashir tinggal di Yogya tapi juga didukung warga Muhammadiyah Jawa Barat karena dia berdarah Sunda.
Karakter muktamirin menentukan orang-orang yang terpilih jadi pimpinan. Popularitas banyak menjadi pertimbangan. Sebab muktamirin hanya mengenal mereka yang sudah jadi. Ini juga terjadi akibat daftar calon baru dibuka saat Tanwir. Anggota muktamar tak sempat mempelajarinya. Para pimpinan yang senior itu merasa nyaman dan mapan dengan aturan tertutup meskipun ada usulan supaya dibuka.
Tokoh-tokoh baru dari daerah yang belum dikenal luas harus bersusah payah mengenalkan dan menggalang dukungan dari PWM lain. Kalau belum populer susah menembus benteng muktamar. Bersyukur ada empat pimpinan baru masuk di PP Muhammadiyah. Semoga membawa kesegaran, keterbukaan, dan keberkahan. (*)