Liputan Kontributor PWMU.CO Gresik Sayyidah Nuriyah Editor Mohammad Nurfatoni
PWMU.CO – Direktur Rumah Sakit Aisyiyah Siti Fatimah Tulangan, Sidoarjo, Jawa Timur, dr Tjatur Prijambodo MKes menghadiri sesi ketiga Rembuk Kader sang Surya Jawa Timur bertema ‘Menggagas Sumbangsih AMM untuk Kemajuan Muhammadiyah Jawa Timur’, Sabtu (10/12/2022) siang.
Dia mengungkap 4C hasil belajar dari rekan dokternya, Ketua Majelis Pembina Kesehatan Umum (MPKU) Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Timur dr Sholihul Absor MKes.
Menurutnya, 4C itu perlu untuk para Angkatan Muda Muhammadiyah (AMM), selain perlu untuk PWM.
Pertama, change (berubah). “Dalam konteks kaderisasi, AMM harus memahami kondisi saat ini. Siapa pun PWM-nya, AMM harus bisa masuk ke sana. Maka harus mampu mewarnai, apa pun bentuk perwarnaannya,” tuturnya.
C yang kedua, company (kongsi). Dokter Tjatur, sapaannya, mengimbau, sebagai company, empat unsur AMM harus mampu memuhasabahkan diri. “Kayak tadi, kita bicara di Muhammadiyah harus komitmen, menjadi macam-macam, menjadi mentah saat minumannya ada Siha tapi juga ada Cleo,” sindirnya.
“Ngomong komitmen sementara kita sendiri tidak memuhammadiyahkan diri kita sebagai bagian dari kader misalkan,” ujarnya di Hall Sang Pencerah lantai 8 Gedung Universitas Muhammadiyah Gresik (UMG).
Dia kemudian menambahkan penjelasan isi company, “Memang harus ada yang jadi kiper, playmaker, dan striker. Di organisasi, tidak bisa semua jadi striker nanti bobol gawangnya! Maka ada 13 orang itu nantinya, misal dr Absor jadi striker, perlu ada yang jaga gawang. Beliau jadi eksekutornya.”
Menurutnya, perlu ada pembagian peran masing-masing kader agar bisa jadi tim yang kuat. “Tiga belas orang sama semua nggak mungkin,” imbuhnya.
Bahkan, kelakarnya, doktenrya di sana harus ada dua. “Dokter Sukadiono dan Dokter Absor misalkan. Nanti urusan dengan MPKU, klinik, dan RS ya sudah serahkan pada ahlinya,” ucapnya.
Bicara bagaimana bisa menentukan siapa yang jadi striker, kiper, atau peran lainnya, menurut dia, sistem kaderisasinya kalau berjalan tentu akan bisa menentukannya. “Bagaimana membentuk kader sesuai karakter masing-masing itu bisa dioptimalkan jika kaderisasi berjalan baik,” terangnya.
Menyinggung Piala Dunia, dokter itu kembali bercanda, “Pertandingan nanti malam Portugal vs Maroko. Kader AMM yang baik justru pilih Portugal, karena berarti menurut orangtuanya. Karena gak boleh Maroko (merokok, maksudnya) ha-ha-ha.”
Customer dan Competitor
Ketiga, customer (pelanggan). Dia menekankan, “Siapa customer AMM? Pasti umat! Jadi customer-nya ya masyarakat umum. Maka semua kebijakan Muhammadiyah harus berpihak kepada masyarakat dan umat.”
Menurutnya, ini tentang bagaimana AMM dalam scope lebih kecil dan Muhammadiyah dalam scope lebih besar mampu khoirunnas anfauhum linnas. “Maka sebaik-baik kader Muhammadiyah ialah yang mampu memberi manfaat kepada siapa pun,” imbuhnya.
Adapun C yang terakhir, competitor (pesaing). Dokter Tjatur meluruskan, bukan Nahdlatul Ulama (NU) kompetitor AMM. “Fastabiqul khairat (berlomba dalam kebaikan)! Jadi kita merangkul, bekerja sama untuk mencapai tujuan,” tegasnya.
Kalaupun tujuan PWM periode ini agak berbeda dari sebelumnya dan berbeda dari sebelumnya lagi, dia menyatakan, itu sebuah keniscayaan karena menjadi bagian perubahan. “Perubahan itu harus disikapi!” imbaunya.
“Siapapun nanti pasti akan mempersiapkan diri secara internal, company-nya. Menyesuaikan perubahan yang terjadi. Tujuan akhirnya umat. Kemudian ber-fastabiqul khairat dengan siapa pun,” terangnya. Dia akhirnya menyimpulkan, 4C itu menjadi PR (pekerjaan rumah) bersama di AMM maupun di PWM.
Kemudian, di saat sesi diskusi, dia menanggapi pernyataan Uripan, mantan aktivis Pimpinan Daerah Pemuda Muhammadiyah (PDPM) Gresik dengan singkat. Saat itu Uripan menyatakan perlunya menghargai PDM dan PCM dengan memadukan mata air dan air mata. Maksudnya institusi basah (air mata) dsn institusi kering (air mata).
“Saatnya kepentingan politik diakomodasi. Memadukan mata air dan air mata harus diperhatikan untuk AMM. Karena AMM biasanya memberikan air mata,” ujarnya.
Maka kata sang dokter, “Di balik bening mata air tidak pernah ada air mata!” (*)