Jalan Hidup Orang Muhammadiyah oleh Abu Nasir, Ketua PDM Kota Pasuruan
PWMU.CO– Di dinding utara pintu masuk kantor PP Muhammadiyah Yogyakarta terpampang tiga pigura besar dengan foto dan tulisan berisi pesan tokoh Ormas bersimbol matahari ini.
Siapapun yang membacanya dapat kesan tentang jalan hidup orang Muhammadiyah. Pesan di pigura besar itu adalah Kerja Keras, Hidup Sederhana.
Ada lagi kutipan pendiri Muhammadiyah KH Ahmad Dahlan, pahlawan nasional yang hidup di zaman sebelum kemerdekaan ini berbunyi:
”Carilah sekuat tenaga harta yang halal, jangan malas.Setelah mendapat pakailah untuk kepentingan dirimu sendiri dan anak istrimu secukupnya, jangan terlalu mewah. Kelebihannya didermakan di jalan Allah”
Pesan KH Ahmad Dahlan itu mengingatkan kita pada firman Allah surat al-Qashash ayat 77.
Carilah olehmu apa yang diberikan Allah kepadamu untuk kehidupan akhirat dan jangan lupa kehidupan(nasib)-mu di dunia.
Kembali ke Muhammadiyah
Pesan Kiai Dahlan yang bersumber dari al-Quran ini begitu terang dan nyata. Clear and real bahwa hidup itu bekerja, bukan bertapa. Kerja keras, tidak boleh malas. Jika ada tantangan harus dihadapi, tidak lari.
Rezeki hasil kerja digunakan untuk menghidupi anak istri, tidak untuk diri sendiri. Itu pun secukupnya, jangan dihabiskan semuanya. Hidup sederhana, hindari bermewah-mewah bak raja-raja. Dengan begitu kelebihan harta bisa diinfakkan kepada Muhammadiyah sebagai jalan menuju surga.
Dalam makna lebih luas mencari harta sekuat tenaga bisa dilakukan melalui berbagai cara dan melakukan apa saja, yang penting halal, bermartabat, tidak menjual diri dan korupsi uang negara.
Jalur kerja keras bisa melalui politik, pendidikan, kesehatan, bisnis dan lainnya. Maka itu para politisi, pebisnis, pejabat, dokter, guru, direktur, komisaris sampai tukang bakso dan pedagang kaki lima kader Muhammadiyah yang berdiaspora di berbagai tempat, silakan bekerja keras. Hiduplah layak nan sederhana. Lalu kembalilah ke Muhammadiyah membawa zakat, infak dari kelebihan rezeki untuk menghidupi dan menghidupkan amal usaha.
Kenthongan di Siang Hari
Kiai Dahlan tidak hanya bicara. Juga sudah mempraktikkannya. Begitu pula para pimpinan warga Muhammadiyah.
Kisah menghebohkan pernah terjadi di Kauman Yogya di tahun 1921. 24 tahun sebelum Indonesia merdeka. Suara kenthongan berbunyi di siang hari. Dari rumah Kiai Dahlan.
Warga berkumpul bertanya-tanya. Di depan rumah banyak perabot dipajang. Ada meja,kursi almari, pakaian, dipan, lampu, jam.
”Aku hendak melelang semua ini,” kata Kiai Dahlan.
”Untuk apa kiai?” tanya mereka.
”Guru-guru belum digaji. Kas Muhammadiyah kosong. Dibutuhkan 500 gulden untuk membayar gaji dan memenuhi kebutuhan sekolah lainnya,” jawab Kiai Dahlan.
Warga di antaranya para pedagang batik terbengong. Saling berbisik. Lalu mereka satu persatu membeli barang-barang itu. Dalam sekejap semuanya terjual. Terkumpul 4.000 gulden.
Selesai lelang, warga langsung pulang. Kiai Dahlan berseru. ”Silakan ambil dan bawa barang-barang ini. Kalian sudah membelinya. Atau nanti saya antarkan?”
Mereka menjawab,” Tidak usah, Kiai. Biar di sini saja. Kami kembalikan semuanya.”
”Lalu uang yang terkumpul ini bagaimana?”
”Kami infakkan kepada Muhammadiyah untuk menggaji guru dan karyawan atau yang lainnya.”
”Tapi kebutuhannya 500 gulden. Ini terkumpul 4.000 gulden. Sisanya bagaimana?”
”Kami infakkan untuk kas Muhammadiyah.”
Kiai Dahlan terharu. Mengucapkan terima kasih. Mendoakan keberkahan dan ganjaran pahala bagi mereka.
Romantisme Filantropis
Kisah di atas diceritakan berulang-ulang tapi tak bosan mendengarnya. Hampir semua pimpinan Muhammadiyah dikenal zuhud, wara’, dan hidup sederhana. Bukan berarti tidak punya harta.
Pak AR Fachrudin sampai wafatnya tinggal di rumah dinas Muhammadiyah. Kendaraan yang dipakai motor butut lawas. Sering naik sepeda onthel, bus umum. Kalau mengisi pengajian di daerah memilih menginap di rumah pimpinan Muhammadiyah yang mengundangnya.
Di perhelatan Muktamar Solo November yang lalu, seorang ibu menginfakkan rumah dan sepeda motor untuk hadiah kepada penggembira yang datang dari berbagai penjuru dunia.
Para penggembira rela merogoh uang sendiri demi menggembirakan muktamar. Menyemut berdesak- desakan. Ada warga persyarikatan menyiapkan berbagai kue dan makanan untuk peserta dan penggembira sehingga konsumsi tersedia melimpah.
Orang Muhammadiyah itu gak betahan, mewekan, suka terharu meneteskan air mata. Melow, kata anak milenial. Suka menitikkan air mata kalau melihat bangunan AUM mangkrak, anak yatim telantar, fakir miskin terpinggirkan. Segera bangkit mengulurkan bantuan. Suka urunan. Karena itu banyak AUM dibangun.
Orang Muhammadiyah itu romantis. Romantisme filantropis. Warisan pendirinya. Mengamalkan surat al-Ma’un. Melalui Lazismu dan MDMC miliaran rupiah terkumpul. Tersalurkan ke berbagai tempat bencana, memenuhi kebutuhan makan para korban, dan mendirikan hunian sementara.
Ada yang wakaf dan hibah tanah untuk masjid, panti asuhan, sekolah, rumah sakit, toko hingga Muhammadiyah kini punya banyak aset.
Berderma dan hidup sederhana. Menjadi jalan hidup orang Muhammadiyah.
Editor Sugeng Purwanto