PWMU.CO – Dai-dai Muhammadiyah Kota Surabaya mengikuti Pembinaan Dai Muda se-Kota Surabaya, yang diselenggarakan oleh Pemerintah Kota dan Majelis Ulama Indonesia (MUI), di Masjid Muhajirin Jalan Jimerto Surabaya, Senin (13/3) malam. Mereka adalah Dikky Sadqumullah MPdI, M Syaikhul Islam MHI, Munahar SPdI, Ferry Yudi AS MPdI, Imam Sapari MPdI, Aksar Wiyono MPdI, Fajrul Islam SPdI, Rosyidi SE, Aksar wiyono SThI MPdI, Banjar SS MPdI, Endro Suwarno S PdI, M.Rosyidi SE, dan Muhammad Iltizam Amrullah SSy.
Bersama dai muda lainnya dari ormas yang ada di Surabaya seperti NU, Al Irsyad, dan Al Khoiriyah, mereka dibekali materi Fiqhud Dakwah Seorang Dai yang disampaikan oleh KH Sya’roni dari MUI Kota Surabaya. Dia menyampaikan 5 hal yang harus dipahami oleh seorang dai atau mubaligh sebagai peyampai dakwah.
(Baca: Ngaji pada Dai Muhammadiyah Bisa Memilih Materi)
Pertama, dai harus memilki rangkuman ayat-ayat berkaitan dengan tema yang akan di sampaikan. “Jangan ‘obral’ ayat terlalu banyak. Sedikit tapi ulasannya yang diperluas,” kata Sya’roni. “Kedua, hadist yang dinukil hendaklah harus yang shahih,” ucapnya.
Ketiga, katanya, dari hendaknya mengambil tema atau isu yang sedang trend agar menarik para jamaah. “Dai juga harus emahami para pendengar atau jamaahnya itu siapa? Bagaimana latar belakangnya apa? Kita tidak boleh mengeneralisasi materi,” ungkapnya. Dan kelima, performance ketika tampil harus prima dan menarik.
(Baca juga: Dakwah Muhammadiyah Tak Boleh Dininabobokkan Masa Lalu)
Menyinggung soal dugaan adanya dai beraliran keras, Sya’roni memberi penegasan bahwa batasan keras atau tidaknya materi dakwah terletak di antaranya pada bagaimana mengartikan ayat dan hadits. “Jangan tekstual ataupun leterlek sesuai kalimat teksnya,” tuturnya.
Menafsirkan ayat atau hadist, kata dia, harus disampaikan dengan kearifan lokal. “Jangan memicu kontroversi yang mengandung kebencian dan memantik perpecahan. Jangan suka mencela kelompok atau pribadi yang beda pemahaman. Dan jangan membahas khilafiyah atau furuiyah secara terbuka,” jelasnya.
(Baca juga: Khutbah di Atas Kuburan, Dakwah Abnormal Lembaga Khusus Bentukan Muhammadiyah)
Sebelumnya, di hadapan para dai muda itu Sya’roni mengatakan bahwa yang dia sampaikan ini bukan ceramah melainkan kajian. “Meski yang hadir ini adalah ustad-ustad muda, harus tetap ada catatan sebagai oleh-oleh ketika selesai acara ini. Jika tidak ada yang mebawa buku tulis maka (mencatat di) dos makanan juga boleh,” ujar dia yang disambut gerr peserta .
Pembicara kedua dalah KH Imanan dari MUI Jatim yang menyampaikan materi ‘Juru Dakwah’. Ada 3 pedoman sebagai seorang juru dakwah yang ia sampaikan. Pertama, setiap mubaligh harus memiliki cita-cita untuk mewujudkan cita-cita Islam sebagai way of life yang paripurna.
Kedua, tutur Imanan, setiap mubaligh juga harus memegang teguh surat Ali Imron ayat 104 yakni, “Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan dan mencegah kepada yang mungkar”. “Ketiga, mubaligh harus mengasah kemampuan dalam penyampaian materi setiap saat,” jelasnya.
(Baca juga: Seru! Jika Komunitas Dai Berkemajuan dan Gerakan Pelajar tanpa Pacaran Sedang Belajar Public Speaking)
M Syaikhul Islam, salah satu peserta, mengapresiasi kegiatan ini. “Pembinaan dai muda ini sangat penting mengingat para mereka merupakan generasi penerus perjuangan dakwah di masa depan,” kata Bendahara Pimpinan Wilayah Pemuda Muhammadiyah (PWPM) Jawa Timur ini. “Dengan pertemuan dai muda dengan para dai senior ini, diharapkan akan menyamakan visi, misi, dan persepsi dakwah sesama mubaligh di Kota Surabaya,” ucapnya.
(Baca juga: Di Era Perang Informasi, Para Dai Harus Melek Media)
Menurutnya, tantangan dakwah di era digital ini semakin berat. Hal ini menjadi peluang sekaligus tantangan para dai. “Makanya diperlukan strategi dakwah yang cerdas dan efektif agar target dakwah dapat terpenuhi dengan baik,” kata dia.
Para dai di era kekinian, ungkap Syaikhul, diharapkan juga semakin kreatif dan inovatif dalam berdakwah. Strategi-strategi dakwah baru perlu terus dikembangkan terutama kecakapan para dai dalam memanfaatkan kecanggihan teknologi. “Mimbar dakwah menjadi lebih luas, tidak hanya di masjid. Namun dakwah linimasa juga merupakan mimbar dakwah dengan radius yang lebih luas karena tidak terbatasi ruang dan waktu,” kata dia. (MN)