Energi Ikhlas menjadi dimensi kekuatan rohani dari Persyarikatan Muhammadiyah; Liputan Kontributor PWMU.CO Darul Setiawan.
PWMU.CO – Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Prof Dr Haedar Nashir MSi menyampaikan pengantar dalam Pengajian Umum PP Muhammadiyah, Jumat (9/12/22).
Haedar mengawali pengantarnya dengan mengingat tujuan hidup manusia untuk mengharap anugerah dan keridhaan Allah, baik dunia lebih-lebih di akhirat. Yakni mendapat ridha-Nya untuk masuk ke jannatun naim.
Kedua, lanjut dia, kita menjadi bagian dari Muktamar Muhammadiyah, Aisyiyah, dan Nasyiah berjalan lancar, baik, dan sukses. “Menghasilkan keputusan terbaik, yang merupakan hasil maksimal dari seluruh muktamirin dan muktamirat, yang semuanya memiliki pengalaman, kearifan, dan kesadaran kolektif untuk membawa Persyarikatan lebih maju,” jelasnya.
Tidak Sekali Jadi
Kita, kata Haedar, juga tasyakur bin ni’mah, banyak pihak yang memberi apresiasi terhadap muktamar, yakni menjadi muktamar teladan dalam beberapa media. “Kita terima apresiasi itu dengan tetap kerendahan hati tetapi dengan tasyakur. Karena proses seperti ini tidak sekali jadi,” ungkap dia.
Ini, lanjutnya, merupakan bagian dari culture, budaya yang hidup di Muhammadiyah, Aisyiyah, Nasyiah, dan seluruh komponen persyarikatan, sekaligus sudah teruji dalam berbagai muktamar. “Kita bisa menyelenggarakan muktamar yang bermarwah, uswatun hasanah, dan berkemajuan,” tutur Haedar.
Saat pembukaan, kata dia, banyak tamu seperti Presiden maupun tamu negara yang memberi apresiasi luar biasa dalam penyelenggaraan pembukaan muktamar, semua takjub.
“Apa yang ditampilkan dalam muktamar baik fisik maupun di balik itu, yakni permusyawaratannya dengan segala hasilnya, merupakan energi positif, yang menjadi kekuatan yang menyatu dengan DNA-nya Muhammadiyah,” jelasnya.
Menurut Haedar, bicara terkait energi baru maka kita sudah punya modal. Dimensi energi dalam Muhammadiyah ada pada esensinya, yakni rohaniyah dan metafisik, bukan yang bersifat fisik. “Apa yang bersifat ruhaniyah dan metafisik itu? Yang pertama adalah tauhid,” kata dia.
Tauhid, sambungnya, menjadi kekuatan dahsyat dalam pergerakan Islam, dalam hal ini Muhammadiyah. Tauhid dalam Muhammadiyah tidak dibiarkan menjadi pandangan metafisik yang bersifat dogmatik. Tapi dia pancarkan, yang melahirkan manifestasi atau dorongan.
Kalimat la ila ha illallah itu kemudian melahirkan pergerakan orang-orang Muhammadiyah yang mau berbuat dengan keikhlasan. “Jadi tauhid ditampilkan dalam bentuk ikhlas. Ikhlas di Muhammadiyah tidak dibicarakan, tapi dipraktikkan dalam hidup. Bisa menjadi jargon, idiom, bahkan menjadi state of mind, kesadaran kolektif,” terang Haedar.
Contohnya, ketika mau muktamar, semua mempunyai energi ikhlas dari pancaran tauhid, yakni kita tidak sedang mengejar jabatan. “Lalu muncul adagium di Muhammadiyah, janganlah kita cari jabatan, tapi jika diberi maka tunaikan dengan amanah,” ujarnya.
Energi Ikhlas, Kekuatan Muhammadiyah
Bahkan saat amanah itu bukan dalam bentuk posisi, maka tetap bisa berkhidmah. Tidak sedikit orang-orang Muhammadiyah, Aisyiyah, dan angkatan muda Muhammadiyah (AMM), yang tidak sedang menjabat tapi mempunyai kiprah dan khidmat kepada Muhammadiyah luar biasa.
“Itulah energi rohaniah yang hidup dan mengabadi di dunia yang kokoh dan tidak dapat terkalahkan dengan apapaun. Energi ikhlas itulah yang menjadi kekuatan Muhammadiyah, yang kemudian dipantulkan dalam kehidupan sehari-hari,” jelasnya.
Dengan energi ikhlas, lanjut Haedar, orang-orang Muhammadiyah punya jiwa tulus. Yang itu diuji di kala titik-titik kritis, di kala kecewa, tidak dihargai, tidak berjabatan, dan sebahainya. “Saya tidak ingin mengajak pada fatalisme, tapi itulah yang hidup dan menjadi kekuatan dahsyat Muhammadiyah,” ungkapnya.
Ketika itu luruh, lanjut Haedar, terkontaminasi dengan kepentingan indrawi jangka pendek. Dimensi indrawi itu sunnatullah, tapi ketika indrawi mengalahkan yang ruhani dan metafisik, maka yang muncul adalah pragmatisme. “Maka jika kita ingin energi baru, maka kekuatan energi ruhani harus tetap hidup,” imbuhnya.
Kedua, kata Haedar, tauhid dalam Muhammadiyah muncul dalam alam pikiran dan amaliah. Bukan berhenti pada pandangan tauhid terkait dengan kemurnian semata. Tapi ada dimensi tranformasinya.
Contoh al-Maun, dari dimensi tauhid yang memunculkan movement, pergerakan. Dari al-Maun itu kemudian muncul amal usaha yang punya konotasi pada kesehatan, sosial, pendidikan, dsb.
“Energi terbaru dalam pergerakan itu kemudian diaktualisasikan dalam sistem, pemikiran, relasi, dan amaliah yang nyata di Muhammadiyah. Usai muktamar kita tidak boleh berhenti bergerak, agar ada dinamika baru yang menjadi pancaran dari energi baru,” paparnya.
Ruang Dinamika
Terakhir yang tentu selalu dibangun adalah kolektivitas atau kebersamaan, yang ada dinamika memberi ruang pada inovasi pada kerja-kerja lompatan. Kolektivitas atau kolegialitas yang tidak ada dinamisasi akhirnya menjadi organisai paguyuban saja. “Keduanya, yakni kolektivitas dan kolegialitas harus bisa melahirkan kreativitas, inovasi, bahkan transformasi. Agar organisasi kita maju,” ungkap Haedar.
Menurut dia, ruang dinamika dalam Muhammadiyah ada koridornya, yakni sistem. Sistem di Muhammadiyah menjadi kooridor bergerak. Kepemimpinan di Muhammadiyah harus transformatif, yang membawa perubahan, yakni memobilisasi potensi, menggerakkan perubahan, mengagendakan masa depan, dan ada bahannya tersebut dalam muktamar, tinggal mengejawantahkan dalam dinamika kepemimpinan.
“Maka kepemimpinan ke depan harus bergerak dinamis dan transformatif. Agar energi ruhaniah, alam pikiran, maupun sistem yang sudah menjadi medan gerak kita, itu menjadi kekuatan sentrifugal untuk membawa kemajuan-kemajuan,” tuturnya.
Bagi Haedar, tidak cukup kepemimpinan yang dogmatis, normatif, apa-apa tidak boleh, untuk menyasar kaum milenial, generasi Z hingga Alpha. Muhammadiyah akan terus maju dari proses belajar.
“Untuk AMM mari satukan energi kolektif dan tersistem untuk menjadi pergerakan yang unggul dan berkemajuan. Muhammadiyah lima tahun ke depan, tagline-nya adalah Muhammadiyah Unggul Berkemajuan, dan itu perlu energi baru yang diakselerasi hingga ditranformasikan kita semua,” pungkas Haedar. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni.