Pasca Muktamar 48: Penyegaran Komitmen Kemuhammadiyahan oleh Azaki Khoirudin, Anggota Majelis Pendidikan Kader PP Muhammadiyah 2015-2022
PWMU.CO– Sebagai gerakan dakwah, jangkar moralitas Muhammadiyah harus menancap dalam perilaku pimpinan dan kader. Dengan begitu misi amar makruf nahi mungkar bisa berjalan lempang tanpa beban.
Namun kalau elite pimpinan mulai mengalami defisit integritas maka gerak dakwah bakal tersendat. Sebab ada politik kepentingan bermain.
Para pendiri dan tokoh Muhammadiyah telah memberi keteladanan. KH Ahmad Dahlan, AR Fachruddin, Buya Syafii Maarif dan lainnya. Nilai-nilai kemuhammadiyahan yang bersumber dari al-Quran dan sunnah Nabi menjadi perilaku. Yaitu keikhlasan, kesederhanaan, kedermawanan, kerja keras, serta alam pikiran yang maju untuk membesarkan institusi Muhammadiyah. Bukan kebesaran individu.
Pada momentum pasca Muktamar ke-48 Muhammadiyah dan Aisyiyah, saatnya para kader dan elite pimpinan terpanggil menyegarkan kembali komitmen bermuhammadiyah: Hidup hidupilah Muhammadiyah, jangan mencari hidup di Muhammadiyah.
Sebagai kader yang setia pada ideologi dan khittah Muhammadiyah, maka elite Muhammadiyah, Ortom, dan amal usaha sudah semestinya berani beramar makruf nahi munkar. Kritis pada fenomena korupsi, hedonisme, dan tindak asusila.
Jangan sampai larut terlibat karena mengejar kepentingan pribadi. Kalau itu terjadi bakal melemahkan kekuatan Muhammadiyah sebagai penjaga moral bangsa.
Lembaga Ombudsmen
Muhammadiyah semakin besar struktur organisasinya maupun jumlah amal usahanya, maka jalankan sistem kendali kontrol personal dan asetnya secara efektif.
Menghindari terjadinya kasus-kasus moral, konflik, atau gesekan kepentingan di antara para pimpinan dan anggotanya. Entah masalah jabatan, keuangan, hak milik, hingga tindak amoral.
Dalam penyelesaian konflik memang keputusan pimpinan tak bisa memuaskan semua pihak. Ada pihak yang merasa dirugikan. Tapi kita bisa belajar sami’na wa atho’na. Memegang ajaran Allah: Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu.
Dalam momentum strategis pasca Muktamar ke-48 Surakarta, perlu menjadi pertimbangan pembentukan semacam lembaga ombudsmen yang dapat menampung berbagai macam aduan, menengahi konflik, dan mencarikan jalan keluar atas permasalahan yang dialami oleh para pimpinan dan anggotanya.
Penyimpangan etika, moral, dan perilaku di AUM harus menjadi perhatian penting para pimpinan Muhammadiyah yang baru.
Perjalanan Muhammadiyah yang semakin besar ini harus terus dikawal bersama. Agar nasibnya tidak terpinggir di simpang jalan. Atau di lorong sempit yang menjadikan gerak Muhammadiyah makin lemah.
Para pimpinan Muhammadiyah, pimpinan AUM, dan pimpinan Ortom harus berpegang teguh pada komitmen kemuhammadiyahan yang diprioritaskan jauh di atas kepentingan pribadi, apalagi keluarga.
Marwah Persyarikatan
Saya yakin, Muhammadiyah adalah kumpulan orang baik, tetapi orang baik juga manusia biasa. Penyimpangan ada karena ada kesempatan dan peluang. Sebaliknya, ketaatan dan ketertiban terwujud karena aturan yang adil dan baik.
Narasi ideologi Muhammadiyah tak ada artinya tanpa mekanisme organisasi yang kuat. Ketika Kiai Ahmad Dahlan dan kawan-kawan mendirikan Muhammadiyah, rumusan organisasinya sederhana. Seperti menyusun statuten (anggaran dasar), pengajuan rechtpersoon (badan hukum), pembentukan struktur Hoofdbestuur Moehammadijah pertama terdiri 9 orang.
Kegiatannya mengagendakan rapat rutin pimpinan, menyusun rencana program, pembagian tugas organisasi, hingga evaluasi tahunan (jaarvergadering/rapat tahunan).
Kemudian muncul tantangan yang melahirkan rumusan ideologi keagamaan ketika dakwah Ahmadiyah pada tahun 1921 mulai memengaruhi pandangan keagamaan pimpinan dan warga Muhammadiyah. Sekretaris Hoofdbestuur R Ngabehi Djojosugito larut ke sana bersama sejumlah anggota Muhammadiyah.
Keberadaan lembaga ombudsmen untuk menegaskan betapa pentingnya sebuah mekanisme organisasi yang kokoh dan berkeadilan untuk menjaga ideologi, etika, dan nilai-nilai kemuhammadiyahan itu.
Dengan demikian Muhammadiyah tetap terjaga menjadi organisasi keagamaan penyangga moral bangsa. Di sinilah perlu penyegaran komitmen kemuhammadiyahan pasca Muktamar 48. Untuk menjaga marwah persyarikatan.
Editor Sugeng Purwanto