PWMU.CO – Berlangsung euforia di Hari Guru Nasional, Jumat (25/11/ 2022) ini. Tapi saya bertanya: Seberapa banyak guru di Indonesia yang kepribadiannya benar-benar mewakili ucapan selamat dan segudang kalimat pujian, yang hari ini membanjiri semua lini media sosial. Mulai story WhatsApp, beranda Facebook, Instagram, Twitter, dan lain-lain.
Beramai-ramai hari ini para guru memposting foto mendapat hadiah dari siswanya. Wajah mereka terlihat berbunga-bunga. Saya maklum, saya pun demikian. Merasa senang saat mendapat hadiah—bahkan sering mengharapkan hadiah.
Saya juga seorang guru. Sepulang dari kegiatan senam bersama guru-guru se-Kecamatan Sangkapura, Pulau Bawean, Kabupaten Gresik, Jawa Timur, di sepanjang jalan kembali ke sekolah ada banyak hal yang saya renungi. Seberapa banyak siswa saya yang merasa yakin bahwa diri saya, sebagai guru, adalah representasi dari pribadi yang patut untuk digugu (dipercara) dan ditirul?
Tidak sedikit dari kami, para guru, masih sangat jauh dari kata ‘bijaksana. Saya pribadi masih mudah emosi saat berhadapan dengan siswa yang sesungguhnya kreatif. Tapi karena ketidaksabaran, saya melabel mereka hiperaktif. Tak jarang juga saya menuduh mereka malas belajar padahal sebelum masuk kelas saya tidak pernah menyiapkan bahan ajar.
Menggelapkan Jam Mengajar
Bisa jadi diri saya juga merupakan bagian dari komplotan ‘koruptor’, yang sering menggelapkan jam mengajar dengan dalih ada rapat, ada seminar, ada urusan keluarga. Membebani siswa dengan setumpuk tugas padahal itu adalah dalih dari ketidaksiapan saya dalam menyampaikan materi.
Terkadang saya juga merasa menjadi seorang pembual: menggembar-gemborkan kalimat “Ayo anak-anak, kita harus jadi pribadi yang inovatif agar tidak ketinggalan zaman.” Nyatanya, saya sendiri tidak mau belajar hal-hal baru sehingga tidak ada progres dari cara saya mengajar. Tak lebih dari memutar-mutar ulang kaset usang. Mengajar dengan cara yang sama dari tahun ke tahun. Lalu bagaimana saya bisa menghasilkan siswa sesuai kebutuhan zaman? Lagi-lagi saya hanya meringis malu.
Maka dari itu, mungkin saya bukanlah seorang pahlawan tanpa tanda jasa. Mungkin tak ubahnya saya adalah pekerja biasa. Bisa jadi alasan saya menjadi seorang guru bukan untuk mencerdaskan dan memikirkan masa depan anak bangsa, tapi untuk keluarga yang harus bertahan hidup dari profesi saya.
Perkenankan di akhir tulisan ini saya mengutip kalimat bijak: “Mereka yang diangkat derajat hidupnya oleh pendidikan sesungguhnya punya kewajiban moral untuk mengangkat derajat generasi berikutnya dengan memastikan mereka memperoleh pendidikan.”
Selamat hari guru untuk guru-guru di seluruh Indonesia. (*)
Layakkah Saya Digugu dan Ditiru: Penulis: Nur Laily, Kepala SD Muhammadiyah 1 (SD Mutu) Bawean. Editor Mohammad Nurfatoni