Kenapa Acara Ini Dilaksanakan Menjelang Musywil; Liputan Kontributor PWMU.CO Gresik Sayyidah Nuriyah Editor Mohammad Nurfatoni.
PWMU.CO – “Kita terjebak dalam kejumudan berpikir. Kita tidak pernah berani mengkritisi diri kita sendiri. Kita tidak berani berdebat, adu argumentasi, dengan teman sendiri. Kita dipaksa tunduk, entah oleh siapa.”
Ketua Majelis Tabligh Pimpinan wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Timur Dr Sholihin Fanani MPSDM mengungkapnya saat berbicara di sesi ketiga Rembuk Kader sang Surya Jawa Timur, Sabtu (10/12/2022). Temanya ‘Menggagas Sumbangsih AMM untuk Kemajuan Muhammadiyah Jawa Timur’.
Selain dia, pada sesi ketiga forum ini–berlangsung setelah Dhuhur–hadir pula empat figur lain. Mereka adalah dr Sholihul Absor MKes, Prof Ir Sasmito Djati MS, Dr Nazaruddin Malik SE MSi, dan dr Tjatur Prijambodo MKes.
Menurutnya, salah satu hasil kejumudan berpikir di Muhammadiyah mewujud dalam jarangnya acara semenarik itu diselenggarakan. Padahal dalam forum itu mereka sebenarnya bisa memberikan masukan-masukan terhadap persyarikatan.
“Acara ini bagus tapi kenapa dilaksanakan menjelang musywil? Nanti pada bertanya-tanya. Sangat tendensius. Kenapa tidak dari kemarin-kemarin dilakukan? Orang pada curiga dengan kita.”
“Kenapa lima tahun sekali? Kenapa tidak setiap bulan kita menggagas acara seperti ini?” tanya dia retorik di Hall Sang Pencerah lantai 8 Gedung Universitas Muhammadiyah Gresik (UMG).
Sholihin Fanani menegaskan, karena segalanya berawal dari cara berpikir. Dia lalu mengungkap bentuk afirmasi dari politikus Inggris Margaret Thatcher. “Dari pikiran menjadi ucapan. Dari ucapan jadi tindakan. Dari tindakan jadi kebiasaan. Dari kebiasaan jadi karakater. Dari karakter jadi takdir dalam hidup kita,” ujarnya.
Siapkan Generasi
Maka dari itu, kata Sholihin Fanani, kalau mau membongkar kemujudan berpikir dan memajukan Muhammadiyah, perlu membangun generasi di samping membangun ‘fisik’. “Semua sekarang berlomba-lomba membangun fisik tapi lupa menyiapkan generasi kita,” terangnya.
“Saya sedih, di depan panggung itu duduk lima orang saja. Mana darah segar? Darah tua saja gini. Mana darah segar kita? Mana pengaderan?” tanya dia.
Dia juga menyayangkan, “Kita tidak pernah mengader keluarga kita. Kita bahkan tidak pernah mengader diri kita.”
Di Muhammadiyah, lanjutnya, ada tiga jalan kaderisasi. Yakni dari institusi, ideologi, dan filosofi. Hal ini mengingatkannya bahwa Muhammadiyah penuh filosofi dan punya ideologi.
“Ideologi Muhammadiyah yaitu berpikir ke depan yang mencerahkan umat. Dalam berorganisaisi ada ideologi kolektif kolegial. Makanya Muhammadiyah gak mau bermazhab,” terangnya.
Sholihin Fanani akhirnya menyebutkan empat hal untuk memajukan gerakan Muhammadiyah. “Ada imitasi, identifikasi, sugesti, dan simpati. Ini kalau Muhammadiyah mau maju sesuai era sekarang 5.0 manusia. Kembali pada manusia. Human resource kita,” jelasnya.
Menurutnya, pada setiap pergantian kepemimpinan, Muhammadiyah sulit mencari orang. “Orang yang punya visi misi, ideologi, dan filosofi organisasi,” ungkapnya.
Dia menyadari, “Kita kadang menyalahkan Muhammadiyah gak ada apa-apanya, tapi kita gak pernah belajar organisasi Muhammadiyah. Ideologinya tidak kita pelajari dan amalkan.”
Padahal di Muhammadiyah, ada filosofi luar biasa. Misal, jadilah apa saja tapi kembalilah ke Muhammadiyah.
Akhirnya pria itu menutup pembicaraannya siang itu dengan melontarkan pertanyaan sindiran, “Kenapa tujuh tahun sekali kita mengadakan acara seperti ini?” (*)