PWMU.CO– Dua mualaf Mentawai Sumatra Barat sudah lima tahun nyantri di Pondok Pesantren Al Ishlah Sendangagung Paciran Lamongan.
Namanya Laurensius Lagai Sabettliake dan Paulus Ferdinan. Anak Mentawai ini saudara sepupu. Ayahnya keduanya kakak beradik. Keduanya mondok di pesantren ini sejak 2017. Mereka berasal dari Dusun Buttui Desa Madobag Kecamatan Siberut Selatan Kabupaten Kepulauan Mentawai Sumatera Barat.
Pulau Siberut berada paling utara dari Kepulauan Mentawai. Sejauh 150 Km dari Padang, Sumatra Barat dengan naik kapal feri. Menuju Desa Madobag masih jauh lagi. Harus naik perahu menyusuri sungai ke pedalaman.
Awalnya dua muallaf Mentawai, Lagai dan Ferdinan, beragama Katolik, agama mayoritas yang dipeluk penduduk pulau. Mereka di pondok masuk SMP Muhammadiyah 12 Paciran. Pertama kali menginjak tanah Paciran sudah kerasan. Merasa nyaman dengan teman-teman barunya.
”Saya berasal dari desa pedalaman di tengah hutan. Jauh dari keramaian. Kami hidup dari berburu. Kami makan, semua diperoleh dari hutan. Hasil buruan itu seperti babi, monyet, biawak, dan lain lain,” cerita Lagai dihubungi Rabu (7/12/2022).
Menurut dia, kehidupan warga desanya sangat sulit. Tidak ada transportasi. Ke sana ke mari lewat sungai dengan perahu. ”Kami hidup primitif. Tanpa pakaian. Hanya pakai cawat,” ujarnya.
Ferdinan menambahkan, kepercayaan asli warga Mentawai bernama Sabulungan. Percaya ruh dan dewa. Lalu datang misionaris Katolik. Kini 97 persen warga Mentawai menjadi Katolik.
”Tetapi tidak ada perhatian dari misionaris. Kami hanya dicatat sebagai pemeluk Katolik. Tidak ada perubahan yang berarti. Kami tetap primitif,” ujarnya.
Setelah Islam masuk, sambung Ferdinan, kami banyak perubahan. Diajari kebersihan, diberi pakaian, diberi hewan ternak untuk dikembangbiakkan.
Anak-anak diajari membaca menulis. Ada yang dipondokkan. Termasuk ke Pondok Al Ishlah Paciran ini. ”Ada banyak kemajuan setelah Islam masuk di Mentawai,” cerita Ferdinan yang mahir basket.
Aksi Peduli Bangsa
Lagai dan Ferdinan mengenal Islam setelah datang misi dakwah Aksi Peduli Bangsa Jakarta dipimpin Arifin Jayadiningrat pada tahun 2012. Mengenalkan agama Islam kepada warga desa di Siberut.
Sebagian besar warga menolak ajaran itu. Sebagian kecil menerima. Sebagian kecil keluarga Lagai dan Ferdinan menerima dan masuk Islam. Dari dua mualaf Mentawai ini diharapkan Islam berkembang di sini.
Ayah Lagai bernama Sakigege Sabettliake dan ibunya bernama Sigu Ogok Satuddei. Sedangkan ayah Ferdinan bernama Ruamanai Sabettliake dan ibu Susana Salakkirat.
Keluarga ini masuk Islam. Anak-anaknya ditawari masuk ke pondok pesantren. Perjalanan itu yang membawa Lagai dan Ferdinan nyantri di Pondol Al Ishlah Paciran. Jauh dari desanya. Tiap Lebaran dia tak pernah pulang.
Di pondok ini bakat dan potensinya diasah. Lagai suaranya merdu. Dia pintar adzan dan tilawah al-Quran. Karena itu masuk tim andalan ahli tilawah. Lagai bercita cita jadi dai. Berdakwah di desanya. Dia juga masuk tim futsal yang berulang kali memperoleh juara.
Setelah lulus SMPM 12 Paciran, Lagai melanjutkan ke Madrasah Aliyah Al Ishlah. Kini duduk di kelas 12 Jurusan Agama. Dia masuk jadi Takmir Masjid Al Ishlah di Organisasi Pelajar Pondok Pesantren Al Ishlah (OPPI). Juga andalan tim futsal Madrasah Aliyah Al Ishlah.
Paulus Ferdinan setelah masuk Islam tahun 2013 mengubah namanya menjadi Abdurahman. Tapi teman -temannya masih memanggil Ferdinan.
Ferdinan juga mondok di SMPM 12 Paciran. Dia bakat di basket. Menjadi andalan tim basket SMPM 12 Paciran. Setelah lulus SMPM 12 melanjutkan ke Madrasah Aliyah Al Ishlah jurusan IPS.
Dulu di desanya dia menjadi jemaat Gereja Frasiskus. Dia bersyukur bisa belajar di Pesantren Al Ishlah. Belajar agama Islam, bahasa Arab, Inggris, dan olah raga. Dia juga ingin menjadi dai.
Bapak Asuh
Arifin Jayadiningrat, Ketua Yayasan Aksi Peduli Bangsa, menjadi bapak asuh dan donatur dua anak Mentawai itu. Dia bangga dengan keberhasilan Lagai dan Ferdinan di pondok.
”Kedua anak saya ini, yang kini duduk di kelas 12 Madrasah Aliyah Al Ishlah, semoga terus istiqamah dalam belajar. Kalau sudah siap kita terjunkan sebagai dai untuk warga Mentawai. Bersyukur bisa jadi dai tersohor ,” tutur alumnus KMI Gontor 1988.
Arifin menuturkan, sampai sekarang terus berdakwah Islam di Mentawai. ”Kita ingin Islam hadir sebagai rahmatan lil alamiin termasuk di Mentawai,” ujarnya.
Ustadz Habib Chirzin SP, staf pengasuhan pondok pesantren menerangkan, dua anak Mentawai ini kisahnya mengharukan. Setiap liburan tak bisa berkumpul dengan keluarganya di Mentawai karena jauh.
Alumnus IPB tahun 2011 ini menuturkan, Lagai dan Ferdinan kalau ke Mentawai naik pesawat ke Padang. Lalu dua jam perjalanan darat menuju ke pelabuhan. Sambung naik kapal selama 12 jam sampai ke Pulau Siberut. Dilanjutkan 8 jam menyusuri sungai untuk sampai di kampungnya.
Penulis Gondo Waloyo Editor Sugeng Purwanto