Makna Mitsaqan Ghalizha Ketiga
Teks ketiga mitsaqan ghalizha bisa dijumpai dalam firman-Nya, “Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul luas dengan sebagian lainnya. Dan mereka telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat (al-Nisa 21)”.
Firman Allah tersebut, menandaskan, sebagian kamu telah bergaul tanpa batas dengan sebagian yang lain. Ini merupakan salah satu sebab mengapa maskawin yang telah diberikan tidak boleh diminta kembali. Karena suami istri telah bergaul luas satu sama lain. Pergaulan luas itu dilukiskan oleh ayat di atas dengan kata afdhaa yang berarti “luas”. Ruang angkasa dinamai afdhaa karena luasnya.
Ayat di atas tidak menjelaskan batas keluasan yang dimaksud. Ini agar pikiran dapat bebas berimajinasi ke mana saja tentang keluasan pergaulan itu hingga mencapai akhirnya. Sementara ulama mengartikan dengan pencampuran yang telah mencapai batas akhir, dengan alasan bahwa yang mencapai akhir telah menghapus batas antara dua pihak yang berhubungan (Shihab: 2006).
“Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul luas dengan sebagian lainnya. Dan mereka telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.” (aI-Nisa’ 21)
Mengapa akad nikah, terjadinya ijab kabul yang mengikat suami dan istri, disederajatnya oleh Allah SWT dengan perikatan Tuhan dengan para rasul ulil azmi, dan dengan Bani lsrail kaum Yahudi? Apa di balik itu semua? Kita mampu mengungkap rahasia perjanjian agung ini secara spiritual dengan mengambil makna yang terkandung dalam bingkai pernikahan.
Nikah adalah sakral, suci, dan agung di sisi Tuhan. Muhammad mensunnahkan bagi umatnya. Begitu mulianya, Rasul mewajibkan bagi seorang hamba menghadiri undangan walimatul ‘ursy. Karena Allah sendiri dan seluruh malaikat di langit ikut mengamini menjadi saksi cita-cita mulia menggapai rahmat Ilahi tersebut.
Seberkas kasih dan sayang terurai nama Ilahi disebut di awal akad nikah. Lihatlah cinta Rasul terhadap pendampingnya yang tak membedakan antara yang muda dan yang renta. Jangan kau cederai sumpah hati dengan kedustaan. Janji yang menjadikan terlampauinya separuh perjalan hidup. Cinta kasih nan tulus akan mengundang rahmat Ilahi. Doa seorang hamba, “Duh, Gusti mohon hamba ingin beribadah lewat hidup berumah tangga ini.”
Hakikat pernikahan adalah akad untuk beribadah kepada Allah. Akad untuk menegakkan syariat Allah. Akad untuk meneladani sunah nabi. Akad untuk meninggalkan kemaksiatan. Akad untuk mencintai Allah. Akad untuk saling mencintai karena Allah. Akad untuk saling menghormati dan menghargai. Akad untuk saling meridai. Akad untuk saling mengasihi. Akad untuk saling menyempurnakan diri. Akad untuk saling memberi, dan menerima atas ketetapan Allah.
Pernikahan juga akad untuk saling menerima apa adanya. Akad untuk saling menguatkan keimanan. Akad untuk saling membantu dan meringankan beban. Akad untuk saling setia kepada pasangan baik dalam suka maupun duka. Akad untuk berjuang melawan kefakiran. Akad untuk meraih kekayaan jiwa dalam sakit dan sehat.
Pernikahan berarti akad untuk meniti hari-hari dalam kebersamaan. Akad untuk saling melindungi. Akad untuk saling memberi rasa aman. Akad untuk memercayai dan menjadi pakaian atas aib masing-masing. Akad untuk mencari rezeki yang halal dan tayib.
Akad untuk saling memaafkan kesalahan, tidak menyimpan dendam dan kemarahan. Akad saling melindungi kekurangan dan kelemahan. Akad menebar kebajikan. Akad untuk mencetak generasi yang berkualitas. Akad untuk menjadi suri tuladan bagi putra-putrinya. Akad membangun peradaban masa depan. Akad untuk membangun surga di dalam rumah. Akad untuk memberdayakan satu dengan yang lain.
Dan akad untuk segala hal yang bernama kemaslahatan bersama (Takariawan: 2006). (*)
Editor Mohammad Nurfatoni