Tak Bersedia Dicalonkan Lagi, Prof Achmad Jainuri: Muhammadiyah Jatim Perlu yang Muda; Liputan kontributor PWMU.CO Sugiran.
PWMU.CO – Batas waktu pengembalian formulir kesediaan menjadi Calon Anggota Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jatim periode 2022-2027 telah ditutup Sabtu (26/11/2022).
Nama-nama yang menyatakan bersedia—serta telah diverifikasi dan divalidasi oleh panitia pemilihan—akan dibawa ke Musyawarah Wilayah (Musywil) Muhammadiyah Jatim di Ponorogo, Sabtu-Ahad (24-25/12/2022) untuk dipilih menjadi 13 orang Anggota PWM Jatim 2022-2027.
Namun di antara daftar itu dipastikan tidak ada lagi dua nama Wakil Ketua PWM Jatim periode 2015-2022 yang cukup disegani. Pertama, Nur Cholis Huda. Kepada PWMU.CO, Jumat (25/11/2022), dia mengungkapkan sudah mengisi formulir ketidaksediaan untuk dipilih lagi.
Kedua, Prof Achmad Jainuri. Dihubungi PWMU.CO Jumat (25/11/2022), dia mengaku sebenarnya masih banyak Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) yang memaksa dirinya untuk mencalonkan lagi. Tapi mantan Rektor Universitas Muhammadiyah Sidoarjo itu tak bersedia dicalonkan.
“Saya tegaskan lagi kepada PDM-PDM itu. Saya ‘kan sudah menyatakan tidak bersedia dicalonkan di hadapan semua PDM saat Musypimwil. Saya ingin memberikan kesempatan kepada yang lebih muda,” ujarnya. Prof Jainuri, sapaannya, menambahkan, saat Muktamar Ke-48 Muhammadiyah di Solo dirinya juga tidak ikut mencalonkan diri.
“Karena usia sangat berpengaruh. Walaupun tetap berkiprah pada level di Persyarikatan Muhammadiyah, tetapi tidak harus di struktur. Mungkin lebih pada hal yang sangat spesifik dan domestik. Kan juga makan tenaga kalau di struktur seperti itu. Dan kadang yang kita rasakan secara fisik sudah tidak mendukung. Itu pertimbangannya. Selain itu, biar ada regenerasi,” ungkapnya melalui sambungan telepon.
“Kita di Jatim ingin mulai. Jatim harus jadi acuan, bukan hanya contoh. Acuan tentang apa yang kita lakukan jika dibandingkan PWM lainnya yang mungkin lebih tanggap,” terangnya.
“Maka ‘kan perlu tenaga-tenaga yang fresh. Jatim itu banyak tenaga muda. Mereka itu perlu muncul. Nah, wahana untuk memunculkan mereka itu ya melalui Musywil di Ponorogo seperti ini,” dia menambahkan.
Diaspora Politik
Prof Jainuri menyampaikan PP Muhammadiyah telah merumuskan program yang bagus sekali, meski terasa berat. Menurutnya, di Muhammadiyah—sebagai salah satu ciri literasi—yang namanya berkemajuan tidak sekadar moderasi, tapi banyak ciri-ciri lain. Nah bagaimana menerjemahkan itu dalam program persyarikatan pada level wilayah.
“Belum lagi, kritik kita pada PP Muhammadiyah sendiri. Keinginan sebagian anggota dan warga Muhammadiyah itu yang berkiprah di politik praktis kenegaraan kan belum diakomodasi pada aturan dan budaya. Di PP selama ini saya melihat yang namanya LHKP itu, apa yang dikerjakan ‘kan belum tampak. Maksud saya mereka itu (harusnya) hidup bebas: sluman slumun ke unsur-unsur kekuatan politik yang ada. Tidak harus menunggu diperintah,” jelasnya.
Di organisasi sebelah, mereka masuk ke sana kemari. Maksudnya kelincahan itu. Kita ini berhubungan dengan orang luar terkadang ada hambatan psikologis, karena memang tidak pernah keluar. Maunya di dalam Muhammadiyah terus. Akhirnya inward looking, karena di Muhammadiyah sudah cukup.
“Dan kalau kita aktif di luar juga dirasani oleh sebagian orang Muhammadiyah juga. Kok aktif-e nang luar, gak nang Muhammadiyah wae. Lha ini yang menghambat program-program yang harus diaspora ke politik. Ada hambatan kultur dan ideologis,” tegasnya.
Dia berharap dengan munculnya pimpinan yang baru, mereka yang aktif di AUM pendidikan dan perguruan tinggi Muhammadiyah (PTM) juga harus ditarik ke sini. Harapannya konsep-konsep tentang ideologi, pengembangan, dan perubahannya berasal dari kawan-kawan itu secara literer. Karena mereka yang bersentuhan dengan sumber-sumber otoritatif terkait dengan gagasan-gagasan itu.
“Sehingga yang di struktur persyarikatan tidak hanya aktivis, tapi juga ada kombinasi dari kawan-kawan PTM. Di Muhammadiyah Jatim itu sudah ada dan cukup bagus. Ada kombinasi aktivis sekaligus menjadi akademisi yang itu akan memberikan wawasan ideologi yang cukup untuk menerjemahkan program Muhammadiyah lima tahun ke depan,” terangnya.
Jainuri menjelaskan, sebenarnya dari unsur manapun, termasuk pengusaha, bisa menjadi pimpinan. Ini karena Muhammadiyah memerlukan elemen-elemen yang beraneka ragam untuk bergabung jadi satu di persyarikatan.
“Sekarang dominasinya ‘kan kelas menengah aparatur sipil negara (ASN), yang dari sisi kapasitas waktu dan sumber dana terbatas. Dulu ‘kan dari pengusaha, sehingga Muhammadiyah identik dengan pendukungnya para pedagang. Dan itu secara sosiologis ‘kan ciri kemodernan seseorang,” paparnya.
“Itu karena pedagang merupakan simbol dari kemodernan seseorang. Mobilitasnya tinggi, kemana-mana menjajakan dagangannya, terbiasa bertemu dengan orang di luar kampungnya, biasa mendengar omongan orang di luar, terbiasa melihat sesuatu yang berbeda di luar kampungnya, sehingga ini membentuk sikap terbuka,” imbuhnya.
Dari Pedagang ke ASN
Kalau ada unsur pengusaha, menurutnya, maka perlu dipertegas apa yang diperankan oleh pengusaha.
Kalau dulu mobilitas tinggi. Para pendukung itu memang tidak hanya dirinya, tapi juga uangnya yang disumbangkan kepada organisasi. Jadi mereka ke mana-mana dalam urusan Muhammadiyah itu dibiayai sendiri.
“Kalau sekarang ‘kan tidak. ASN yang terbatas gajinya itu akhirnya fasilitas kan dari organisasi. Sehingga dibebankan kepada AUM yang mendatangkan rupiah, seperti pendidikan dan rumah sakit untuk membiayai organisasi,” sergahnya.
Sejak kedai kita roboh, artinya kecenderungan kaum pedagang santri itu mulai roboh, maka kemudian pendukung Muhammadiyah digantikan oleh ASN hingga sekarang ini.
“Dulu siapa yang bukan pedagang. KH Ahmad Dahlan pedagang, orang sekitarnya juga pedagang. Mereka terbiasa menjajakan dagangannya. Mampir dan di berbagai tempat membuka cabang-cabang baru Muhammadiyah,” ungkapnya.
Referensi ini, ujarnya, bisa dibaca di Wertheim: East-West Parallels. Timur dan Barat itu sama saja. Umumnya kaum pedagang itu dalam konteks gerakan kaum protestan di Barat, dukungannya juga dari kaum pedagang. Di Muhammadiyah juga begitu, Wertheim mengatakan di Asia Tenggara dukungan kaum pedagang sangat luar biasa dalam rangka Islamisasi.
“Sayangnya orang Muhammadiyah sedikit sekali yang membaca hal itu. Apalagi kalangan Angkatan Muda Muhammadiyah (AMM), lebih suka ke politik praktis. Memang menjanjikan kalau berhasil, tapi tidak semuanya harus ke situ,” pesannya.
“Kalau dulu pedagang merangkap Muhammadiyah. Lha sekarang yang Muhammadiyah mau merangkap pedagang, ya tidak bisa. Oleh karena itu Muhammadiyah membuat program kerja bisnis dari orang-orang itu sulit. Mereka lebih condong membesarkan usahanya sendiri daripada usaha kelembagaan. Sebetulnya dukungan pedagang itu lebih dibutuhkan terkait dengan wawasan,” imbuhnya.
Perlu Pemetaan
Yang juga menjadi sorotan Prof Jainuri adalah banyak sekolah dan PTM yang dimiliki PWM Jatim, tapi sebagian kualitasnya masih di bawah kualitas pendidikan non-Muhammadiyah.
“Lepas dari persoalan ada rekayasa atau tidak, yang jelas kita harus menyadari kekurangan di tingkat kualitas itu. Maka kepemimpinan periode selanjutnya perlu tokoh yang mempunyai kompetensi sesuai dengan bidang program persyarikatan, yang muncul dalam lembaga-lembaga yang disepakati,” tuturnya.
Hanya sayangnya, lanjut dia, kadang kita memaksakan lembaga-lembaga yang kita dirikan itu mengikuti apa yang ada di PP Muhammadiyah. Padahal di daerah itu belum tentu semua sama dan harus ada majelis lembaga itu.
“Pertama karena dukungan sumber daya manusia (SDM). Kedua, dukungan kebutuhan daerah. Tidak mesti sama antara daerah satu dengan yang lainnya. Sehingga majelis lembaga bisa berbeda antara satu PDM dengan PDM yang lainnya,” urainya.
Maka, sambungnya, perlu pemetaan lagi. Misalnya daerah yang kuat tertentu. Selama ini, Madura dalam sensus nasional, dalam konteks sosial ekonomi daerah termiskin misalnya, mungkin di sana perlu AUM sosial ekonomi yang difokuskan. “Kalo misalnya dipaksakan sama, maka perlu penguatan terkait dengan kebutuhan daerah,” tegasnya.
Maka perlu dibenahi, yaitu tenaga-tenaga yang mempunyai kompetensi sesuai dengan bidangnya. Itu kalau ingin Muhammadiyah bisa merealisasikan delapan program utama.
“Tujuh calon lama— Moh. Sulthon Amien, Thohir Luth, Tamhid Mayshudi, Sukadiono, Biyanto, Syamsudin, Hidayatulloh—dan enam posisi baru di Musywil PWM Jatim sudah bagus komposisinya. Tinggal menambahkan yang muda-muda. Harapannya 50 persen muda. Standar muda itu selain umur yang mendorong mobilitas, juga kompetensi dari calon,” terangnya.
“Seperti saya, sudah tua tidak perlu masuk pimpinan. Itu kesan yang ingin saya hilangkan. Ini yang lain agar bisa seperti itu,” tambahnya.
Rencana ke depan, dalam skala yang terkurangi, Achmad Jainuri menyatakan tetap aktif di Muhammadiyah. Tetap mengawal Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (Umsida), sebagai skup yang lebih fokus.
“PP Muhammadiyah juga meminta tetap di Majelis Dikti. Saya belum menjawab, tapi harapannya bukan posisi ketua. Idealnya Majelis Dikti ketuanya yang tinggal di Yogyakarta atau Solo, untuk memudahkan mobilisasi. Kalau saya di Majelis Dikti itu untuk menjembatani kebutuhan kami yang ada di Jatim dengan PP,” ungkapnya. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni