Tantangan Muhammadiyah Pascamuktamar; Liputan Kontributor PWMU.CO Gresik Sayyidah Nuriyah Editor Mohammad Nurfatoni.
PWMU.CO – Bagaimana Muktamar menjadikan Muhammadiyah gerakan unggul dan maju? Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Prof Dr Abdul Mu’ti MEd bertanya retorik ketika membahas Muhammadiyah Pascamuktamar di Pengajian Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah bertema ‘Energi Baru Pascamuktamar’, Jumat (9/12/2022) malam.
Prof Mu’ti–sapaannya–mengatakan, ada beberapa keputusan Muktamar yang menjadi bagian arah kebijakan sehingga Muhammadiyah bisa berperan sesuai tema Muktamar Ke-48 ‘Memajukan Bangsa dan Mencerahkan Semesta’.
Kata dia, Muhammadiyah ingin lebih hadir dengan peran yang lebih besar dalam wilayah keumatan dan kebangsaan. “Ini bisa kita lihat dari isu-isu strategis keumatan, kebangsaan, dan kemanusiaan universal yang merupakan salah satu keputusan penting Muktamar ke-48 Muhammadiyah,” ujarnya.
Dari isu-isu strategis itu, lanjut Prof Mu’ti, bisa dilihat betapa Muhammadiyah menghadapi banyak tantangan keumatan. Terutama bagaimana persatuan umat harus diperkuat lagi.
“Bagaimana kita berislam yang memiliki orientasi kemajuan dan berbagai isu lain yang termasuk tantangan dalam isu keumatan adalah spiritualitas generasi milenial,” imbuh pria berusia 54 tahun itu.
Tantangan Religiusitas Milenial
Jika melihat berbagai penelitian, kata Prof Mu’ti, religiusitas generasi milenial tak sekuat generasi-generasi sebelumnya. “Bahkan ada spiritual disengagement (keterputusan) dan mereka lebih cenderung mengikuti nilai-nilai universal atau baru yang tidak seluruhnya sesuai ajaran agama Islam,” ungkapnya.
Dia menerangkan, “Seandainya ada survei LGBT ditujukan kepada generasi saya dan generasi milenial, mesti ada jawaban berbeda. Generasi milenial cenderung lebih bisa memahami, menerima, bahkan mungkin mendukung. Karena mereka menganggap itu sebagai nilai baru yang lebih relevan dengan situasi dan keadaan mereka.”
Kecenderungan ada spiritual disengagement itu jadi keprihatinan Muhammadiyah. Secara demografi, generasi milenial jumlahnya cukup besar. Mereka juga jadi harapan Indonesia generasi emas 2045. Karena itu, sambungnya, tentu ini tantangan yang Muhammadiyah sadari sejak awal.
Isu Ketahanan Keluarga
Adapun dalam konteks masalah kebangsaan, terlepas masalah politik dan ekonomi, kata Prof Mu’ti tentu ada persoalan lain. Muhammadiyah mengangkat isu berkaitan dengan ketahanan keluarga.
“Bagaimana keluarga menjadi bagian pondasi dalam membangun bangsa dan umat karena sekarang ada kecenderungan keluarga mengalami proses deinstitusionalisasi. Banyak berpendapat keluarga tidak penting. Atau mau berkeluarga tapi tidak mau memiliki keturunan,” terang penulis Kristen Muhammadiyah: konvergensi Muslim dan Kristen dalam Pendidikan itu.
Kalau di muktamar sebelumnya mengangkat isu bonus demografi, di muktamar ini mengangkat isu aging society, di mana Muhammadiyah konsisten menggunakan istilah senior citizen, bukan lansia. “Kalau lansia itu kan seperti pertandingan sepak bola yang sudah habis waktunya kemudian diperpanjang lagi,” candanya.
Kata Prof Mu’ti, Muhammadiyah pakai istilah senior citizen karena sosok di atas 60 tahun masih punya stamina tubuh yang sehat, punya pengalaman kepemimpinan yang juga sangat bagus, dan mungkin juga punya jaringan yang bagus untuk mengembangkan organisasi.
Isu Kebangsaan
Isu kebangsaan juga menjadi perhatian Muhammadiyah ke depan selain isu universal yang menurut Prof Mu’ti ada kecenderungan xenophobia, tidak hanya Islamphobia. “Berbagai hal yang kita angkat di Muktamar ke-47 itu kita angkat lagi di Muktamar ke-48. Seperti persoalan imigrasi pengungsi dan resiliensi bencana. Dalam dua bulan ini paling tidak ada empat kali gempa bumi dan erupsi gunung berapi,” terangnya.
Ada sisi positif Muhammadiyah memiliki jiwa kedermawanan yang tinggi, tapi juga ada realitas di mana tidak cukup memiliki kemampuan mitigasi, karena juga perlu kemampuan resiliensi.
“Alhamdulillah selama ini Muhammadiyah punya reputasi yang bagus dengan Muhammadiyah Disaster Management Center (MDMC) juga dengan Muhammadiyah Covid-19 Command Centre (MCCC), apresiasi tidak hanya diberikan oleh internal tapi juga berbagai pihak dari luar negeri yang bermitra dengan Muhammadiyah,” ujarnya.
Ketika terjadi musibah, lanjut Prof Mu’ti, Muhammadiyah menggabungkan pendekatan ilmiah dan jamaah. “Ini saya kira menjadi sebuah kekuatan sehingga Muhammadiyah banyak mendapat apresiasi,” ungkap lulusan Universitas Flinders itu.
Muhammadiyah menyadari banyak persoalan di akar rumput yang harus diselesaikan bersama. Menurutnya, secara ideologi, manhaj, Muhammadiyah memang mengalami tantangan dari berbagai aliran baru dari luar Muhammadiyah bahkan mungkin di internal Muhammadiyah sendiri. (*)